Bahasa Kita Jadi Bahan Bincang Dunia Maya
Bambang Kaswanti Purwo ;
Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
27 Juli 2015
Tulisan Norimitsu Onishi tentang bahasa Indonesia, yang
terbit di The New York Times (baca
Kompas, 20 Juni 2015, halaman 6), tiga hari kemudian ditanggapi Michel S,
seorang Indonesia yang menetap di Jerman.
Pampangan yang diunggah di
hircus.indonesiamatters.com/indonesians-adopting-english-5/, dengan
tajuk "Indonesian adopting
English: but in what way?", melanjutkan ulasan mengenai anak-anak
Indonesia yang berbahasa pertama bahasa Inggris. Pampangan berbahasa Inggris
ini menuai 27 tanggapan dari kalangan Indonesia dan dunia.
Untuk menyekolahkan anak ke sekolah internasional yang
layak, demikian secara ringkas pandangan Michel, bagi orangtua menengah-atas
yang mampu bukanlah persoalan. Namun, bagaimana dengan orangtua lain, yang
membesarkan anaknya dengan bahasa Inggris, tetapi bahasa Inggris mereka
sendiri belepotan, didukung bahasa Inggris pekerja rumah tangga (PRT)-nya
yang lebih berantakan lagi. Mungkin saja anak itu mampu berbicara dalam tiga
bahasa (bahasa daerah, Indonesia, dan Inggris), tetapi ketiganya sama-sama
rendah tingkat kemahirannya.
Pandangan ini mengundang tanggapan David, yang berbagi
kesannya bahwa banyak kalangan menengah ke atas sesungguhnya tidak peduli
apakah anaknya menguasai bahasa Inggris secara baik atau tidak. Yang
membanggakan hanya ini: dari mulut anaknya dapat keluar bahasa Inggris. Sikap
orangtua ini terkait ke perilaku unjuk lagak (snobbery): berbangga diri anaknya belajar di sekolah yang
berbahasa Inggris.
Lain lagi dari penanggap yang berinisial ET. Memang jelas
ada unjuk lagak, tetapi ada juga tujuan praktis, yaitu menyiapkan anak meraih
kemampuan untuk berkompetisi dalam keadaan masa kini yang terus berkembang
(barangkali maksudnya tuntutan "globalisasi"). Segi ini belum
terbayangkan oleh para nasionalis tahun 1920-an ketika mereka mencanangkan
jati diri Indonesia.
Namun, ketiganya ini barulah pendapat atau pandangan.
Bagaimana hasil penelitian menyangkut kasus ini?
Kasus ini unik karena bahasa pertama anak Indonesia yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia (Kompas, 20 Juni 2015) adalah bahasa asing,
bahasa yang tidak diujarkan di lingkungan sekitar. Keluarga Jawa yang tinggal
di Australia, misalnya, apabila melahirkan anak di sana, bisa jadi anaknya
menjadi penutur berbahasa pertama bahasa Inggris. Kalau keluarga itu tinggal
di India, bisa jadi anak Jawa tadi berbahasa pertama bahasa Hindi atau bahasa
Inggris karena bahasa Inggris dan Hindi diujarkan di lingkungan kehidupan
sehari-hari. Bahasa Inggris di India, seperti juga di Singapura, Filipina,
bukan bahasa asing.
Dijunjung di luar
Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan bahasa asing, bukan
bahasa sehari-hari masyarakat luas, sebagaimana di India, Singapura, atau
Filipina. Di sinilah keunikan Indonesia: mengapa dan bagaimana bahasa Inggris
sampai bisa menjadi bahasa pertama bagi cukup banyak anak Indonesia yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia?
Salah satu kemungkinan jawabannya dapat ditangkap dari
hasil penelitian Rebecca Urip, mahasiswa Unika Atma Jaya, terhadap tiga
keluarga di Jakarta dengan delapan anak, dalam rentang usia 4-17 tahun.
Menurut penelitian yang tertuang di dalam tesis S-2-nya yang diuji 28 Mei
2015 di Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Sekolah Pascasarjana
Unika Atmajaya, anak-anak itu sejak TK mengikuti sekolah dengan pengantar
bahasa Inggris dan bergaul dalam lingkungan berbahasa Inggris.
Ketika kepada setiap orangtua diajukan pertanyaan, "Seandainya Anda harus memilih salah
satu di antara kedua bahasa ini, mana yang harus dikorbankan: bahasa
Indonesia atau Inggris?", masing-masing sama jawabannya, "Bahasa Indonesia."
Ketika ditanya mengapa, jawaban yang muncul, antara lain,
bahasa Inggris lebih efisien, lebih membuka peluang ke dunia luas, lebih
banyak menyediakan sumber pengetahuan. Mengenai seni dan budaya Indonesia,
mereka berpandangan bahwa itu sudah tidak relevan lagi dengan situasi saat
ini. Alih-alih nonton ini, anak-anak dilimpahi tontonan yang berbahasa
Inggris.
Bagaimana dengan lingkungan komunikasi anak sehari-hari?
Mereka di rumah bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan hanya bergaul dalam
lingkungan yang berbahasa Inggris. Mereka pun sadar, memahami, dan menerima
perlakuan orangtua yang diterapkan kepada mereka. "This is my parents' policy. They don't want me to mix-up with
Indonesian students because they want me to, you know, really learn English
and everything."
Mereka hanya berbahasa Indonesia dengan PRT dan sopir,
dengan logat asing pula, seperti orang asing saat berbahasa Indonesia. Bagi
anak-anak ini, bahasa Indonesia turun dan sempit fungsinya.
Akan tetapi, di lingkup mancanegara, bahasa kita justru
dijunjung tinggi dan menarik minat luas. Dalam posting-posting WordPress,
setelah bahasa Spanyol, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang menempati
urutan ketiga paling banyak digunakan.
Menurut Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian
Luar Negeri Andri Hadi, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa
Indonesia. Di Vietnam, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City
telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Vietnam
adalah anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi kedua di negaranya.
Bahwa bahasa Indonesia mulai tak lagi dikuasai oleh
sebagian di antara anak-anak Indonesia masa kini, karena mereka mulai beralih
jadi penutur yang lebih fasih berbahasa asing (Inggris) daripada berbahasa
sendiri, suatu kekhasan yang barangkali tiada duanya di dunia. Apakah
keunikan ini sesuatu yang patut dibanggakan atau diratapi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar