Kemenangan Hilal
Garin Nugroho ;
Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 Juli 2015
Hilal adalah bulan sabit muda
pertama setelah terjadinya konjungsi yang menentukan hari terakhir puasa dan
awal dari Lebaran. Oleh karena itu, hilal menjadi penting bagi umat Islam
untuk bisa bersama-sama merayakan hari Lebaran yang lebih disebut sebagai
hari merayakan kemenangan.
Namun menjelang Lebaran ini, saya
ingin memberi catatan khusus pada film Indonesia bertajuk Mencari Hilal karya
Ismail Basbeth yang dibintangi dengan seni peran yang terpuji dari Deddy
Sutomo dan Oka Antara. Hilal dalam film ini tidak saja dipresentasikan
sebagai bulan sabit muda, tetapi juga dipresentasikan sebagai nama seorang
anak muda yang harus menemani ayahnya yang ingin melihat hilal sebagai
penunjuk merayakan hari kemenangan.
Sebuah perjalanan ayah dan anak
yang penuh paradoks. Ayah yang begitu keras dan jujur menjalankan ibadah
beserta hukum-hukumnya, bahkan sampai terlupa merawat istri yang sakit dan
tak cukup dekat dengan anaknya, sementara sang anak penuh dimensi
pemberontakan pada sikap ayahnya yang serba mutlak. Yang menarik, film ini
secara sederhana dan alami mengelola benturan ayah dan anak lewat
peristiwa-peristiwa yang membawa kita pada kesadaran tentang Islam Nusantara:
toleransi, keberagaman tafsir, pertemuan Islam dengan beragam budaya lokal
yang penuh adopsi baik dalam tata cara, cara pandang, cara laku baik busana,
hingga perayaan-perayaan religiusitas yang melahirkan keberagaman.
Bagi saya, dalam suasana Ramadhan
ini, perayaan hari kemenangan menjadi berarti sekiranya ruang komunikasi
publik dalam kehidupan sehari-hari, seperti bioskop, radio, hingga televisi
ataupun ceramah-ceramah keagamaan, mampu menjadi daya hidup Islam Nusantara.
Ruang publik komunikasi yang mampu mengelola wajah religiusitas yang tidak
hitam putih, vulgar, penuh kekerasan, serba mutlak dan memaksa, yang hanya
melahirkan ruang publik komunikasi religiusitas yang menakutkan serta penuh
ancaman atas perbedaan serta pertanyaan.
Padahal, perbedaan dan pertanyaan
sebagai muara tafsir adalah kemuliaan terbesar dalam Islam yang dikenal
sebagai ijtihad (tafsir dalam tinjauan beragam perspektif yang dalam). Di
sisi lain, taqliq buta alias tafsir sempit, dangkal, dan membabi buta adalah
jalan yang dihindari ajaran Islam dalam menghidupkan religiusitas.
Film Mencari Hilal berakhir dengan
benturan keras perbedaan yang menjadikan sang ayah tidak mengakui anaknya dan
sang anak menyatakan sekiranya boleh melakukan pilihan, tidak ingin menjadi
anak dari ayah yang menelantarkan kehidupan rumah dan ibunya untuk ibadah.
Adegan berakhir dengan pertemuan ayah dan anak di pantai dengan hilal (bulan
sabit muda) terhampar di depan. Sang ayah juga menemukan hilal sebagai
anaknya di sampingnya. Sang ayah telah melihat hilal sebagai kehidupan utuh
yang toleran.
Melihat film ini, tentu banyak
kekhawatiran dalam hubungannya dengan penonton, berkait gaya yang natural
dari film ini dengan bintang laki-laki tua dan anak muda dalam peristiwa-
peristiwa sederhana. Namun bagi saya, daya hidup komunikasi religiusitas
Islam Nusantara sangat digantungkan daya hidup warga untuk terlatih dalam
komunikasi yang elegan, sederhana, serta penuh respek.
Haruslah dicatat, dilema agama
abad ini bertumbuh lebih menjadi agama simbolis yang mudah dikonsumsi di
tengah abad serba pasar dan dipasarkan. Ironisnya, di tengah era
teknokapitalis serba pameran perhatian tiap detik untuk meraih massa,
menjadikan komunikasi ruang publik agama serba simbolis, tidak lagi mempunyai
keberanian mencari jalan lain, selain berlomba mengelola pameran perhatian
dengan cara vulgar, serba kemasan berlebihan serta eksploitasi dangkal, yang
memang mudah dikonsumsi. Pada gilirannya komunikasi publik agama simbolis
segalanya serba jargon mutlak ataupun serba hitam-putih, sebuah perjalanan
komunikasi publik religiusitas yang kehilangan ijtihad, yang menjadi daya
hidup terbesar dan terindah Islam.
Lebaran sesungguhnya harus menjadi
hari kemenangan, kemenangan yang tidak lagi dengan komunikasi publik penuh kekerasan
dan ancaman. Namun dengan jalan ijtihad, memberi daya hidup religiusitas
lewat jalan tafsir multi dimensi penuh toleransi yang memberi ruang
pertanyaan, perbedaan, dan adopsi. Sesungguhnya jalan ijtihad ini yang
menjadikan Islam dalam sejarahnya di Indonesia mampu merembes dan beradopsi
dengan beragam budaya di Nusantara, serta duduk bersama dengan agama lain,
bahkan yang seperti Buya Syafii Maarif katakan, ”mampu duduk bersama antara
yang theis dan atheis”. Dengan kemuliaan itu, Indonesia menjadi negara Islam
terbesar di dunia serta contoh daya hidup religiusitas bagi dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar