Rabu, 08 Juli 2015

Bisnis Gol

Bisnis Gol

   Eddi Elison  ;  Pengamat Sepak Bola Nasional
KORAN TEMPO, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ternyata jual-beli online (daring) ini telah pula merasuk ke persada olahraga, khususnya sepak bola. Produk sepak bola yang paling utama adalah gol. Ya, gol inilah yang saat ini telah diperjualbelikan. Sementara pada awalnya gol hanya dijadikan alat taruhan/perjudian di pinggir lapangan atau di luar stadion, dalam beberapa tahun belakangan ini pebisnisnya telah "mengintervensi" ke dalam lapangan hijau.

Di Indonesia, bisnis gol ini bukan hal baru, namun baru menonjol ke tengah-tengah masyarakat sejak 1980-an di era Galatama. Jual-beli gol, yang oleh dunia disebut match fixing (atur skor/gol), karena memang terjadi juga di berbagai negara sepak bola lainnya, mulanya lebih banyak berbentuk isu. Namun selama beberapa hari belakangan ini semakin terungkap bahwa atur skor tersebut telah menjadi kenyataan.

Rasanya, jika memang semua pihak berkehendak serius membuka dagang gol di forum sepak bola nasional, hal ini tidak lagi sulit. Beberapa "peniup peluit" (whistle blower) dan runner telah tampil, berani bertatap muka dengan publik melalui media cetak/televisi. Ternyata berbagai kalangan menyebut hal tersebut dengan istilah "belum ada bukti". Polri menggolongkannya sebagai "pengaduan", belum setingkat "laporan". Hal ini justru mempersulit PSSI untuk mengelak bahwa ada pembiaran atas "transaksi gol" tersebut.

Terungkapnya beberapa match fixing dalam Kompetisi ISL/Divisi Utama 2013 dan 2014, bahkan tahun-tahun sebelumnya, langsung ditanggapi komoditas persepakbolaan nasional sebagai sesuatu yang harus dituntaskan. Ditinjau dari sudut pidana, jelas siapa pun yang melakukan permainan atur skor tersebut dapat digolongkan sebagai pelaku tindak kriminal, yakni penyuapan, menipu masyarakat, juga perjudian. Apalagi telah diketahui adanya hubungan kerja sama antar-bandar dari Malaysia, Singapura, Hong Kong, RRC, dan Indonesia. Berarti ada keharusan agar Polri bekerja sama dengan polisi negara lain.

Adapun Kemenpora (baca: Tim Transisi) punya kewajiban menindaklanjuti terungkapnya berbagai "bisnis gol" tersebut, untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sepak bola nasional. Catat: Tim U-23 kalah masing-masing 0-5 oleh Thailand dan Vietnam di SEAG Singapura lalu. Mereka langsung dicurigai sebagai akibat match fixing. Padahal pembuktiannya belum jelas. Siapa pun tentu merasa prihatin dan iba terhadap para pemain muda (Manahati Lestaluhu dkk), karena harus menerima cemooh orang.

Selain itu, mengacu pada Mukadimah Statuta PSSI, yang dengan tegas menyatakan "Sepak bola adalah alat perjuangan dan pemersatu bangsa", match fixing dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap nasionalisme seperti yang tertera dalam UUD 1945.

Pada dasarnya sepak bola juga merupakan medium paling komplet dalam memantapkan demokratisasi, mengingat dalam sepak bola diatur ihwal tanggung jawab, kedisiplinan, kerja sama, toleransi bersikap, anti-rasis, dan taat hukum, selain merupakan wadah pembinaan karakter bangsa. Filosofi "bola bundar" adalah nurani sepak bola, yang tidak ada lika-likunya sedikit pun.

Karena itu, perlu secepatnya Ketua Tim Transisi berkoordinasi dengan Kapolri untuk membuktikan adanya match fixing yang clue-nya sudah terumbar di tengah-tengah masyarakat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar