Sabtu, 11 Juli 2015

Renegosiasi untuk Penguatan Negara

Renegosiasi untuk Penguatan Negara

   Ferdy Hasiman  ;  Peneliti Indonesia Today
                                                           KOMPAS, 09 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berencana mengonversi status kontrak karya PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ini adalah amanat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Menurut Pasal 169 Ayat (b), semua kontrak karya (KK) wajib diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 yang menegaskan, pertambangan strategis dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat.

Peralihan status kontrak berimplikasi langsung pada penguatan peran negara. Relasi antara korporasi dan negara dalam KK memang bersifat asimetris. Akibatnya, negara tak berdaulat atas sumber daya alam (SDA). Posisi itu menyebabkan pertambangan berpotensi gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Lingkungan dirusak, pembagian keuntungan dan upah tidak adil.Ini karena peran negara tergerus hanya sebatas menjaga kontrak.

UU Minerba bukan tanpa cacat. UU itu hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP), sementara KK adalah rezim kontrak berskala besar. Izin IUP hanya dikeluarkan pemerintah daerah (bupati, wali kota, dan gubernur). Kekuasaan besar yang diberikan konstitusi ini kerap disalahgunakan pemda.

Negara kelihatan perkasa, menggunakan kuasa administratif dan legalnya untuk mencaplok lahan warga dan mendapat uang dari korporasi tambang. Dari 10.922 yang diterbitkan pemda, hanya 6.042 yang clear and clean dan 4.880 IUP ilegal. Pertambangan di daerah pun kerap mendapat penolakan warga lokal karena merusak lingkungan, hutan, menyabotase lahan pertanian dan permukiman warga.

Namun, UU Minerba memberikan pengecualian terkait IUPK. IUPK tetap dikontrol pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Dengan begitu, korporasi wajib tunduk pada pemerintah. Pemerintah berhak menagih pajak, royalti, dan memerintahkan korporasi tambang membangun pengolahan mineral (smelter) agar memberi efek pelipatan bagi pembangunan.

Pengalihan status KK Freeport Indonesia menjadi IUPK memang mendapat kritik beberapa kalangan. Mereka menilai konversi itu hanya taktik agar kontrak Freeport diperpanjang. Freeport Indonesia memang berniat memperpanjang kontrak sampai tahun 2041. Secara ekonomis, Freeport merugi jika kontraknya tak diperpanjang.

Freeport berencana menyiapkan dana 2,5 miliar dollar AS untuk membangun smelterdan 7 miliar dollar AS untuk pembangunan tambang underground; Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone (DMLZ), DeepOre Zone (DOZ) dan Big Gossan. Sebesar 91 persen total cadangan Freeport Indonesia ada di tambang underground dan sisanya 9 persen dari tambang open-pit.

Tambang underground adalah masa depan Freeport Indonesia. Dalam perkiraan kasar, tambang ini akan menghasilkan 24.000 matrik ton per hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open-pit pada 2016.

Pemerintah belum memutuskan status perpanjangan kontrak Freeport yang akan berakhir 2021. Publik berharap pemerintah tak terburu-buru memperpanjang kontrak Freeport karena perpanjangan kontrak diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir atau 2019. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan negara dari Freeport saat ini?

Smelter dan Papua

Ada dua hal penting yang mendesak. Pertama, pembangunan pabrik smelter. Pemerintah perlu mendesak Freeport Indonesia, membangun smelterdi Papua, bukan menuruti kemauan Freeport yang berencana membangun smelter di lahan milik PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur. Pilihan lokasi di Gresik tak adil dan tak masuk akal karena jaraknya sangat jauh, membutuhkan pengangkutan melalui laut.

Bukan hanya itu. Smelter di Gresik menyebabkan dua provinsi di Papua kehilangan kesempatan investasi karena produkikutan tembaga sangat banyak. PT Smelthing yang berkapasitas 300.000 ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid (920.000 ton/tahun), Gypsum (35000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak) dan copper telluride (50 ton, untuk semikonduktor). Jika ada smelterbaru berkapasitas 500.000 ton per tahun, Papua mendapat untung besar dari investasi. Produk-produk itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.

Presiden Jokowi ingin mempercepat pembangunan ekonomi di Papua. Pembangunan smelterdi Papua adalah salah satu jalan. Pemerintah perlu tegas kepada Freeport agar membangun smelter di Papua untuk memicu multiplier-effect bagi pembangunan.

Kedua, pembangunan berkeadilan. Selama bertahun-tahun Freeport beroperasi di Grasberg, rakyat Papua tak merasakan keuntungan. Padahal, kinerja keuangan Freeport sangat fantastis. FCX memproduksi 2.9 juta pound tembaga dan 846.000 ons emas pada kuartal I-2014. Kontribusi Freeport Indonesia terhadap FCX untuk tembaga 16 persen dan emas 91,7 persen. FCX meraup laba 1,54 miliar dollar AS dari pendapatan 16,2 miliar dollar AS.

Freeport Indonesia meraup pendapatan 1,5 juta dollar AS dari tembaga dan 1 miliar dollar AS dari emas. Total tambang Grasberg menyumbang 2,5 miliar dollar AS kuartal I-2014.

Keuntungan finansial yangfantastis itu tak sebanding dengan kehidupan rakyat Papua. Inilah potret the paradox of plenty, masyarakat berlimpah sumber alam, tetapi rakyatnya miskin dan termarginalisasi.

Dalam wajah Freeport, tampaklah ironi besar Indonesia dan Amerika Serikat. Amerika adalah negara kaya dan rakyatnya sejahtera, sedangkan Indonesia kerap diberi label miskin dan menerima bantuan AUSAID dan Bank Dunia. Padahal, Amerika Serikat, melalui Freeport, menumpuk kekayaan dari bumi Indonesia dalam negosiasi dagang yang asimetris. .

Hanya pemimpin tanpa hati yang membiarkan warganya menderita ketidakadilan. Maka, ini menjadi cambuk bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk merenegosiasi kontrak agar rakyat mendapat berkah dari tambang.

Pemerintah memang telah menetapkan enam poin renegosiasi kontrak: penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Namun, itu terlalu elitis dan hanya menjadi urusan pusat. Pemerintah pusat mesti mendengar rakyat Papua.

Sejak beroperasi tahun 1967, Freeport telah menorehkan catatan buruk: pencemaran lingkungan, deforestasi, dan terpinggirkannya masyarakat asli dari roda pembangunan. Warga Komoro dan Amungma, misalnya, yang harus minggir ke kawasan Mimika dan Puncak Jaya dengan berbagai tekanan politik. Sejak Freeport beroperasi, Sungai Wanigon juga menjadi tempat pembuangan limbah tambang. Maka, renegosiasi bukan sekadar deal ekonomi, tetapi soal penegakan kedaulatan dan keadilan rakyat.

Rencana investasi

Presiden Jokowi menandatangani PP No 16/2015 tentang pembentukan tim untuk me-review manajemen SDA dan pembangunan Papua, termasuk mengevaluasi dampak kehadiran Freeport pada kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Tim ini perlu mendesain rencana investasi yang lebih matang dengan menimbang variabel produk turunan daripabrik smelter tembaga Freeport. Tim itu diharapkan mengajak perusahaan pupuk atau perusahaan kabel untuk mulai berinvestasi di Papua dengan pasokan bahan baku dari produk tembaga yang dihasilkan smelterFreeport. Dengan pembangunan pabrik pupuk, permintaan tenaga kerja lokal menjadi besar, angka pengangguran di Papua ditekan dan petani Papua lebih mudah membeli pupuk untuk produktivitas pertanian.

Pemda Papua juga harus pastikan segera di mana lokasi pembangunan smelter. Jika smelter sudah dibangun, pemerintahan Jokowi-JK baru bisa merenegosiasi perpanjangan kontrak.

Renegosiasi kontrak Freeport menjadi tantangan besar Presiden. Maka, presiden perlu diberi ruang agar menjadi leviathan/negara kuat demi mengembalikan kedaulatan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar