Koperasi di Persimpangan Jalan
M Dawam Rahardjo ;
Rektor Universitas Proklamasi '45, Yogyakarta
|
KOMPAS,
13 Juli 2015
Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 dan
Penjelasannya yang menjadi dasar regulasi dan pelembagaan koperasi Indonesia
itu tidaklah seperti ilham yang turun dari langit, melainkan memiliki akar
sejarah dan perkembangan pemikiran mengenai ekonomi dan koperasi Indonesia.
Kesimpulannya, pertama, koperasi
Indonesia dipandang sebagai sistem ekonomi mikro, sebagaimana identitas
koperasi universal rumusan International Cooperative Aliance
(ICA), dan kedua, dipandang sebagai sistem ekonomi mikro maupun makro
walaupun sistem makronya disebut
"Demokrasi Ekonomi" sebagaimana tercantum dalam Penjelasan
Pasal 33 atau sistem "Kesejahteraan Sosial" yang menjadi judul bab
XIV, UUD 1945. Namun, dalam realitasnya, terdapat perbedaan interpretasi
antara penekanan pada jati diri koperasi sebagai sistem ekonomi mikro atau
badan usaha dan koperasi sebagai sistem ekonomi makro yang mewajibkan
pemerintah berdasarkan konstitusi membina dan membantu koperasi sebagai
sistem ekonomi makro.
Dalam realitas telah lahir tiga
model menurut jati dirinya. Pertama, koperasi sebagai gerakan sosial-ekonomi.
Kedua, koperasi sebagai program pemerintah. Ketiga, koperasi sebagai badan
usaha. Pada mulanya koperasi lahir sebagai gerakan dan bagian dari misi
gerakan sosial, mula-mula pada Boedi Oetomo/BO (1908) dan kemudian Sarekat
Dagang Islam/SDI (1911). Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sendiri lewat
pejabatnya, Asisten Residen Sieburgh, menyatakan simpati sebagai bagian dari
etika liberalnya, dan penggantinya, Wolf van Westerride, memperkenalkan
koperasi simpan pinjam Raiffeisen dan Schutze Delitze di kalangan petani
miskin untuk menggantikan sistem perbankan di pedesaan.
Namun, BO maupun SDI mengembangkan
koperasi konsumen dan perdagangan model Rocdale Inggris di kalangan kaum
buruh. Sikap simpati dalam bentuk full-commitment and limited inlvolvement di
kalangan birokrat itu kemudian jadi tradisi yang diteruskan JH Boeke di
kalangan pejabat Belanda dan Margono Djojohadikusumo di kalangan birokrat
pribumi di masa Hindia Belanda. Ini
dilakukan terbatas dalam kegiatan penerangan dan pendidikan masyarakat, tanpa
bantuan program atau permodalan.
Model ini diteruskan Wakil
Presiden Hatta. Intervensi pemerintah baru dimulai pada zaman Jepang yang
menempatkan koperasi sebagai alat penghimpunan dan distribusi bahan pangan,
dan dihidupkan kembali tahun 1969 oleh Presiden Soekarno dalam rangka
mencapai Sistem Ekonomi Sosialis Indonesia. Program penghimpunan dan
distribusi pangan itu ditambah bahan sandang. Sejak itu, lahir model koperasi
sebagai program pemerintah. Pada masa Orde Baru mulai dikembangkan secara
bertahap koperasi sebagai badan usaha yang dikombinasikan dengan program
pengembangan UKM.
Koperasi
sebagai gerakan
Baik di Eropa maupun Hindia
Belanda, koperasi pada dasarnya berkembang dalam bentuk gerakan yang sering
tak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Di masa Hindia Belanda, gerakan
koperasi tak sejalan dengan program pengembangan bank desa oleh pemerintah.
Sejak Kongres Koperasi 1927 oleh Partai Nasional Indonesia di bawah Soekarno,
koperasi mulai dicurigai sebagai alat perjuangan melawan penjajahan. Dalam
politik liberal, koperasi diarahkan sebagai suatu badan usaha. Pemerintah
bersimpati terhadap gerakan melawan monopoli-monopsoni seperti di Barat.
Setelah koperasi membuktikan diri
memberikan manfaat terhadap rakyat, misalnya dalam mengatasi kemiskinan,
menciptakan kapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan, pemerintah mulai
bersimpati kepada gerakan koperasi, baik di Eropa-Amerika maupun di Hindia
Belanda. Mereka mulai membantu perkembangan koperasi dengan regulasi,
pelembagaan dan kebijakan ekonomi, misalnya pembebasan pajak dan pemberian
bisnis, dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Kebijakan ini diikuti perusahaan
swasta, misalnya dengan mengizinkan pembentukan koperasi di kalangan buruh
dan karyawan, umumnya koperasi simpan-pinjam yang meringankan beban
perusahaan. Namun, kebijakan ini menimbulkan sikap yang bertentangan dengan
asas kemandirian (independensi) dan keswadayaan (self-help) koperasi, berupa motif dapat bantuan dan
perlindungan pemerintah yang
diskriminatif yang bertentangan dengan asas liberalisme ekonomi.
Lambat
Karena berbagai hambatan itu,
perkembangan koperasi menjadi lambat. Asas kemandirian dan self-help gerakan
koperasi kemudian dinilai menyebabkan lambatnya perkembangan koperasi dan
membutuhkan kesabaran. Pejabat yang bersimpati kepada koperasi yang menyadari
manfaat koperasi dalam peningkatan kesejahteraan sosial kemudian melakukan
kebijakan akselerasi perkembangan koperasi, sebagaimana dilakukan Soeharto.
Bentuknya, pemberian bisnis, misalnya distribusi pupuk dan penyaluran kredit
ke anggota dan unit usaha koperasi dalam industri pengolahan gabah jadi beras
untuk dijual ke Bulog dengan perlindungan harta, yang kemudian menimbulkan
konsep sisa hasil usaha (SHU).
Sukses koperasi kemudian diukur
dari besarnya SHU, volume usaha dan nilai aset. Kebijakan yang dinilai
"memanjakan" koperasi itu tak disetujui sebagian penganjur gerakan
koperasi yang berhaluan menekankan jati diri koperasi sebagai sistem ekonomi
mikro atau badan usaha. Mereka lebih menyetujui penguatan koperasi sebagai
badan usaha bersama atau dasar kerja sama (cooperation) agar mampu bersaing
di pasar bebas. Dengan perkataan lain, menekankan asas kemandirian dan
keswadayaan sebagai badan usaha. Kelompok koperasi ini bahkan menolak bantuan
pemerintah sebagaimana dilakukan Credit Union yang anggotanya umumnya banyak,
di atas 1.000 orang, sehingga tabungan dan asetnya besar.
Namun, sebagian pejabat dan pelaku
gerakan koperasi juga menyadari kelemahan koperasi dalam penghimpunan modal
karena tersandera definisi koperasi sebagai "kumpulan orang dan bukannya
kumpulan modal". Kelompok inilah yang berusaha mencari jalan keluar,
dengan membedakan antara tabungan yang dianggap sebagai dana pihak ketiga
(DPK) sesuai prinsip perbankan, dengan modal yang disetor anggota dengan
istilah "modal pokok" dan "sertifikat saham" yang berbeda
dengan modal oleh investor besar sebagai "pemegang saham pengendali".
Inilah yang membedakan koperasi
sebagai user oriented firm dengan perseroan terbatas sebagai investor oriented firm. Legitimasi
koperasi diperkuat sebagai badan hukum yang disahkan notaris; pendiriannya
didasarkan model usaha, rencana usaha dan rencana keuangan dan anggaran
program berdasarkan studi kelayakan, yang disahkan dalam rapat anggota
sebagai program koperasi. Konsekuensi perbedaan penafsiran mengenai identitas
koperasi itu akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam penyusunan UU
Perkoperasian baru, pengganti UU No 17/2012 yang bertujuan meneguhkan
koperasi sebagai badan usaha sehat, mandiri, dan berpotensi untuk berkembang,
dengan ukuran jumlah anggota setiap unit, volume usaha, SHU dan nilai aset. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar