Arti Kunjungan Cameron
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 29 Juli 2015
Dua hari lalu saya menghadiri
sebuah pertemuan bisnis antara para pengusaha Inggris dengan perwakilan
pengusaha Indonesia di Sekretariat ASEAN. Pertemuan tersebut seiring dengan
kunjungan Perdana Menteri David Cameron ke Indonesia. Sambil para pebisnis
berdiskusi, Cameron menemui para petinggi diplomasi dari negara-negara ASEAN.
Tujuannya tidak lain adalah membicarakan upaya peningkatan hubungan ekonomi
antara Inggris dan ASEAN.
Ada beberapa catatan yang mungkin
menarik untuk kita lihat perkembangannya dalam beberapa tahun ke depan.
Pertama, para pelaku usaha dari Inggris ingin mengadakan kerja sama
perdagangan melalui satu pintu, yaitu ASEAN. Mereka mengharapkan bahwa dengan
bertemu para perwakilan ASEAN, tawaran kerja sama dapat otomatis bergulir
dari negara-negara anggota ASEAN.
Tentu hal ini mengejutkan banyak
orang yang hadir karena kita semua tahu, ASEAN bukan seperti Masyarakat Uni
Eropa yang homogen dan bisa bergerak satu langkah dalam kerja sama
perdagangan dengan negara lain. Otonomi negara anggota ASEAN lebih kuat
daripada ASEAN itu sendiri sehingga sulit untuk melakukan kebijakan satu
pintu. Saya tidak paham apakah pandangan tersebut dilandasi kurangnya
informasi atau memang mereka meyakini bahwa “satu pintu” ekonomi ASEAN dapat
terwujud.
Di sisi lain pernyataan ini
mungkin juga disebabkan Inggris merasa bahwa perdagangan antara Eropa dan
ASEAN kalah cepat dibandingkan antara ASEAN dengan China atau ASEAN dengan
Jepang. China, misalnya, terlihat dengan jelas telah menanam investasi
dimana-mana dan produk-produk mereka pun sudah masuk ke pasar ASEAN, termasuk
ke jaringan pasarkaki lima hingga pasar gelap.
Inggris mengetahui bahwa bila
perjanjian perdagangan antara Eropa dan ASEAN dapat berjalan mulus, ada
potensi keuntungan ekonomi sebesar 3 miliar poundsterling per tahun bagi
Inggris (Guardian, 27/7/2015).
Sayangnya ini masih mimpi. Kedua, Perdana Menteri Inggris berkunjung dengan
membawa serta lebih dari 30 pimpinan perusahaan asal Inggris yang sebagian
besar bergerak di industri teknologi, infrastruktur, keuangan, dan energi
yang terbarukan. Ini adalah sinyal strategi Inggris untuk tidak
menggantungkan diri pada pasar Eropa.
Hal ini bisa saja terkait dengan
rencana Cameron yang telah berjanji dalam kampanyenya bahwa pemerintahannya
akan bertanya kepada masyarakat Inggris melalui referendum apakah mereka
tetap akan berada di dalam Masyarakat Uni Eropa (UE) atau keluar sama sekali.
Walaupun Cameron memilih untuk bertahan di dalam masyarakat UE, ia mesti
menghadapi kenyataan dua pertiga dari anggota partai yang memenangkan dirinya
sebagai perdana menteri lebih memilih untuk keluar dari UE.
Di sisi lain, kunjungannya ke
Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bisa disimpulkan demi
meningkatkan daya tawar atau memberi tekanan kepada UE agar melakukan
reformasi.
Beberapa “paket reformasi” yang
selalu ia komunikasikan dengan para pemimpin Eropa lain di antaranya:
mengizinkan Inggris untuk tidak mengikuti ambisi UE “mempererat union“
masyarakat Eropa, membatasi akses tunjangan pekerja bagi migran-migran UE,
memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen nasional untuk
menghadang/menolak legislasi UE, membebaskan bisnis dari rumitnya birokrasi
dan “campur tangan berlebihan” dari Brussels, serta menyediakan akses bagi
pasarpasar baru melalui “cara cepat” mengembangkan kesepakatan perdagangan
bebas dengan Amerika dan Asia (BBC, 13/5/2015).
Cameron sudah mengancam sejak
jauh-jauh hari bahwa kalau reformasi itu tidak disetujui, ia tidak mau
berkampanye agar Inggris tetap di dalam Masyarakat Eropa. Langkah Perdana
Menteri Inggris untuk menyiapkan pasar seandainya Inggris nanti benarbenar
ingin keluar dari Masyarakat UE patut kita ambil hikmahnya. Ia sebagai
perdana menteri telah mempersiapkan pemerintahannya untuk tidak hanya
mandiri, tetapi juga mampu bersaing dengan negaranegara anggota UE lain dalam
merebut pasar di Asia.
Menarik bahwa Cameron merasa perlu
melakukan langkah agresif karena negara-negara lain seperti China atau India
sudah mulai masuk bersaing merebut “keunggulan komparatif” bangsa-bangsa
Eropa yang selama ini menguasai pasar produk-produk dengan nilai tambah
tinggi seperti teknologi informasi, pesawat terbang, mesin-mesin, teknologi
energi terbarukan, komunikasi, dan sebagainya.
Ecaterina Stanculescu (2014)
memaparkan bahwa dalam kategori tersebut, ekspor Eropa ke pasar internasional
lebih rendah dibandingkan dengan ekspor China di sektor yang sama. Ekspor
Eropa ke pasar internasional pada 2007 hanya USD268 miliar, sedangkan China
USD338,4 miliar. Di tahun 2012, Eropa hanya USD350,7 miliar, China mampu
mencapai USD592,2 miliar.
“Kekalahan” Eropa itu tidak hanya
di pasar internasional, tetapi juga dalam hubungan perdagangan antara Eropa
dan China itu sendiri. Tahun 2007, produk teknologi tinggi yang diekspor dari
Eropa ke China senilai USD18,3 miliar, sedangkan mereka mengimpor USD80,8
miliar dari China. Defisit ini juga terjadi di tahun 2012 di mana Eropa dapat
meningkatkan nilai ekspor menjadi USD30,3 miliar, tetapi juga mengimpor lebih
banyak, yakni senilai USD111,6 miliar.
Di sisi lain, langkah China untuk
masuk dalam kompetisi pasar teknologi tinggi mungkin didorong rasa
nasionalisme yang tinggi pula untuk maju sebagai negara besar. Tapi hal yang
paling penting adalah prediksi bahwa mata uang mereka, Renminbi, mungkin akan
menguat dalam beberapa tahun ke depan. Apabila Renminbi menguat, industri
ekspor China akan kalah bersaing. Oleh sebab itu, penting bagi China untuk
menghasilkan produk teknologi tinggi agar mereka mendapatkan pendapatan yang
lebih tinggi dengan biaya produksi yang lebih ekonomis.
Apabila China tidak segera
mengembangkan industri-industri padat teknologi yang mampu memproduksi
produk-produk yang dibutuhkan pasar, mereka akan kehilangan momentum
tersebut. Fakta-fakta tersebutlah yang membuat Inggris tampaknya jauh lebih
“rasional” menghadapi tantangan pasar ke depan dibandingkan dengan negara
anggota Eropa lain. Bagi Indonesia, langkah Inggris itu bisa bermanfaat bagi
kita untuk meningkatkan daya tawar kita kepada China juga.
Di sisi lain, kita, khususnya politisi,
aktivis, dan birokrat/birokrasi, perlu belajar dari China dan Inggris bahwa
kebijakan politik dan ekonomi harus benar-benar diperhitungkan dengan baik.
Konsolidasi politik yang cukup baik dan membuat pasar stabil harus menjadi
modal pemerintah ke depan untuk memikirkan langkah-langkah strategis.
Inggris dan China adalah dua negara
dengan sistem politik yang bertolak belakang, tetapi mereka bisa melakukan
manuver politik ekonomi yang akan menguntungkan generasi mereka di masa
depan. Bagaimana dengan Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar