Selasa, 14 Juli 2015

Hadrumetum

Hadrumetum

Trias Kuncahyono ;  Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                           KOMPAS, 12 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Kamis, 4 Desember 2014 pukul 14.00, saat itu. Kami duduk menikmati masakan ikan laut di Restoran Le Surfing, Sousse, Tunisia. Sousse, yang terletak sekitar 152 kilometer sebelah selatan Tunis, adalah kota tua.

Memang, Sousse tidak setua Jeriko, yang menurut cerita dihuni manusia sejak 10.000 tahun sebelum Masehi; atau Aleppo, 4.300 SM; atau Damaskus, 9000 SM; atau Jerusalem, 5.000 SM. Kota di bibir Teluk Hammamet, bagian dari Laut Tengah ini, didirikan orang-orang Funisia pada abad ke-11 SM.

Semula kota itu diberi nama Hadrumetum. Ketika pada abad ke-2 SM dikuasai Romawi, namanya diubah menjadi Hadrumentum. Saat dikuasai kaum Vandal pada abad ke-5, Hadrumentum menjadi Hunerikopolis. Seabad kemudian, namanya menjadi Justinianopolis, kotanya Justinianus, Kaisar Romawi Timur, yang berpusat di Byzantium (sekarang Istanbul, Turki). Nama kota itu kembali berubah menjadi Susa ketika dikuasai tentara Arab pada abad ke-7. Terakhir, saat Tunisia di bawah kekuasaan Perancis, Susa menjadi Sousse, hingga kini.

Sejak 26 Juni lalu, Sousse kembali disebut-sebut media dunia, bukan karena makanan laut yang enak atau pantai Teluk Hammamet yang indah dan bersih dengan air laut yang biru cemerlang, melainkan karena aksi brutal Seifeddine Rezgui (23) atau Abu Yahya al-Qayrawani. Dengan membawa senapan Kalashnikov yang disembunyikan di dalam payung, Rezgui dengan tenang menembak para wisatawan yang tengah mandi matahari di Hotel Imperial Marhaba. Hasilnya, 38 wisatawan asing tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

Tiga bulan sebelumnya, Rabu, 18 Maret, dua orang bersenjata menembaki pengunjung Museum Bardo di Tunis: 19 orang tewas. Setelah aksi Rezgui, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menyatakan bertanggung jawab dan Rezgui adalah bagian dari mereka.
Mengapa Rezgui dengan hati dingin membunuh wisatawan asing? Kalau benar Rezgui bagian dari NIIS, ia ingin mewujudkan cita-cita NIIS yang memilih jalan kekerasan. Jalan kekerasan dilandasi ideologi fanatik yang kini cenderung menguat.

Mereka yang menganut paham itu, mengutip pendapat Zbigniew Brzezinski, mantan penasihat keamanan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, berusaha menciptakan masyarakat baru dengan metode totalitarian brutal berbasis cetak biru utopian. Mengutip pendapat David Satter dari Hudson Institute, kemunculan ideologi fanatik, fanatisme religius, ditandai serangan tragedi 11 September 2011, menggantikan dua ideologi fanatisme sekuler yang menguasai dunia sebagian besar abad ke-20, yakni komunisme dan Naziisme. Dua ideologi itu menjanjikan surga di dunia; sebaliknya fanatisme religius menjanjikan firdaus setelah kematian.

Komunisme berhasil dikalahkan karena tawaran firdaus, surga di dunia tak menjadi kenyataan. Orang pun kehilangan kepercayaan kepada komunisme. Lalu, bagaimana mengalahkan fanatisme religius atau fanatisme yang disemprot bau religius?

Ketika orang masih mencari jawaban atas pertanyaan itu, NIIS terus beraksi, juga Boko Haram. Menurut catatan Lembaga IHS Jane's Terrorism & Insurgency Centre yang berpusat di AS, NIIS telah melancarkan 3.095 serangan dan menewaskan 6.546 warga sipil. Adapun organisasi HAM Suriah mencatat, NIIS mengeksekusi mati 3.000 warga Suriah; 1.800 orang di antara mereka adalah warga sipil, termasuk anak-anak.

Dan di Hadrumetum, Rezgui menebar kematian. Dia melupakan pengorbanan Mohamed Bouazizi yang aksinya membakar diri telah mengobarkan revolusi Musim Semi Arab dan menumbangkan pemerintahan diktator di sejumlah negara.

Penduduk Hadrumetum sama dengan rakyat Tunisia lainnya yang menentang terorisme, tidak bisa memahami aksi Rezgui. Mereka hanya bisa mengatakan, Le ver est dans le fruit, ulat ada di dalam buah; tidak tahu bahwa di antara mereka tinggal seorang teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar