Minggu, 12 Juli 2015

Tiga Kesadaran Keutamaan

Tiga Kesadaran Keutamaan

   Sudaryono  ;  Guru Besar Arsitektur dan Perencanaan FT UGM
                                                           KOMPAS, 11 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nilai-nilai keutamaan bangsa dirasa kian merosot akibat tiadanya keteladanan elite. Demikian kesimpulan wawancara Kompas terhadap sejumlah tokoh pada edisi 27 Juni 2015.

Keutamaan telah menjadi terpilah, terkeping, dan terjauhkan dari sifatnya yang utuh. Keutuhan keutamaan, meminjam konstruksi berpikir Husserl (1954, 1970), terbagi dalam tiga lapis kesadaran: (1) keutamaan sebagai kesadaran transendental; (2) keutamaan sebagai kesadaran intensional; dan (3) keutamaan sebagai kesadaran life world.

Hubungan antartiga kesadaran itu hierarkis. Artinya, kesadaran transendental keutamaan yang bersumber pada nilai-nilai menjadi dasar bagi terbangunnya kesadaran ”niat” atau intensi tentang keutamaan, yang bermuara pada ”perbuatan keutamaan” dalam dunia sosial (life world).

Dalam payung berpikir Husserl, ketiga kesadaran itu satu keutuhan kesadaran, tetapi dalam praktik kehidupan berbangsa kita belasan tahun terakhir, ketiga lapis kesadaran itu berjalan terpisah dan telah membangun gugus-gugus kenyataan sosial yang tidak saling terhubung.

Kesadaran keutamaan

Kesadaran transendental merupakan hulu kesadaran keutamaan. Dalam kesadaran ini, nilai-nilai keutamaan bersemayam dalam waktu yang panjang serta dalam skala satuan masyarakat yang luas berupa acuan nilai, ajakan kebaikan, ajaran keselamatan, dan patokan keutamaan.

Pada digit yang lebih teraba, kesadaran ini telah menyublim dalam bentuk lembaga-lembaga keagamaan, adat, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Dalam payung kesadaran ini, kumpulan manusia yang banyak dan berbeda-beda telah disatukan dalam suatu ”gerak keutamaan”.

Dalam kenyataan sosial berbangsa dan bernegara di Indonesia, kesadaran transendental akan ”gerak keutamaan” pada belasan tahun terakhir telah terhenti hanya menjadi sekadar gerakan intelektual, gerakan kajian, dan gerakan tekstual saja.

Keutamaan telah terhenti di rumah-rumah keagamaan, di ruang-ruang seminar, di kursus-kursus berbiaya mahal, di ruang-ruang iklan, dan di pesan-pesan berantai media sosial yang mengharukan.

Kesadaran ini telah tersumbat oleh kekuatan-kekuatan yang hadir dari samping berupa egoisme, kepentingan kelompok, dan bahkan mungkin ketidakikhlasan melihat karya-karya keutamaan yang dibangun oleh orang lain.

Karena kesadaran transendental tersumbat, kesadaran ini tidak mampu lagi merembes ke bawah apalagi mendorong terbangunnya kesadaran intensional dan kesadaran perbuatan keutamaan (life world). Barangkali situasi seperti itulah yang menjadi keprihatinan para tokoh yang ditulis Kompas.

Kesadaran intensional

Secara hierarkis, kesadaran intensional seharusnya merupakan turunan dari kesadaran transendental tentang keutamaan. Artinya, tujuan serta konsep keutamaan dirumuskan berdasarkan nilai-nilai luhur yang bersemayam di hulu kemuliaan. ”Niat” keutamaan seharusnya dibangun di bawah mandat nilai-nilai yang berhulu pada ajaran keluhuran dan kemuliaan.

Namun, dalam praktik kehidupan sosial kita, ”niat-niat keutamaan” dirumuskan secara horizontal berdasarkan kepentingan jangka pendek pribadi ataupun kelompok. Keutamaan digerakkan menjadi media untuk menghasilkan efek-efek bertarget ekonomi, politik, dan unjuk kekuasaan. Keutamaan menjadi sekadar kemasan dan label, sekadar fenomena ”seakan-akan”.

Keutamaan bukan lagi didorong oleh tujuan untuk menggerakkan nilai-nilai keluhuran menjadi kenyataan sosial dalam bentuk perbuatan keutamaan, melainkan sekadar alat mencari raihan bersifat sesaat. Sangat memprihatinkan memang.

Kesadaran ”life world”

Sebagai kesadaran life world, ”keutamaan” yang berhulu pada kesadaran transendental dan intensional mestinya muncul sebagai jaring-jaring perbuatan keluhuran, mulai dari skala keluarga, masyarakat sampai negara. Dalam kesadaran ini, keutamaan telah menjadi perbuatan keseharian yang dilakukan dan tanpa target pujian, keuntungan ekonomi, kenaikan rating, ataupun panen perolehan suara politik.

Namun, sama halnya dengan nasib kesadaran intensional, dalam realitas berkebangsaan dan bernegara, kita menjumpai keutamaan telah bercampur aduk antara keutamaan yang ”sesungguhnya” dengan keutamaan ”yang tidak sesungguhnya”. Keutamaan yang ”sesungguhnya” adalah keutamaan yang hadir berdasarkan kesadaran intensional dan kesadaran transendental. Sementara keutamaan yang ”tidak sesungguhnya” adalah keutamaan yang secara sadar diproduksi tanpa kesadaran yang berhulu pada keluhuran dan kemuliaan budi manusia, tetapi dihadirkan sebagai persembahan untuk mendatangkan kemuliaan dan keluhuran ekonomi ataupun politik pribadi dan kelompok.

Dalam kenyataan sosial bisa saja terjadi, misalnya bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada suatu kelompok masyarakat diminta kembali oleh pemberinya tanpa rasa malu karena ternyata si pemberi bantuan gagal meraih panen suara politik.

Optimisme                                            

Saya sangat setuju dengan Haryatmoko, Bambang Sulistyo, Sallahudin Wahid, Garin Nugroho, Ainun Najib, dan Khofifah yang dikutip Kompas, bahwa nilai-nilai keutamaan masih bersemayam di dada manusia-manusia Indonesia.

Pada peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan, seperti gempa di Yogyakarta dan sekitarnya (2006), hal itu dibuktikan. Pada hari pertama gempa, setelah para korban dimakamkan, malam harinya hujan deras mengguyur. Warga yang rumahnya roboh berteduh di rumah-rumah warga yang tegak.

Pada hari kedua, warga dari daerah-daerah lain berdatangan membawa apa saja yang bisa dibawa. Dari mi instan, ayam goreng, nasi bungkus, susu bayi, selimut, tenda, dan bahan-bahan lain meski mereka tidak saling mengenal. Yang mereka kenal adalah manusia-manusia yang sedang mendapat musibah dan perlu mendapat pertolongan.

Hari-hari berikutnya warga dari daerah-daerah lain tak hanya membawa bahan makanan dan minuman saja, tetapi juga membawa sekop, cangkul dan peralatan-peralatan lain untuk membersihkan puing-puing rumah yang roboh, dan membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan yang masih bisa dimanfaatkan. Suasana ketulusan dan keikhlasan kemanusiaan yang ”anonim” ini berjalan dengan tenang sampai kira-kira hari kelima setelah gempa.

Disebut ”anonim” karena yang ditolong dan si penolong tak saling kenal dan bagi mereka tak penting saling mengenal identitas diri di antara mereka.

Namun, pada hari keenam setelah gempa, di beberapa sudut desa di wilayah gempa mulai bermunculan bendera, papan nama, dan kantong-kantong bantuan yang sudah berlabel lembaga si pemberi bantuan. Pada hari ketujuh dan seterusnya, bendera-bendera dan papan-papan nama semakin bertebaran di wilayah gempa. Mulailah terjadi percampuran antara ”penolong sesungguhnya” dan ”penolong yang tidak sesungguhnya”.

Dampaknya, di antara warga mulai tumbuh perasaan iri satu sama lain karena nilai dan jumlah bantuan yang diterima tak sama, tergantung bendera dari lembaga mana si pemberi bantuan.

Jadi, kesimpulannya, nilai-nilai keutamaan, keluhuran, dan ketulusan memang masih ada di dalam kesadaran (transendental, intensional, dan life world) diri manusia-manusia Indonesia, tetapi hal itu memang sangat rawan untuk direbut oleh lembaga-lembaga yang ”berbendera kepentingan”.

Itulah pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini karena hal ini juga terulang terjadi lagi pada peristiwa erupsi Merapi pada 2010 dan mungkin juga pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan lain ke depan.

Pesan dari pelajaran tersebut adalah negara harus kuat dalam mendampingi dan melindungi peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang ”spontan” dan ”anonim” ini. Maka ”bendera-bendera kepentingan” tak dibiarkan merebut nilai-nilai keutamaan dari dada manusia-manusia Indonesia yang kenyataannya memang masih menjadi harta karun melimpah bagi gerak pembangunan bangsa ke depan.

Pelajaran lain yang juga perlu direnungkan oleh bangsa ini adalah ternyata ”gempa kepentingan” dan ”erupsi kepentingan” dari kelompok-kelompok kepentingan jauh lebih dahsyat dalam merobohkan kesadaran nilai-nilai keutamaan bangsa ini, daripada gempa tektonik maupun erupsi Merapi. Negara memang perlu segera membangun Badan Penanggulangan Bencana Erosi Keutamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar