Antara Direktorat, KPLP, dan Bakamla
Soleman B Ponto ;
Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013;
Pengamat Maritim
|
KOMPAS,
13 Juli 2015
Berbagai terobosan dilakukan
sejumlah menteri, salah satunya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Seperti
dikutip sejumlah media, Jonan menyatakan bahwa tahun depan akan membentuk
direktorat jenderal baru di Kementerian Perhubungan bernama Direktorat
Jenderal Penjagaan Laut dan Pantai. Menurut Jonan, pembentukan itu merupakan
pekerjaan rumah lama di kementeriannya dan telah sesuai dengan amanat UU
Pelayaran. Karena "statusnya" direktorat jenderal, secara
struktural (dan pertanggungjawaban) berada langsung di bawah menteri.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran pada Bab XVII tentang Penjagaan Laut dan Pantai Pasal 276
menyatakan, "Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di
laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan
di laut dan pantai. (2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut
dan pantai. (3) Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
dibentuk dan bertanggung jawab pada Presiden dan secara teknis operasional
dilaksanakan oleh Menteri."
Simalakama
Merujuk pada niat menteri dan UU No
17/2008 di atas, yang akan terjadi, Menteri Perhubungan seakan berada pada
posisi simalakama. Jika direktorat tersebut dibentuk, bisa dianggap melanggar
undang-undang. Sebaliknya, jika tidak dibentuk pun juga melanggar.
Dianggap melanggar karena, pertama,
direktorat baru yang dibentuk hanya bertanggung jawab terbatas kepada Menteri
Perhubungan dan itu menjadi "ilegal" karena tidak memiliki dasar
hukum, bahkan bisa dianggap bertentangan dengan hukum yang sudah ada.
Kedua, di samping akan menimbulkan
kemubaziran dan pemborosan, sudah pasti direktorat tersebut menjadi tidak
bermanfaat karena tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik.
Sementara jika direktorat yang
dibentuk adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai/KPLP (atau dalam bahasa
Inggris disebut Sea and Coast Guard), pada dasarnya menteri telah menjalankan
amanat UU karena, sebagaimana pada bunyi UU tersebut, bertanggung jawab
langsung kepada Presiden melalui Menteri Perhubungan.
Namun, masih merujuk pada UU
tersebut, pada Pasal 278 dinyatakan bahwa KPLP memiliki kewenangan (a)
melaksanakan patroli laut; (b) melakukan pengejaran seketika (hotpursuit);
(c) memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan (d) melakukan penyidikan.
Bahkan, tidak hanya merupakan amanat UU, membentuk KPLP juga merupakan amanat
peraturan perundangan internasional, yaitu peraturan Organisasi Maritim
Internasional (IMO).
Koordinasi
kementerian
Saya yakin, dengan kajian dan
perangkat hukum yang ada, Menteri
Perhubungan sangat mengerti bahwa yang harus dibentuk adalah KPLP yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan Direktorat Jenderal Penjaga
Laut dan Pantai yang bertanggung jawab kepada Menteri. Namun, bisa jadi,
Menteri Jonan tetap membentuk direktorat jenderal di bawah menteri sebagai
jalan "keterpaksaan" agar tidak terjadi benturan dengan Badan
Keamanan Laut (Bakamla) yang baru saja dibentuk atas perintah UU No 32/2014
tentang Kelautan.
Padahal, dari sisi tugas,
sebagaimana pada UU No 32/2014 Pasal 61, Bakamla hanya melakukan patroli.
Bakamla tidak mempunyai tugas spesifik seperti halnya KPLP. Di sisi lain,
pembentukan Bakamla telah menimbulkan beberapa permasalahan hukum, di
antaranya Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menko Politik,
Hukum, dan Keamanan. Padahal, pada UU No 32/2014 Pasal 60, Bakamla
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui
menteri yang mengoordinasikannya.
Sebagaimana diketahui, UU No
32/2014 dibuat untuk menjadi pedoman bagi menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dalam membangun kelautan. Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan adalah Menteri
Kelautan dan Perikanan yang berada di bawah Koordinasi Menteri Koordinator
Kemaritiman.
Bandingkan dengan tugas KPLP yang
dalam UU No 17/2008 dinyatakan melakukan pengawasan dan penertiban kegiatan
salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut,
di mana kegiatan pengeboran minyak di laut dan penangkapan ikan diawasi dan
dapat ditertibkan oleh KPLP. Dan, yang paling penting, peran KPLP ini sangat
relevan dengan tugas Kementerian Perhubungan, di mana pada era pemerintahan
Joko Widodo sekarang ini, Kementerian Perhubungan berada di bawah koordinasi
Menteri Koordinator Kemaritiman.
Penyidik
kelautan
Satu hal yang perlu digarisbawahi
adalah peran KPLP sebagai penyidik. Jika kita melihat perkembangan hukum di
negeri ini, keputusan hakim "memenangi para koruptor" yang
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada sidang praperadilan karena dasar
hukum yang dipakai oleh hakim adalah bahwa anggota KPK bukanlah penyidik.
Bisa dibayangkan jika Bakamla dan KPLP bertugas di laut dan para
"tersangka" melakukan praperadilan, sangat mungkin setiap kasus
yang ditangani Bakamla akan digugurkan hakim.
Untuk itu, Menteri Perhubungan
tidak perlu membentuk direktorat jenderal baru, tetapi Presiden dan
jajarannya perlu segera membentuk KPLP sekaligus mengevaluasi keberadaan
Bakamla. Hal yang tak kalah penting, DPR tak boleh tinggal diam. DPR harus
mengambil sikap atas sengkarut masalah ini, termasuk di dalamnya kehadiran
personel Bakamla yang diisi anggota TNI AL aktif.
Padahal, yang disebut terakhir ini
bertentangan dengan UU No 34/2004 Pasal 47 yang menyatakan: (1) prajurit
hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas aktif keprajuritan; (2) prajurit aktif dapat menduduki jabatan
pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara,
pertahanan negara, sekretaris militer Presiden, intelijen negara, sandi
negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR
Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Saat ini, Bakamla tidak berada
langsung di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
sebagaimana Bakorkamla yang ketuanya adalah Menko Politik, Hukum, dan
Keamanan. Bakamla adalah organisasi sipil dan tidak termasuk dalam daftar
jabatan yang diizinkan oleh UU No 34/2004. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar