Idul Fitri, Saatnya Kembali ke Desa
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS,
16 Juli 2015
Idul Fitri kembali tiba mengharu biru negeri kita. Sebuah
ritual tahunan bagi umat Islam yang tak hanya diwarnai hiruk-pikuk ibadah
ritualistik dan spiritual, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sosial dan
kultural.
Sungguh, Idul Fitri ibarat "rites of passage", ritus-ritus peralihan dari
tahap-tahap penting berpuasa di bulan Ramadhan, merawat jiwa dari berbagai
godaan fisik hingga tahap pelepasan yang mewujud dalam Idul Fitri.
Ritus-ritus inilah kiranya bisa membangunkan individu untuk
"melampaui" berjibun rintangan, lalu meraih "pencerahan"
sehingga melahirkan elan vital baru dalam menapaki kehidupan selanjutnya.
Desa membangun
Setelah menjalankan "pelatihan rohani" dengan
puasa sebulan penuh, datanglah Idul Fitri, yang berarti kembali ke fitrah
yang secara spiritual digambarkan sebagai "kembali pada pusat
spiritual". "Kembali ke fitrah" ini rasanya tak cukup ditafsir
secara simbolik-spiritualistik yang mengawang-awang, tapi membumi di alam
nyata, menjelma dalam bentuk berbondong-bondong menjelang Idul Fitri untuk
melakukan perjalanan penuh onak duri kembali ke desa.
Sekian lama hidup di kota yang pengap, terpenjara oleh
ritme kota yang kapitalistik serta berpeluh-peluh dalam berjuang demi karier
hidup, kini masyarakat "siuman", tersadarkan kembali bahwa ada
"habitat asali" yang harus diraih dan dirasakan kembali, yaitu
kembali ke desa, kembali ke asalnya masing-masing.
Di Idul Fitri kali ini, kita perlu turut melarutkan diri,
menyambut dengan sigap dan sukacita semangat baru yang saat ini tengah
digelorakan pemerintah melalui Kementerian Desa, yaitu lewat pencanangan
"Desa Membangun". Semboyan baru ini haruslah mampu menyuntik gairah
baru bagi bangsa kita untuk menumpahkan segala daya upaya demi kemaslahatan
pembangunan yang tak lagi berangkat dari kota, melainkan bertumpu dari desa.
Sejauh yang saya baca dan pahami, desa adalah entitas
penting dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan telah ada sejak
sebelum NKRI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Desa di masa
lampau-menyitir Rosyidi Ranggawidjaya (2013)-merupakan komunitas sosial dan
merupakan pemerintahan asli bangsa Indonesia yang keberadaannya telah ada
jauh sebelum Indonesia berdiri. Bahkan terbentuknya Indonesia mulai dari
pedesaan. Fakta menunjukkan, sebagian besar wilayah Indonesia adalah
pedesaan.
Namun, sekian lama desa-desa terlupakan dan belum mendapat
perhatian langsung dari pemerintah. Selama ini desa selalu dipandang sebagai
obyek pembangunan yang mengandalkan tetesan sisa anggaran pembangunan
perkotaan. Dampaknya, desa menjadi daerah tertinggal dan minim pembangunan.
Cara pandang pembangunan tersebut di Indonesia mengidap
kekeliruan fatal. Jadilah Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang identik
dengan pusat kebijakan. Pasalnya, pusat kebijakan ini sering kali dimaknai,
dipercayai, hingga didesakkan juga sebagai pusat pembangunan.
Kebijakan yang "kalap" ini telah begitu
menghunjam dengan menjadikan kota sebagai pusat segalanya. Akibatnya,
konsentrasi pembangunan selama ini sungguh-sungguh terpusat di kota-kota.
Desa pun terabaikan, tak ada kemajuan di desa. Lalu desa ditinggalkan warga
terbaik dengan urbanisasi ke kota. Akibatnya, ribuan desa jadi desa
tertinggal. Tak ayal, terjadi kepincangan pembangunan, ketidakadilan pusat
dan daerah, kota dan desa.
Sekarang telah lahir Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Hal ini jelas merupakan sebuah capaian besar dalam proses
berbangsa dan kenegaraan Indonesia. UU ini telah memberi arah yang benar bagi
proses pembangunan di Indonesia dan menjadi harapan besar bagi masyarakat
desa. Desa sebagai entitas yang punya sifat dan ciri khas dapat membangun
desanya dengan modal kekuatan dan peluang yang dimiliki.
Pemberdayaan
Amanat UU Desa makin kuat karena menjadi cita-cita mulia,
yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam negara kesatuan. Pengaturan desa dalam UU Desa berlandaskan pada
asas rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal-usul dan asas
subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.
Asas utama ini hendak mengukuhkan adanya keberagaman yang
selama ini bersemayam di desa. Karena itu, perlu pengakuan dan penghormatan
terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap
mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Desa-desa di negeri kita sangat menonjol dalam hal
kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, tradisi musyawarah, demokrasi,
dan kemandirian. Di sini, hanya perlu penguatan dalam hal partisipasi warga
desa turut berperan aktif dalam pembangunan desa. Begitupun, penguatan dalam
hal kesetaraan yang berarti kesamaan warga desa dalam kedudukan dan peran
tanpa membeda-bedakan dari segi agama, etnis, jender, status sosial, dan
lainnya.
Oleh karena itu, dalam proses "Desa Membangun"
hanya perlu mengedepankan pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan warga desa melalui penetapan kebijakan, program, dan
kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat
desa. Juga jangan sampai terlewatkan sisi keberlanjutan, proses yang
dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.
"Desa Membangun" bukan saja mengakui dan
menghormati keragaman desa, kedudukan, kewenangan, dan hak asal-usul maupun
susunan pemerintahan. Lebih dari itu, melalui UU Desa berarti melakukan redistribusi
ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang
negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan
sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi, dan marjinalisasi yang terjadi
selama ini yang dilakukan oleh kekuatan politik dan kapital. Desa perlu
mendapatkan proteksi yang bukan hanya proteksi kultural, juga proteksi dari
intervensi berlebihan yang dilakukan oleh kekuatan supradesa, politisi, dan
investor.
Walhasil, dari desalah kita berasal, maka kita perlu
kembali ke asal. Dengan mudik, mari bersama kita menggelorakan warga desa
untuk memperbaiki nasib lewat "Desa Membangun". Desa haruslah
menjadi "ladang" pembangunan yang tak hanya fisik, tetapi membangun
peradaban yang akan melahirkan insan-insan genial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar