Untuk Apa Reshuffle?
Jazuli
Juwaini ; Ketua
Fraksi PKS DPR RI
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2015
Belum genap satu tahun usia
Kabinet Kerja, isu bongkar-pasang pembantu Presiden sudah menyeruak ke
permukaan. Berita yang santer beredar di media massa ialah beberapa menteri
dari bidang perekonomian akan diganti oleh Jokowi.
Sebabnya disebutkan adalah perekonomian
Indonesia yang cenderung lesu dan dikhawatirkan, jika mereka yang ada di
posisi tersebut tidak diganti, kondisi ekonomi Indonesia akan makin memburuk.
Dilihat dari sisi waktu, jika benar reshuffle dilakukan pada Juli ini, itu
tentu di luar kelaziman.
Menurut temuan Christopher Kam dan
Indridi Indridason (2005) dalam artikel mereka, ”The Timing of Cabinet Reshuffles in Five Westminster Parliamentary
Systems”, di negara-negara dengan sistem pemerintahan parlementer yang
lebih volatile ketimbang sistem
presidensial saja, rata-rata reshuffle kabinet di lima negara (Australia,
Inggris, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru) adalah setiap 11 (sebelas)
bulan.
Apalagi, Indonesia tidak menganut
sistem parlementer di mana dalam sistem tersebut jabatan kepala pemerintahan
dan kabinetnya relatif rentan. Sebaliknya, negara kita menggunakan sistem
presidensial di mana jabatan presiden bersifat fixed kecuali sosok presiden
melanggar aturan dalam konstitusi.
Belum lagi, seperti digembar-gemborkan
sebelumnya oleh Jokowi, proses penentuan menteri-menterinya telah melalui
proses yang tidak hanya panjang, namun juga dibantu oleh tim transisi yang
bekerja selama kurang lebih dua bulan. Adanya reshuffle kabinet yang akan
datang menjadi sinyal bahwa yang didengungkan sebelumnya layak untuk
dipertanyakan kebenarannya.
Political
vs Performance
Secara teoritis, ada dua
pendekatan dalam melihat alasan di balik keputusan melakukan reshuffle
kabinet yang dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan. Pertama, political-based. Dalam pendekatan ini,
Indridi Indridason dan Christopher Kam (2008) dalam tulisan mereka yang berjudul
”Cabinet Reshuffles and Ministerial
Drift” menyebutkan reshuffle kabinet dilakukan dengan maksud dan tujuan
untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada seperti mengubah konstruksi
koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai
politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan
sendiri.
Kedua, performance-based. Dalam konteks pendekatan ini, kebijakan
pergantian menteri diambil karena faktor tidak perform-nya kinerja menteri dan dikhawatirkan bila tidak ada
rotasi kabinet, dapat mengganggu kinerja kabinet secara keseluruhan. Yang
termasuk dalam kategori ini ialah pergantian menteri yang disebabkan menteri
tersebut membuat skandal seperti korupsi atau pelanggaran-pelanggaran
sejenisnya.
Dalam konteks negara yang sudah
maju bahkan pergantian menteri didahului oleh tindakan pengunduran diri oleh
menteri yang tersangkut kasus ataupun underperform karena kuatnya rasa
tanggung jawab dan berpegangan erat dengan masalah etika jabatan publik.
Dalam kenyataannya, memang bisa saja kedua pendekatan di atas tidak berdiri
sendiri, melainkan hadir secara bersamaan.
Tetapi, meski terjadi hal yang
demikian, umumnya ada salah satu pendekatan yang lebih kuat ketimbang yang
lain sebagai dasar penentu keputusan reshuffle. Lantas, bagaimana kemudian
dengan reshuffle yang akan datang? Jokowi dan JK seperti dikutip sejumlah
media massa mengatakan bahwa mereka melakukan proses evaluasi kinerja
terhadap para menteri.
Sayangnya, baikalat, indikator, maupun hasil
evaluasi yang dimaksud tidak pernah dilempar kepada publik. Padahal, publik
berhak untuk tahu perihal evaluasi tersebut apakah benar objektif ada atau
tidak. Ditambah lagi, periode evaluasi dan rencana reshuffle di bawah periode
satu tahun pemerintahan Jokowi juga menimbulkan pertanyaan di benak rakyat
banyak.
Yang justru ”terlihat lebih
objektif” dan dapat diketahui publik adalah penilaian yang dilakukan lembaga
survei atau media massa. Menurut hasil survei Poltracking Institute yang
diselenggarakan dalam rentang tanggal 23- 31 Maret 2015, mayoritas responden
(41,8%) setuju dilakukan reshuffle karena ketidakpuasan publik terhadap
kinerja Jokowi-JK dan kabinetnya.
Selain itu, merujuk hasil survei
lain dari Indo Barometer yang dilakukan pada 15- 25 Maret 2015, tingkat
kepuasan publik kepada kinerja Joko-wi hanya 57, 5 % , sedangkan Jusuf Kalla
hanya 53,3%. Adapun terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya
46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.
Namun, tampaknya yang lebih kuat
dan menjadi intidari alasan reshuffle adalah faktor politik yaitu desakan
dari partai politik pendukung, terutama partai politik pengusung Jokowi
sendiri, yang menginginkan kader partai tersebut lebih banyak lagi mengisi
kabinet.
Sinyalemen itu tampak terang
datang dari lontaran kader atau pengurus partai politik tersebut yang
mengatakan Jokowi perlu melakukan reshuffle kabinet. Meski merupakan hak
istimewa Presiden, wajar jika Presiden ”berkonsultasi” dengan PDIP karena
merupakan partai pengusung.
Bukan
Akomodasi
Reshuffle sepenuhnya adalah hak
prerogatif Presiden. Meski demikian, idealnya reshuffle kabinet tidak
ditempatkan sebagai instrumen untuk melakukan akomodasi politik terhadap
kekuatan politik yang ada. Lebih dari itu, reshuffle mesti ditempatkan
sebagai cara Presiden membongkar menteri yang tidak berhasil menunjukkan
kinerjanya dan memasang penggantinya yang bisa bekerja sesuai harapan rakyat
banyak.
Tak hanya itu, sampai saat ini
belum pernah ada penelitian dan studi yang dapat diandalkan dengan mengambil
contoh di pemerintahan sebelumnya bahwa kinerja kementerian sesudah reshuffle
pasti lebih baik daripada sebelum di-reshuffle. Jika terkait kinerja, boleh
jadi masalahnya bukan selalu ada pada menterinya, tapi ada pada hal lain
seperti misalnya birokrasi di bawah menteri tersebut. Jika demikian yang
terjadi, pertanyaannya kemudian, untuk apa reshuffle kabinet? Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar