Pendek Umur Peraturan
A Ahsin Thohari ; Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, Jakarta
|
KOMPAS,
15 Juli 2015
Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Jaminan Hari Tua hanya berumur tiga hari sejak
ditandatangani karena Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Tenaga
Kerja untuk merevisi. Materi muatan
krusial yang direvisi menyangkut pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) bagi
pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja tidak
perlu menunggu kepesertaan 10 tahun. Revisi memungkinkan peserta untuk
mengklaim JHT satu bulan setelah berhenti bekerja. Gelombang aspirasi serikat
pekerja agar aturan pencairan dana JHT setelah 10 tahun dibatalkan adalah
alasan Jokowi mengambil langkah revisi.
Ini bukan kali pertama di era
Presiden Jokowi, di mana sebuah peraturan hanya berbilang hari
keberlakuannya. Barangkali, ini memecahkan "rekor" pendek umur
peraturan sebelumnya yang dicetak Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015
tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian
Kendaraan Perorangan (biasa disebut Perpres Mobil Dinas), yakni 14 hari.
Tidak hanya revisi, Perpres Mobil
Dinas bahkan dicabut dengan alasan kondisi tidak tepat, baik dari segi
perekonomian, keadilan, maupun naiknya harga barang, tarif listrik, dan harga
BBM. Suara masyarakat dan tak ingin mencederai perasaan masyarakat juga
menjadi pertimbangan penting Presiden Jokowi. Sekretaris Kabinet Andi
Widjajanto mengakui telah terjadi kelalaian dalam penerbitan Perpres Mobil
Dinas.
Kendati sah-sah saja sebuah
peraturan direvisi atau bahkan diganti, jika dilatari kecerobohan
penyelenggaraan pemerintahan, sungguh ini adalah tragedi ketatanegaraan.
Kewenangan
presiden
Pada prinsipnya, peraturan
merupakan pengejawantahan produk pengambilan keputusan yang ditetapkan
kekuasaan negara yang mengikat umum. Dalam konteks Indonesia, presiden adalah
pemegang kekuasaan pemerintahan dengan wewenang untuk memutuskan (beslissende bevoegdheid) dan wewenang
untuk mengatur (regelende bevoegdheid).
Kekuasaan presiden dalam
menerbitkan PP dan perpres adalah wewenang untuk mengatur agar roda
pemerintahan berjalan dengan efektif, efisien, dan responsif terhadap
berbagai persoalan dalam masyarakat. PP adalah peraturan untuk menjalankan
undang-undang. Sementara perpres dibentuk untuk mengatur materi yang
diperintahkan undang-undang, melaksanakan PP, atau melaksanakan kekuasaan
pemerintahan.
Setiap gejala kenegaraan yang
terkait penyelenggaraan pemerintahan harus diatasi segera tanpa mengorbankan
kecermatan dalam bertindak. Setiap tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) oleh presiden
harus didasarkan pada informasi dan dokumen pendukung yang lengkap dan akurat
serta memperhitungkan segala akibat yang mungkin timbul.
Benar apa yang digarisbawahi
"Tajuk Rencana" (Kompas, 6/7), para pembantu presiden harus
mempunyai perancang produk hukum (legal drafter) yang memahami bagaimana
membuat produk hukum di era demokrasi konstitusional dibuat.
Dalam hal ini, legal drafter,
sejak menyusun naskah akademik hingga merancang PP atau perpres amat mungkin
melakukan kesalahan sehingga pada akhirnya terbit peraturan yang tidak responsif
dan bertentangan dengan ekspektasi publik.
Kemungkinan lain adalah pilihan
kebijakan telah ditentukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang
teknis, dengan asumsi presiden tidak
tahu-menahu soal pilihan kebijakan itu. Sementara itu, legal drafter hanya
merumuskannya ke dalam bentuk rancangan PP atau perpres sesuai dengan teknis
pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Akhirnya presiden yang menandatangani.
Memetik
hikmah
Pendek umur peraturan bukan
monopoli peraturan yang diproduksi presiden saja. Undang-undang juga
mengalami hal yang sama. Sejak era reformasi, misalnya, undang-undang paket
politik (meliputi parpol, pemilu, penyelenggara pemilu, pemilu presiden,
pemilu legislatif, dan MD3) selalu berubah dari pemilu ke pemilu.
Sampai-sampai undang-undang paket politik ini diibaratkan popok bayi yang
sekali pakai langsung buang.
Celakanya, antara satu aturan dan
lainnya tidak dimaksudkan sebagai kebijakan yang berkesinambungan. Setiap aturan
dibuat demi dirinya sendiri sehingga alih-alih bergerak progresif ke depan,
kebijakan di bidang politik negeri ini selalu membawa semangat transisi,
pancaroba, dan belum stabil. Akhirnya, pendulum kebijakan berayun liar yang
hanya bolak-balik dari satu sisi ke sisi lain.
Hikmah yang dapat dipetik dari
peristiwa pendek umur peraturan ini adalah sudah semestinya pembentuk
peraturan selalu memperhitungkan aspek adaptif, futuristis, daya tahan
(durability), dan umur panjang (longevity) suatu peraturan agar uang rakyat
yang digunakan untuk membiayai tidak terbuang percuma.
Peraturan yang memperhitungkan
hal-hal tersebut akan menjamin kebijakan yang ajek, kontinu, stabil, bergerak
ke depan, dan terutama untuk kepentingan rakyat.
Untuk itu, setiap tahapan harus
dikerjakan dengan cermat dan teliti mulai dari tahap perencanaan yang
meliputi prolegnas, program penyusunan PP, program penyusunan perpres,
prolegda provinsi, dan prolegda kabupaten/kota hingga tahap penyusunan yang
meliputi penyiapan naskah akademik, harmonisasi vertikal atapun horizontal,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan.
Semoga tragedi ketatanegaraan
pendek umur peraturan tak lagi terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar