Renegosiasi untuk Penguatan Negara
Ferdy
Hasiman ; Peneliti
Indonesia Today
|
KOMPAS,
09 Juli 2015
Pemerintah, melalui Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, berencana mengonversi status kontrak karya PT
Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ini adalah amanat
UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut Pasal 169 Ayat (b), semua
kontrak karya (KK) wajib diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK)
untuk mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 yang menegaskan, pertambangan
strategis dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat.
Peralihan status kontrak
berimplikasi langsung pada penguatan peran negara. Relasi antara korporasi
dan negara dalam KK memang bersifat asimetris. Akibatnya, negara tak
berdaulat atas sumber daya alam (SDA). Posisi itu menyebabkan pertambangan
berpotensi gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Lingkungan dirusak,
pembagian keuntungan dan upah tidak adil.Ini karena peran negara tergerus
hanya sebatas menjaga kontrak.
UU Minerba bukan tanpa cacat. UU
itu hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP), sementara KK adalah
rezim kontrak berskala besar. Izin IUP hanya dikeluarkan pemerintah daerah
(bupati, wali kota, dan gubernur). Kekuasaan besar yang diberikan konstitusi
ini kerap disalahgunakan pemda.
Negara kelihatan perkasa,
menggunakan kuasa administratif dan legalnya untuk mencaplok lahan warga dan
mendapat uang dari korporasi tambang. Dari 10.922 yang diterbitkan pemda,
hanya 6.042 yang clear and clean dan 4.880 IUP ilegal. Pertambangan di daerah
pun kerap mendapat penolakan warga lokal karena merusak lingkungan, hutan,
menyabotase lahan pertanian dan permukiman warga.
Namun, UU Minerba memberikan
pengecualian terkait IUPK. IUPK tetap dikontrol pemerintah pusat, bukan
pemerintah daerah. Dengan begitu, korporasi wajib tunduk pada pemerintah.
Pemerintah berhak menagih pajak, royalti, dan memerintahkan korporasi tambang
membangun pengolahan mineral (smelter) agar memberi efek pelipatan bagi
pembangunan.
Pengalihan status KK Freeport
Indonesia menjadi IUPK memang mendapat kritik beberapa kalangan. Mereka
menilai konversi itu hanya taktik agar kontrak Freeport diperpanjang.
Freeport Indonesia memang berniat memperpanjang kontrak sampai tahun 2041.
Secara ekonomis, Freeport merugi jika kontraknya tak diperpanjang.
Freeport berencana menyiapkan dana
2,5 miliar dollar AS untuk membangun smelterdan 7 miliar dollar AS untuk
pembangunan tambang underground;
Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone (DMLZ), DeepOre Zone (DOZ) dan Big Gossan. Sebesar 91 persen total
cadangan Freeport Indonesia ada di tambang underground dan sisanya 9 persen
dari tambang open-pit.
Tambang underground adalah masa depan Freeport Indonesia. Dalam perkiraan
kasar, tambang ini akan menghasilkan 24.000 matrik ton per hari untuk
mengantisipasi masa transisi tambang open-pit
pada 2016.
Pemerintah belum memutuskan status
perpanjangan kontrak Freeport yang akan berakhir 2021. Publik berharap
pemerintah tak terburu-buru memperpanjang kontrak Freeport karena
perpanjangan kontrak diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir
atau 2019. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan negara dari Freeport saat ini?
Smelter
dan Papua
Ada dua hal penting yang mendesak.
Pertama, pembangunan pabrik smelter. Pemerintah perlu mendesak Freeport
Indonesia, membangun smelterdi Papua, bukan menuruti kemauan Freeport yang
berencana membangun smelter di lahan milik PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur.
Pilihan lokasi di Gresik tak adil dan tak masuk akal karena jaraknya sangat
jauh, membutuhkan pengangkutan melalui laut.
Bukan hanya itu. Smelter di Gresik
menyebabkan dua provinsi di Papua kehilangan kesempatan investasi karena
produkikutan tembaga sangat banyak. PT Smelthing yang berkapasitas 300.000
ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid (920.000 ton/tahun), Gypsum (35000
ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton),
anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak) dan copper telluride (50 ton, untuk
semikonduktor). Jika ada smelterbaru berkapasitas 500.000 ton per tahun,
Papua mendapat untung besar dari investasi. Produk-produk itu akan membuka
ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.
Presiden Jokowi ingin mempercepat
pembangunan ekonomi di Papua. Pembangunan smelterdi Papua adalah salah satu
jalan. Pemerintah perlu tegas kepada Freeport agar membangun smelter di Papua
untuk memicu multiplier-effect bagi
pembangunan.
Kedua, pembangunan berkeadilan.
Selama bertahun-tahun Freeport beroperasi di Grasberg, rakyat Papua tak merasakan
keuntungan. Padahal, kinerja keuangan Freeport sangat fantastis. FCX
memproduksi 2.9 juta pound tembaga dan 846.000 ons emas pada kuartal I-2014.
Kontribusi Freeport Indonesia terhadap FCX untuk tembaga 16 persen dan emas
91,7 persen. FCX meraup laba 1,54 miliar dollar AS dari pendapatan 16,2
miliar dollar AS.
Freeport Indonesia meraup
pendapatan 1,5 juta dollar AS dari tembaga dan 1 miliar dollar AS dari emas.
Total tambang Grasberg menyumbang 2,5 miliar dollar AS kuartal I-2014.
Keuntungan finansial yangfantastis
itu tak sebanding dengan kehidupan rakyat Papua. Inilah potret the paradox of
plenty, masyarakat berlimpah sumber alam, tetapi rakyatnya miskin dan
termarginalisasi.
Dalam wajah Freeport, tampaklah
ironi besar Indonesia dan Amerika Serikat. Amerika adalah negara kaya dan
rakyatnya sejahtera, sedangkan Indonesia kerap diberi label miskin dan
menerima bantuan AUSAID dan Bank Dunia. Padahal, Amerika Serikat, melalui
Freeport, menumpuk kekayaan dari bumi Indonesia dalam negosiasi dagang yang
asimetris. .
Hanya pemimpin tanpa hati yang
membiarkan warganya menderita ketidakadilan. Maka, ini menjadi cambuk bagi
pemerintahan Jokowi-JK untuk merenegosiasi kontrak agar rakyat mendapat
berkah dari tambang.
Pemerintah memang telah menetapkan
enam poin renegosiasi kontrak: penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan
kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan
kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Namun, itu
terlalu elitis dan hanya menjadi urusan pusat. Pemerintah pusat mesti
mendengar rakyat Papua.
Sejak beroperasi tahun 1967,
Freeport telah menorehkan catatan buruk: pencemaran lingkungan, deforestasi,
dan terpinggirkannya masyarakat asli dari roda pembangunan. Warga Komoro dan
Amungma, misalnya, yang harus minggir ke kawasan Mimika dan Puncak Jaya
dengan berbagai tekanan politik. Sejak Freeport beroperasi, Sungai Wanigon
juga menjadi tempat pembuangan limbah tambang. Maka, renegosiasi bukan
sekadar deal ekonomi, tetapi soal penegakan kedaulatan dan keadilan rakyat.
Rencana
investasi
Presiden Jokowi menandatangani PP
No 16/2015 tentang pembentukan tim untuk me-review manajemen SDA dan
pembangunan Papua, termasuk mengevaluasi dampak kehadiran Freeport pada
kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tim ini perlu mendesain rencana
investasi yang lebih matang dengan menimbang variabel produk turunan
daripabrik smelter tembaga Freeport. Tim itu diharapkan mengajak perusahaan
pupuk atau perusahaan kabel untuk mulai berinvestasi di Papua dengan pasokan
bahan baku dari produk tembaga yang dihasilkan smelterFreeport.
Dengan pembangunan pabrik pupuk, permintaan tenaga kerja lokal menjadi besar,
angka pengangguran di Papua ditekan dan petani Papua lebih mudah membeli
pupuk untuk produktivitas pertanian.
Pemda Papua juga harus pastikan
segera di mana lokasi pembangunan smelter. Jika smelter sudah dibangun,
pemerintahan Jokowi-JK baru bisa merenegosiasi perpanjangan kontrak.
Renegosiasi kontrak Freeport
menjadi tantangan besar Presiden. Maka, presiden perlu diberi ruang agar
menjadi leviathan/negara kuat demi mengembalikan kedaulatan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar