Memaafkan
Kristi Poerwandari ;
Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 Juli 2015
Secara awam orang berpikir, bila
ia dapat membalas tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain, ia akan
merasa lebih baik. Penelitian psikologi ternyata menunjukkan, pikiran dan
perilaku membalas dendam malahan dapat membuat kita merasa lebih buruk.
"..the
weak can never forgive. Forgiveness is an attribute of the strong." (Mahatma Gandhi)
Carlsmith (2008) membuat
eksperimen "permainan investasi". Eksperimenter berpura-pura
menjadi salah satu partisipan, dan melakukan kecurangan dalam permainan itu,
yang membuat partisipan lain sangat menurun perolehan keuntungannya. Sebagian
partisipan kemudian diberi kesempatan melakukan langkah-langkah untuk
menghukum orang yang bermain curang.
Membalas
membuat lebih buruk?
Semua yang diberi kesempatan
mengambil kesempatan itu untuk membalas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
yang melakukan pembalasan merasa lebih buruk daripada yang tidak melakukan
pembalasan, tetapi mereka yakin bahwa mereka akan merasa jauh lebih buruk
lagi bila tidak melakukan pembalasan. Sementara itu, partisipan yang tidak
diberi kesempatan untuk membalas menyangka mereka akan merasa lebih baik bila
memperoleh kesempatan itu meski jika dibandingkan dengan yang diberi
kesempatan membalas, mereka sesungguhnya menunjukkan perasaan lebih positif.
Jadi, semua pihak menyangka,
membalas akan membuat mereka merasa lebih baik meski dalam kenyataannya,
membalas itu membuat perasaan menjadi lebih buruk.
Mengapa demikian? Dugaannya adalah
tanpa disadari, ada peningkatan rasa marah. Yang diberi kesempatan untuk
membalas akan mengembangkan ruminasi, yakni pikiran yang terus berulang,
obsesi mengenai kejadian telah dicurangi, dan obsesi untuk membalas tindakan
curang itu. Sementara itu, yang tidak melakukan pembalasan tidak terobsesi
pada kejadian, tidak terlalu ambil pusing tentang kejadian, lebih mudah
melupakannya, dan tidak dikuasai oleh kemarahan.
Penelitian dalam konteks
perkawinan (Fincham dan Beach, 2005) menemukan adanya perbedaan psikis para
pihak. Yang bersalah cenderung mencari detail ingatan untuk meyakinkannya
bahwa perilakunya dapat dimaafkan. Sementara yang diperlakukan buruk akan
terus teringat detail dari perilaku buruk tersebut sehingga mengalami
kesulitan untuk memaafkan. Jadi, yang bersalah mungkin akan melihat
pasangannya berlebih-lebihan dalam bereaksi ("Memang saya salah, tetapi
cuma seperti itu kok reaksinya berlebihan banget?"). Sikap
berlebih-lebihan itu sendiri dilihatnya sebagai tidak tepat (= merupakan
kesalahan). Sementara itu, yang diperlakukan buruk merasa pasangannya
menganggap sepele persoalan sehingga makin merasa marah. Dalam situasi
demikian, kedua belah pihak melihat pihak lain sangat negatif dan interaksi
yang destruktif dapat makin meningkat.
Fasilitasi
memaafkan
Kita jadi mengerti bahwa kesediaan
memaafkan memang memiliki banyak manfaat positif. Memaafkan dapat
meningkatkan perasaan lebih sehat karena individu menghayati perubahan
positif dalam emosi. Yang diperlakukan buruk dapat mengembalikan perasaan
berdayanya, sekaligus mengembangkan harapan lebih positif mengenai hidup.
Enright dkk (1989) mengembangkan
model empat fase untuk memfasilitasi proses memaafkan. Dalam fase
"membuka", individu mengidentifikasi luka psikologis yang dialami
serta perasaan dan pikiran yang terjadi dalam diri (rasa marah, malu,
kemungkinan pengambilan penyimpulan secara salah). Dalam fase "mengambil
keputusan", individu merenungkan pemahamannya mengenai "memaafkan"
untuk kemudian membuat komitmen sadar untuk memaafkan. Dalam fase
"bekerja", individu mencoba memahami perspektif dari pihak yang
melakukan kesalahan untuk dapat mengembangkan rasa peduli dan empati.
Fase terakhir adalah fase
"memperdalam", individu menyadari bahwa semua manusia itu rentan
melakukan kesalahan, termasuk dirinya sendiri, yang juga pernah melakukan
kesalahan. Ia kemudian dapat mengembangkan pemaknaan baru mengenai apa yang
terjadi. Dengan menemukan makna positif dari peristiwa yang sebelumnya
dimaknai sangat negatif, ia menemukan kedamaian. Ini membuka pemahaman bahwa
diri bukan sepenuhnya korban, dan kemampuan mengelola emosi secara lebih
sehat.
Konteks
makro
Model ini dicobakan sebagai
kurikulum di beberapa sekolah di Irlandia dan Amerika, di lingkungan yang
banyak dilingkupi kemiskinan dan kekerasan, dan menunjukkan bahwa kadar
kemarahan siswa yang menerimanya menurun.
Bagaimanapun, memaafkan tidak
dapat dipaksakan. Cairns dkk (2005) menemukan bahwa memaksa orang atau
kelompok memaafkan pihak lain yang berlaku buruk akan menjadi
kontraproduktif, apalagi bila yang melakukan kesalahan merasa tidak bersalah,
tidak meminta maaf, dan terus melakukan tindakan-tindakan buruk.
Lesson-learned kita adalah
memaafkan tidak dapat dipaksakan, tetapi dapat difasilitasi untuk terjadi dan
akan membantu diri merasa lebih damai. Di tingkat makro-kebijakan, tetap
sangat perlu dipastikan berlakunya berbagai konsep dan mekanisme untuk
menjamin keadilan sosial dan hukum, selain langkah pemaafan dan rekonsiliasi antarkelompok.
Selamat melanjutkan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar