Urgen Tidaknya Reshuffle Kabinet
Laode
Ida ; Wakil
ketua DPD RI 2004–2014;
Sosiolog,
Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ
|
JAWA
POS, 10 Juli 2015
DESAKAN dilakukannya pergantian atau reposisi (reshuffle) anggota kabinet belakangan
ini terasa menguat. Bahkan, saking bergairahnya sebagian kalangan, sangat
terkesan seolah-olah mereka sudah memaksa Presiden Joko Widodo untuk segera
melengserkan beberapa menteri yang dinilai tidak perform.
Pihak-pihak yang mendesakkan reshuffle tersebut, tampaknya,
mendapat amunisi kuat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan setidaknya
tiga lembaga survei (PolTracking, Indo Barometer, dan Alvara) yang
mengevaluasi enam bulan kinerja pemerintahan Jokowi. Hasilnya kurang lebih
sama. Yakni, menunjukkan tren kian menurunnya tingkat kepuasan masyarakat
terhadap pemerintahan putra Solo itu.
Kondisi perekonomian kita (pada 2015 ini) yang kurang
menggembirakan, agaknya, memperkuat daya desak untuk setidaknya tim pembantu
presiden di bidang ekonomi segera diganti.
Kerja dengan Gelisah
Respons terhadap desakan reshuffle itu semula hanya
disambut Wapres Jusuf Kalla (JK), sedangkan Presiden Jokowi masih diam saja.
Namun, belakangan isyaratnya mulai sedikit jelas. Selain sudah dipanggilnya
sejumlah figur ekonom dan tokoh masyarakat ke istana, beberapa kali pejabat
yang pernah menemui presiden seperti Ketua MPR Zulkifli Hasan mengungkapkan
ke publik keinginan Jokowi terkait dengan perombakan kabinet itu. Ya,
akhirnya semua bergantung pada presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi
atau pemilik hak prerogatif, apakah mengganti menteri (merombak kabinetnya)
atau tidak.
Tingginya keinginan banyak pihak untuk dilakukannya
reshuffle sebenarnya lebih merupakan bagian dari konsekuensi begitu besarnya
harapan masyarakat terhadap pasangan Jokowi-JK. Semua itu tentu tidak salah,
namun juga bisa dikatakan tidak realistis. Mengapa?
Pertama, para anggota kabinet sudah pasti secara internal
lebih dahulu harus melakukan berbagai penyesuaian (adjustment) dengan barisan birokrasi yang dipimpinnya. Kabinet
sekarang ini baru kerja tujuh bulan lebih sedikit sehingga terlalu singkat
untuk segera melihat produk-produk kerja maksimal sesuai harapan publik yang
sebagian awam terhadap internal birokrasi.
Program-program kementerian juga harus di-review dan berusaha disesuaikan dengan
visi-misi Presiden Jokowi yang terdapat dalam dokumen Nawacita. Saat mereka
mulai bekerja itu, kelompok-kelompok masyarakat di luar terus saja ribut
mengkritik tanpa tahu kondisi internal kementerian. Aneh, bukan? Sebagai
manusia biasa, pastilah para menteri juga merasa waswas atau gelisah, bahkan
tidak tenang bekerja. Mereka merasa terus dihantui berbagai kritik dan
ancaman terkena reshuffle.
Pertanyaannya apakah kemudian figur-figur baru bisa
langsung ’’tancap gas’’? Belum tentu. Bahkan, bukan mustahil akan lebih
buruk. Apalagi kalau figur baru itu tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang memadai di bidang tugas kementerian yang akan dipimpinnya.
Kedua, perlu dicatat juga, pada awal-awal pemerintahan
Jokowi beserta kabinetnya, terjadi tensi politik yang tinggi. Di parlemen ada
perkubuan, yakni KMP (Koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat),
dengan skenario awal seluruh pimpinan DPR berikut alat kelengkapannya
dikuasai KMP. Tepatnya ada ketegangan di parlemen yang turut berpengaruh
terhadap kinerja para menteri sebagai mitra mereka.
Pada saat yang sama, muncul ketegangan antara KPK dan
Polri dalam kasus penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kepemilikan
rekening gendut dan masyarakat umumnya berpihak kepada KPK. Ketika ujung
perseteruan itu ternyata KPK kalah oleh Polri, presiden pun dianggap lemah.
Apalagi kemudian terjadi dualisme di Partai Golkar dan PPP di mana Menkum HAM
Yasonna Laoly terkesan pasang badan membela salah satu kubu.
Tetapi, ternyata ketegangan di parlemen itu juga dijadikan
momentum oleh sebagian figur politikus untuk barangkali ’’menawarkan diri’’
untuk masuk menjadi anggota kabinet melalui mekanisme reshuffle.
Sah Bersyarat
Kendati demikian, tentu reshuffle juga sah-sah saja dan itu merupakan hak prerogatif
presiden. Hanya, hemat saya, hal itu dilakukan setelah secara cermat menggali
akar permasalahan sehingga suatu kementerian tidak perform. Dalam
proses-proses tersebut, figur menteri harus dilibatkan secara langsung
sehingga bisa tahu sendiri akar penyebab tidak keberhasilannya. Jika bisa
diperbaiki, presiden juga harus bijak memberikan kesempatan kepada para
menteri yang bersangkutan untuk melakukannya. Jika ternyata tidak juga
berubah, wajarlah dia segera diganti. Hal itu sekaligus akan menjadi acuan
kerja pemerintahan yang baik.
Lebih dari itu, sistem rekrutmen juga harus diperhatikan.
Sebab, tidak sedikit kritik yang mencurigai adanya figur-figur menteri yang
direkrut tidak berdasar pertimbangan kapasitas dan integritas. Semua itu
harus dijadikan pengalaman dan pelajaran bagi Presiden Jokowi, jangan sampai
ketika melakukan reshuffle kembali menghadirkan figur-figur seperti itu.
Presiden juga harus memastikan adanya standar kinerja para
menterinya sehingga evaluasinya pun jelas dan tidak subjektif. Sebab
(mudah-mudahan saya keliru besar), sepengetahuan saya, belum pernah ada
dokumen seperti itu. Karena itu, ketika pihak luar menilai ’’menteri tidak
berkinerja’’, saya justru berpikir dua kemungkinan: (1) itu hanya orang awam
yang tidak tahu duduk perkara, hanya dapat di ruang melalui pers untuk
mengkritik, atau (2) ada pihak yang tidak puas terhadap Presiden Jokowi
karena tidak kebagian jatah, baik di kabinet maupun di posisi strategis
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar