Mengakui Calon Tunggal
Adi Sutarwijono ;
Anggota Komisi Bidang Hukum dan Pemerintahan
DPRD Kota Surabaya
|
JAWA
POS, 28 Juli 2015
CALON tunggal bergulir menjadi isu penting dan
kontroversial dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak 2015. Itu
menunjuk calon kepala daerahcalon wakil kepala daerah yang terlalu kuat
sehingga tidak muncul penanding lain. Mereka biasanya calon incumbent yang
sukses memimpin daerahnya dan didukung rakyat secara luas.
Atas gejala itu, Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015
”mengancam” menunda pilkada di suatu daerah. Pasal 89A ayat (3) mengatur,
jika hanya satu pasang calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah yang
memenuhi syarat, pemilihan tidak akan digelar 9 Desember 2015. Pemilihan akan
dilakukan dalam pilkada serentak berikutnya.
Calon tunggal menjadi kontroversial karena fakta
politiknya memiliki legitimasi kuat, namun ketentuan pilkada mengharuskan
diikuti minimal dua pasang calon. Lantas, dari ketentuan itu, muncul skenario
”calon boneka” yang mendampingi calon kuat. Atau memberikan ruang penjegalan
oleh partai-partai politik dengan tidak mengusung calon lain sehingga pilkada
ditunda.
Pilkada Rezim Kompetisi
Aturan pilkada memang tidak memberikan ruang bagi calon
tunggal kendati UU 8/2015 merumuskan pilkada secara fleksibel. Yaitu
pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dan wakilnya secara
langsung dan demokratis. Prinsip kedaulatan rakyat, juga frasa ”langsung dan
demokratis”, sebenarnya memberikan ruang bagi pilkada dengan satu pasang
calon.
Namun, ruang itu tertutup ketika di level prosedur
ditentukan pilkada minimal harus diikuti dua pasang calon. Itu ditetapkan UU
8/2015 serta diterjemahkan secara teknis dan operasional pada peraturan KPU.
Ketentuan dua pasang calon menunjukkan praktik demokrasi
di negeri ini yang menganut rezim kompetisi dalam mewujudkan kedaulatan
rakyat. Ini serupa praktik di Barat. Maka, secara negatif dapat dinyatakan,
kedaulatan rakyat tidak bisa diwujudkan tanpa persaingan dan demokrasi tidak
bisa diselenggarakan.
Model kompetisi tidak menghitung, pertama, jika
partai-partai politik sepakat mengajukan calon tunggal dalam pilkada. Dan
pilihan itu sah. Kedua, ketakutan kalah sehingga tidak mengajukan calon.
Karena kekalahan identik menanggung rugi tenaga, waktu, dan pasti materi,
serta reputasi. Siapakah yang mau jadi tumbal?
Ketiga, pemboikotan pilkada oleh partai-partai politik
dengan tidak mengusung pasangan calon dan membiarkan calon lain tampil
tunggal. Maka, pilkada tidak bisa digelar dan kedaulatan rakyat gagal
diwujudkan.
Keempat, potensi transaksi di level elite partai untuk
mengajukan calon boneka semata memenuhi prosedur dua pasang calon. Transaksi
itu merupakan ”anak haram” pesta demokrasi yang niat awalnya untuk mewujudkan
daulat rakyat.
Tak pelak, ketentuan dua pasang calon memang memiliki sisi
gelap yang bahkan dapat menyandera kedaulatan rakyat.
Model Konfirmasi
Penundaan pilkada, alih-alih ingin memberikan kepastian,
justru menyulut masalah baru. Aturan itu terganjal ketentuan UU 8/2015, yang
lebih tinggi daripada peraturan KPU, yang mengharuskan pilkada tepat waktu.
Juga aturan telak pasal 201 ayat (1) bahwa Pilkada 2015 dilakukan untuk
jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah yang habis 2015 dan rampung antara
Januari–Juni 2016.
Ayat berikutnya, Pilkada 2017 dilaksanakan untuk kepala
daerahwakil kepala daerah yang habis 2017 dan selesai Juli–Desember 2016.
Tidak ada slot aturan bagi ”pemindahbukuan” waktu pilkada, dari 2015 menjadi
2017. Dengan aturan penundaan, bukankah KPU justru melegalkan ketidaktepatan
waktu?
Masalah calon tunggal harus dituntaskan. Apabila hanya
dibuat aturan tambal sulam, di depan bakal kembali menjadi batu sandungan.
Jika ditunda, adakah jaminan Pilkada 2017 diikuti minimal dua pasangan calon?
Bagaimana bila berulang calon tunggal? Akankah pilkada diundur kembali jadi
2018?
Karena itu, secara legal, mendesak diupayakan ruang hukum
yang mengakui pemberian suara rakyat dalam pilkada yang diikuti calon
tunggal. Upaya itu bisa melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, perubahan
undang-undang, atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika
terdapat daerah yang gagal pilkada karena tidak terpenuhi standar dua pasang
calon sehingga mendesak untuk ditangani.
Jika ketentuan dua pasang calon berbasis kompetisi,
regulasi baru untuk calon tunggal bisa mengadopsi model yang berbasis
konfirmasi. Yaitu meminta pendapat rakyat: apakah setuju atau tidak atas
calon tunggal yang ditetapkan KPU. Rakyat bisa memberikan suara pada bilik di
TPS-TPS dengan mencoblos kolom ”setuju” atau ”tidak setuju”.
Bila mayoritas setuju, calon tunggal kepala daerah dan
wakil secara sah dapat ditetapkan sebagai pemimpin baru, kemudian dilantik.
Dalam pemilihan kepala desa, lazim diterapkan mekanisme yang mirip model
tersebut. Yakni, disediakan pilihan ”bumbung kosong” jika pemilihan diikuti
calon tunggal. Pemimpin yang terpilih pun memegang legitimasi kuat.
Mengadopsi kearifan lokal, pengakuan terhadap calon tunggal
terbukti dapat mewujudkan kedaulatan rakyat secara langsung dan demokratis.
Model itu menjadi varian lain dari praktik demokrasi selain kompetisi dan
musyawarah yang kita kenal.
Bila calon tunggal diberi ruang regulasi, sirkulasi
kepemimpinan tidak terhambat. KPU tak perlu menunda pilkada. Juga tidak perlu
takut pemboikotan partai-partai politik yang memacetkan pilkada. Kedaulatan
rakyat pun dapat diwujudkan tepat waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar