Minggu, 12 Juli 2015

Politik Amnesti Tanpa Amnesia

Politik Amnesti Tanpa Amnesia

   Otto Gusti  ;  Dosen HAM dan Filsafat Politik di STFK Ledalero, Flores;
Alumnus Hochschule für Philosophie, Muenchen, Jerman
                                                           KOMPAS, 11 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Die Erinnering ist die hÖchste Form der Gerechtigkeit” — "Ingatan adalah bentuk keadilan tertinggi"        Roger Errera (1933-2014)

Pemikir Perancis

Awasan etis Errera hendaknya menjadi panduan bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam membentuk Tim Gabungan Rekonsiliasi Pelanggaran HAM Berat sebagai bukti kesungguhan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan HAM masa lalu.

Keputusan pemerintah untuk menempuh jalur ”rekonsiliasi”menuai kritik dari masyarakat. Kritik atas rekonsiliasi versi negara ini dapat dipahami sebab rekonsiliasi pada prinsipnya adalah hak korban.

Rekonsiliasi bukan sekadar membebaskan orang dari hukuman dan memberikan amnesti. Luka-luka masa silam hanya dapat disembuhkan jika kebenaran sungguh terungkap dan mendapat pengakuan. Masyarakat luas dan terutama para korban berharap bahwa rekonsiliasi bukan berarti membangun perdamaian di atas kubur tertutup sejarah masa lalu.

Demokrasi dan kenangan

Persoalan Indonesia adalah khas bagi setiap bangsa demokratis yang relatif muda dan harus menjembatani kultus akan kenangan masa lalu dan pembangunan masa depan bangsa yang lebih demokratis. Membiarkan kebenaran sejarah masa lalu berbicara, sering dianggap membahayakan persatuan dan menghambat masa depan sistem politik yang lebih demokratis.

Alasan ini sering disampaikan pemerintah untuk menjelaskan sulitnya pengungkapan kebenaran sejarah pembantaian massal tahun 1965, penghilangan paksa periode 1997-1998, dan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya pada masa Orde Baru. Membongkar luka masa lalu dianggap membahayakan stabilitas nasional dan menghambat proses pembangunan tatanan Indonesia. Penguakan kebenaran sejarah masa lalu lebih dipersulit lagi ketika para pelaku kejahatan masih mengendalikan kekuasaan.

Sulitnya mempertemukan kenangan masa lalu dan penataan demokrasi disadari Thomas Jefferson, penulis deklarasi kemerdekaan dan presiden ketika Amerika Serikat. Pemikir Prancis, Ernest Renan, bergerak satu langkah lebih jauh lagi ketika mengatakan: ”Lupa atau lebih tepat kekhilafan historis memainkan peran penting dalam konstruksi sebuah nation (bangsa) dan karena itu kemajuan penelitian sejarah sering menjadi bahaya bagi sebuah bangsa” (Renan, 1993).

Kedua pemikir kebangsaan di atas tidak sedang memberikan apresiasi terhadap politik lupa atau politik amnesia. Keprihatinan Jefferson berkaitan dengan penataan demokrasi, sedangkan fokus perhatian Renan berhubungan dengan konstruksi negara-bangsa. Keduanya mengetahui persis pentingnya makna masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan jebakannya. Karena itu, sangat dibutuhkan pembentukan strategi hukum, politik, dan kultural sebuah politik ingatan.

Melampaui lupa

Negara-negara yang baru keluar dari rezim otoritarian dan memasuki era demokratisasi memiliki macam-macam strategi untuk mengelola pengalaman masa lalunya. Strategi-strategi itu bergerak dari metode menghukum berat terhadap para pelaku genosida pada masa silam hingga strategi tutup buku atau melupakan kejahatan masa lalu. Jokowi-JK dalam menyelesaikan pelbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia harus bergerak di arena antara dua sistem ini.

Persoalan amnesti menjadi sulit terpecahkan karena posisinya yang berada di antara dua sudut pandang ekstrem di atas. Kebingungan sudah mulai dengan makna kata amnesti. Carl Schmitt, ahli hukum Jerman awal abad ke-20, mengartikan amnesti sebagai sumber perdamaian. Secara etimologis, demikian Schmitt, amnesti berarti ”Politik des gegenseitigen Vergessens”—”politik saling melupakan” (Schmitt, 1995).

Praksis amnesti sesungguhnya lebih dari sebuah arsoblivionis politis atau strategi politik lupa. Amnesti memberi makna pada distingsi antara memaafkan dan melupakan. Amnesti melukiskan momentum di mana kepentingan kolektif membatalkan prinsip hukum. Jadi praksis amnesti bergerak dalam ruang tanpa tuan antara tuntutan keadilan dan kebutuhan akan stabilitas perdamaian sosial. Amnesti adalah konsep hukum minus substansi hukum yang secara paradoksal membatalkan norma-norma hukum dalam proses transisi menuju negara hukum.

Paradoks amnesti

Kodrat paradoksal ini membuat konsep amnesti sulit dipahami. Pada momen transisi menuju sebuah sistemhukum dan politis di mana tanggung jawab berperan sebagai prinsip dasar, justru amnesti merancang pembatalan tanggung jawab.

Konsep amnesti melahirkan pertanyaan fundamental seputar keadilan pada masa transisi politis menuju demokrasi. Amnesti menyentuh persoalan mendasar tentang legitimasi dan koherensi keadilan hukum dan restropectivejustice. Dari sudut pandang etis persoalan amnesti menampilkan kebinekaan wajah.

Hal itu menjadi terang-benderang jika amnesti diberikan dalam rangka komisi kebenaran yang secara prinsipiil tujuannya adalah amnesti tanpa amnesia. Di sini actus menguak kebenaran, membongkar kejahatan politis dan pelecehan hak-hak asasi manusia masa lalu berlaku sebagai syarat pengampunan. Kejahatan masa lalu dibongkar, pelecehan HAM menjadi terang-benderang dan mengambil bagian dalam memori kolektif bangsa.

Dalam rekonsiliasi pertanggungjawaban etis mendapat prioritas di hadapan solusi hukum. Metode penyelesaian seperti ini didasarkan pada sebuah keyakinan akan kekuatan revolusioner kebenaran.

Amnesti adalah donum atau hadiah yang diberikan oleh para korban. Lewat keikhlasan memberikan absolutio (pengampunan) korban meninggalkan posisinya sebagai korban dan menunjukkan kekuasaan moralnya di hadapan pelaku kejahatan.

Pengakuan akan kebenaran sejarah masa lalu dapat diungkapkan dalam bentuk rekonsiliasi politis dan pemulihan hak-hak korban oleh negara (rehabilitasi). Pengakuan juga dapat mengambil bentuk tradisi ingatan kolektif, museum, monumen, hari-hari raya khusus dan seremoni. Dengan demikian bahaya lupa yang melekat pada setiap amnesti dapat dikurangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar