Mari Becermin dari Yunani (2)
Dahlan
Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 09 Juli 2015
Krisis Yunani berkembang menjadi
sentimen antarbangsa. Jerman menjadi bulan-bulanan di Yunani. Sebaliknya,
Yunani juga jadi bulan-bulanan di Jerman.
’’Jangan ada miliar-miliar lagi
untuk Yunani,’’ bunyi poster yang dibawa pendemo di Jerman.
’’Merkel itu Hitler baru,’’ bunyi
poster di Yunani.
Rakyat Jerman yang dikenal sebagai
pekerja keras tidak rela kalau negaranya terus mengutangi Yunani. Dari USD
360 miliar utang Yunani, yang terbesar berasal dari Jerman. Mereka menilai
rakyat Yunani, khususnya pemerintahannya, kurang sungguh-sungguh bekerja.
Enak-enakan menikmati utang. Lalu tidak mau bayar utang. Bahkan minta utang
lagi. Elite politiknya lebih suka politik-politikan, kurang mau bekerja dan
bekerja.
Sebaliknya, Yunani menilai Jerman
terlalu mendikte Yunani. Mentang-mentang Jerman kaya. Mentang-mentang memberi
utang. Padahal, utang itulah yang mengakibatkan Yunani sengsara.
Diincrit-incrit. Tidak secara tuntas menyelesaikan persoalan.
Syaratnya pun memberatkan.
Mencekik. Menjajah. Kemarahan rakyat Yunani itu tecermin dalam hasil
referendum yang 62 persen memilih ’’YA’’ dalam hatinya untuk mendapatkan
utang baru, tapi memilih ’’TIDAK’’ waktu mencoblos, untuk menolak
syarat-syarat utang itu.
Seandainya Jerman membalas
referendum Yunani itu dengan referendum di Jerman, hasilnya akan sebaliknya.
Kalau rakyat Jerman disodori pilihan ’’YA’’ (memberi utang lagi) atau
’’TIDAK’’ (jangan memberi utang lagi), maka dipastikan 90 persen akan memilih
’’TIDAK’’.
Opini rakyat Jerman yang seperti
itulah yang membuat pemimpin Jerman Angela Merkel tidak mudah menyetujui
permintaan baru Yunani: (1) kucurkan segera dana darurat untuk mempertahankan
hidup di Yunani selama empat bulan, (2) siap dana sebagai utang baru untuk
pemulihan ekonomi selama dua tahun ke depan, (3) potonglah utang lama
sebanyak 30 persen, (4) semua utang itu baru mulai dicicil 20 tahun lagi.
Selasa lalu, seluruh menteri
keuangan Uni Eropa sudah kumpul secara mendadak di Brussel. Tapi, karena
belum ada usulan tertulis dari Yunani, pertemuan itu hanya bicara
ngalor-ngidul. Ada yang bicara: Sudahlah, amputasi saja, biarkan Yunani
keluar dari Uni Eropa.
Ada yang bicara melankolis:
Baiknya Yunani ditolong sekali lagi. Ingatlah, Jerman juga pernah menikmati
pemotongan utang besar-besaran pada masa lalu. Mereka mengingatkan tanggal 27
Februari 1953, setelah Hitler takluk dan Jerman dalam krisis, Jerman mendapat
potongan utang 50 persen. Berkat potongan utang itu, Jerman mampu membangun
ekonominya. Lalu menjadi negara maju seperti sekarang.
Dengan hasil referendum itu, kata
mereka, rakyat Yunani ibaratnya sudah menempelkan moncong pistol ke pelipis
mereka. Jangan sampai kita memutuskan hari ini untuk menyuruh mereka menarik
pelatuknya. Dari hasil pertemuan kemarin, nasib pelatuk itu ditentukan dalam
rapat terakhir hari Minggu depan. Yakni, oleh 28 kepala pemerintahan seluruh
Uni Eropa.
Turisme di Yunani, kata mereka,
masih bisa diandalkan. Tiap tahun 22 juta turis berlibur ke Yunani. Di
antaranya khusus untuk melakukan pernikahan di Pulau Santorini yang eksotis.
Tahun ini, kalau tidak ada yang batal, sebanyak 2.500 pasangan ingin menikah
di pulau itu. Termasuk banyak juga yang dari Jerman.
Bahwa sentimen rakyat Yunani kini
lebih fokus pada Jerman, itu juga dilatarbelakangi sentimen masa lalu. Jerman
dianggap pernah menjajah Yunani. Rakyat Yunani merasa pernah mengalahkan
Jerman pada masa penjajahan. Termasuk kepahlawanan mereka saat membebaskan diri
dari penjajahan Turki pada zaman Usmani. Rasa kepahlawanan mereka terusik
sekarang. Yunani adalah pemimpin dunia di segala bidang pada masa lalu.
Selalu saja politik, sentimen
nasionalisme, harga diri, rasa kebesaran masa lalu, dan sebangsa itu punya peran
penting yang memengaruhi tidak berjalannya teori-teori ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar