Integrasi Agama dan Negara
Masdar Hilmy ;
Akademisi; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
|
KOMPAS,
27 Juli 2015
Sekalipun Indonesia tidak menganut paham
integralistik dalam hal relasi agama dan negara, lanskap ketatanegaraan kita
menyediakan ruang-ruang eksperimentasi yang begitu luas bagi integrasi
keduanya.
Dalam konteks ini, salah satu pintu masuk bagi
integrasi agama dan negara adalah melalui proses pembuatan hukum (law-making
process) yang memungkinkan diksi-diksi hukum berbasis doktrin agama dapat
"menyelinap" masuk ke dalam struktur perundangan atau
ketatanegaraan kita.
Kontroversi batasan usia perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 7 Ayat (1) dan (2) dan
peraturan daerah (perda) tentang jam malam bagi perempuan di Aceh merupakan
sekelumit contoh eksperimentasi dimaksud. Integrasi agama-negara bisa
bermakna positif manakala diksi-diksi agama yang dimasukkan mengandung
nilai-nilai universal yang sejalan dengan keadaban publik. Sebaliknya, integrasi
keduanya bisa kontraproduktif jika aspek agama yang dimasukkan hanya bersifat
"copas" (copy-paste) dan tidak kontekstual.
Pembusukan ruang
publik
Penggunaan argumentasi agama dalam proses
pembuatan hukum yang serampangan, tidak proporsional, dan tidak kontekstual
dapat memicu terjadinya apa yang oleh Erich Fromm (The Heart of Man,
1964:23) disebut sebagai "sindrom pembusukan", yakni kondisi yang
mengarah pada penurunan kualitas kehidupan dan keadaban publik. Artinya,
tidak semua doktrin agama dapat dicangkokkan secara mentah-mentah ke dalam
struktur ketatanegaraan kita jika di dalamnya tidak ditemukan rasionalitas
publik yang mewadahi.
Sebuah diksi hukum dapat dipastikan terikat
dengan konteks lokus dan tempus tertentu yang mengitarinya. Batas usia perkawinan
16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria adalah argumentasi agama yang
memiliki nalar pembenarannya pada lokus dan tempus tertentu. Pada masa lalu,
ukuran tersebut sangat rasional. Kakek-nenek kita bahkan dinikahkan pada usia
yang jauh lebih belia dari batasan usia di atas. Meski demikian, batasan usia
tersebut dinilai tidak layak lagi dipertahankan karena perubahan konteks
zaman. Karena itu, batas-batas usia tersebut bukanlah ukuran absolut.
Argumentasi yang sama juga berlaku bagi
ketentuan jam malam bagi kaum hawa. Ketentuan semacam ini tidak saja
merefleksikan diskriminasi jender di ruang publik, tetapi juga mencerminkan
involusi hukum. Memang, pemberlakuan jam malam bagi wanita memiliki nilai
relevansi pada konteks ruang dan waktu tertentu ketika ketentuan itu
dihasilkan. Pada saat yang lain, ketika infra dan suprastruktur kenegaraan
dapat menjamin keselamatan (dan seharusnya memang demikian) bagi setiap
warganya, maka ketentuan itu menjadi tidak produktif lagi.
Memang, pengintegrasian agama ke dalam
struktur negara bukan merupakan hal yang tabu dilakukan sepanjang ia memiliki
rasionalitas publik yang adekuat. Di sejumlah negara Barat pun nilai-nilai
Injil juga banyak mewarnai peraturan perundangan yang berlaku (David
Hollenbach, 2002). Dalam hal ini, nilai-nilai agama yang dapat diadopsi ke
dalam struktur kenegaraan adalah nilai-nilai etika yang dapat mendorong pada
"sindrom pertumbuhan" (kebalikan dari "sindrom
pembusukan"), seperti penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan,
kejujuran, kesederajatan, kemanusiaan, dan semacamnya.
Dalam terminologi pemikiran Islam, peraturan
perundangan merupakan produk hukum yang harus mengandung nilai-nilai
kemaslahatan publik (al-maslahah al-ammah). Al-Syatibi (w. 790 H/1355
M), seorang juris Muslim kelahiran Spanyol, secara cerdas mengartikulasikan
lima hal mendasar (al-dlaruriyat al-khams) sebagai pilar bagi sebuah
peraturan perundangan; 1) menjaga akal; 2) menjaga jiwa; 3) menjaga
keturunan; 4) menjaga harta; dan 5) menjaga agama. Pendek kata, penyerapan
doktrin agama ke ruang publik bukanlah hal jelek sepanjang dijustifikasi oleh
rasionalitas publik yang mewadahi.
Integrasi lunak
Dalam konteks relasi agama-negara, memasukkan
doktrin agama ke dalam struktur ketatanegaraan yang dilakukan secara harfiah,
tidak proporsional dan tidak kontekstual dapat diklasifikasikan sebagai
"integrasi keras" (hard integration). Dalam tradisi politik
Islam, integrasi keras ini terefleksi dalam doktrin Islam sebagai agama (din)
dan kekuasaan (dawlah) sekaligus. Abu-l A'la al-Mawdudi (1903- 1979),
seorang pemikir Muslim Pakistan, merupakan salah seorang penganjur doktrin
"integrasi keras" ini.
Dalam kondisi ekstrem, pola "integrasi
keras" dapat mengarah pada penciptaan negara teokrasi, yakni sebuah
negara yang didasarkan pada satu agama (tertentu). Kondisi semacam ini jelas
tidak relevan dengan kebutuhan bangsa kita yang majemuk, selain
kontraproduktif dengan bangunan konstitusi negara kita. Justru di dalam model
semacam ini terdapat kecenderungan peragian sosial atas doktrin agama yang
mengarah pada "sindrom pembusukan". Dalam rezim teokrasi, demokrasi
diharamkan karena dianggap pemberontakan terhadap kedaulatan Tuhan.
Kebalikannya, "integrasi lunak" (soft
integration) adalah memasukkan doktrin agama ke dalam struktur negara
yang dilakukan secara substantif, proporsional, dan kontekstual. Dalam
konstruk negara semacam ini, doktrin agama bisa dimasukkan ke dalam struktur
ketatanegaraan sepanjang ia menopang terciptanya "sindrom
pertumbuhan", bukan "sindrom pembusukan". Doktrin-doktrin agama
yang dimasukkan harus memiliki rasionalitas publik yang dapat diukur dan
diobyektivikasi oleh nilai-nilai keba(j)ikan publik yang bersifat
non-partisan.
Jika boleh memilih, maka "integrasi
lunak" adalah opsi yang paling realistis bagi Indonesia yang menganut
paham negara "bukan-bukan" (bukan sekuler dan bukan agama).
Konstruk negara sekuler terbukti banyak ditolak karena menegasikan peran
agama dalam ruang publik, sekaligus mengabaikan akar-akar historis
kemenyatuan keduanya dalam lanskap ketatanegaraan kita. Di sisi lain, negara
agama (teokrasi) juga ditolak karena cenderung mengabaikan heterogenitas
bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama, adat, dan tradisi.
Sir Muhammad Iqbal, dalam karyanya yang sudah
menjadi klasik, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (2004:15),
menegaskan pentingnya mengambil api Islam, bukan abu Islam. Api adalah
analogi bagi semangat liberatif-transformatif yang tetap menyala dalam segala
kondisi yang dapat mendorong terciptanya "sindrom pertumbuhan" di
kalangan pemeluknya. Sementara itu, abu Islam adalah produk-produk pemikiran
masa lalu yang tidak kontekstual dengan semangat zaman. Jadi, yang dimasukkan
ke dalam struktur negara adalah semangat liberatif-transformatif agama.
"Sindrom pertumbuhan" sebagaimana dikehendaki
oleh konstruk negara "integrasi lunak" pada akhirnya mengarah pada
penciptaan segala bentuk state of well-being (kesejahteraan,
lahir-material maupun batin-spiritual). Integrasi agama-negara harus
memperhatikan lima nilai dasar di atas. Di tingkat praksis, integrasi
agama-negara harus mendorong bagi meningkatnya segala bentuk state of
well-being dimaksud seperti meningkatnya usia harapan hidup, indeks
pembangunan manusia, indeks demokrasi, indeks kebebasan, sekaligus menurunnya
penderita gizi buruk, kematian ibu melahirkan, indeks korupsi, dan
sejenisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar