Hadrumetum
Trias Kuncahyono ;
Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 Juli 2015
Hari Kamis, 4 Desember 2014 pukul
14.00, saat itu. Kami duduk menikmati masakan ikan laut di Restoran Le
Surfing, Sousse, Tunisia. Sousse, yang terletak sekitar 152 kilometer sebelah
selatan Tunis, adalah kota tua.
Memang, Sousse tidak setua Jeriko,
yang menurut cerita dihuni manusia sejak 10.000 tahun sebelum Masehi; atau
Aleppo, 4.300 SM; atau Damaskus, 9000 SM; atau Jerusalem, 5.000 SM. Kota di
bibir Teluk Hammamet, bagian dari Laut Tengah ini, didirikan orang-orang
Funisia pada abad ke-11 SM.
Semula kota itu diberi nama
Hadrumetum. Ketika pada abad ke-2 SM dikuasai Romawi, namanya diubah menjadi
Hadrumentum. Saat dikuasai kaum Vandal pada abad ke-5, Hadrumentum menjadi
Hunerikopolis. Seabad kemudian, namanya menjadi Justinianopolis, kotanya
Justinianus, Kaisar Romawi Timur, yang berpusat di Byzantium (sekarang
Istanbul, Turki). Nama kota itu kembali berubah menjadi Susa ketika dikuasai
tentara Arab pada abad ke-7. Terakhir, saat Tunisia di bawah kekuasaan
Perancis, Susa menjadi Sousse, hingga kini.
Sejak 26 Juni lalu, Sousse kembali
disebut-sebut media dunia, bukan karena makanan laut yang enak atau pantai
Teluk Hammamet yang indah dan bersih dengan air laut yang biru cemerlang,
melainkan karena aksi brutal Seifeddine Rezgui (23) atau Abu Yahya
al-Qayrawani. Dengan membawa senapan Kalashnikov yang disembunyikan di dalam
payung, Rezgui dengan tenang menembak para wisatawan yang tengah mandi matahari
di Hotel Imperial Marhaba. Hasilnya, 38 wisatawan asing tewas dan puluhan
lainnya luka-luka.
Tiga bulan sebelumnya, Rabu, 18
Maret, dua orang bersenjata menembaki pengunjung Museum Bardo di Tunis: 19
orang tewas. Setelah aksi Rezgui, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) menyatakan bertanggung jawab dan Rezgui adalah bagian dari mereka.
Mengapa Rezgui dengan hati dingin
membunuh wisatawan asing? Kalau benar Rezgui bagian dari NIIS, ia ingin
mewujudkan cita-cita NIIS yang memilih jalan kekerasan. Jalan kekerasan
dilandasi ideologi fanatik yang kini cenderung menguat.
Mereka yang menganut paham itu,
mengutip pendapat Zbigniew Brzezinski, mantan penasihat keamanan Presiden
Amerika Serikat Jimmy Carter, berusaha menciptakan masyarakat baru dengan
metode totalitarian brutal berbasis cetak biru utopian. Mengutip pendapat
David Satter dari Hudson Institute, kemunculan ideologi fanatik, fanatisme
religius, ditandai serangan tragedi 11 September 2011, menggantikan dua
ideologi fanatisme sekuler yang menguasai dunia sebagian besar abad ke-20,
yakni komunisme dan Naziisme. Dua ideologi itu menjanjikan surga di dunia;
sebaliknya fanatisme religius menjanjikan firdaus setelah kematian.
Komunisme berhasil dikalahkan
karena tawaran firdaus, surga di dunia tak menjadi kenyataan. Orang pun
kehilangan kepercayaan kepada komunisme. Lalu, bagaimana mengalahkan
fanatisme religius atau fanatisme yang disemprot bau religius?
Ketika orang masih mencari jawaban
atas pertanyaan itu, NIIS terus beraksi, juga Boko Haram. Menurut catatan
Lembaga IHS Jane's Terrorism &
Insurgency Centre yang berpusat di AS, NIIS telah melancarkan 3.095
serangan dan menewaskan 6.546 warga sipil. Adapun organisasi HAM Suriah
mencatat, NIIS mengeksekusi mati 3.000 warga Suriah; 1.800 orang di antara
mereka adalah warga sipil, termasuk anak-anak.
Dan di Hadrumetum, Rezgui menebar
kematian. Dia melupakan pengorbanan Mohamed Bouazizi yang aksinya membakar
diri telah mengobarkan revolusi Musim Semi Arab dan menumbangkan pemerintahan
diktator di sejumlah negara.
Penduduk Hadrumetum sama dengan
rakyat Tunisia lainnya yang menentang terorisme, tidak bisa memahami aksi
Rezgui. Mereka hanya bisa mengatakan, Le
ver est dans le fruit, ulat ada di dalam buah; tidak tahu bahwa di antara
mereka tinggal seorang teroris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar