Anatomi
Lebaran Berkeadaban Abdul Wahid ; Pengajar Program
Pascasarjana Unisma, PP AP-HTN/HAN |
KOMPAS, 13 Mei 2021
”Suatu
kriteria yang baik untuk mengukur keberhasilan dalam kehidupan Anda ialah
jumlah orang yang telah Anda buat bahagia.” (Robert J Lumsden) Pernyataan Lumsden itu
mengingatkan kita bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup ini salah satunya
diukur dari apa yang diperbuatnya dalam membahagiakan orang lain. Sepanjang
belum banyak orang lain yang dibuat bahagia, maka kehidupannya belum bisa
dikatakan berhasil. Dalam Islam, banyak
tersedia jalan untuk membuat hidup seseorang berbahagia. Lebaran umumnya
membuat orang berbahagia, yakni sebagai momen berharga untuk menggelar pesta
atau mengadakan banyak kegiatan silaturahmi ke mana dan di mana-mana untuk
sesama elemen keluarga dan sesama manusia. Kepentingan itu di
antaranya ditandai dengan ramainya elemen masyarakat dalam mempersiapkan diri
untuk menyambut dan menikmati Lebaran. Lebaran diperlakukannya sebagai wujud
penahbisan kemenangan diri setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Elemen masyarakat itu
memosisikan diri seolah benar-benar telah berhasil menuai kemenangan dari
suatu peperangan besar sehingga layak dan berhak ditutup dengan mengadakan
beberapa pesta spiritualitas yang istimewa. Idealnya (sebagaimana
digariskan dalam Islam), puasa yang dijalankan setiap Muslim barulah menjadi
tahapan untuk mencapai kebahagiaan awal atau baru meraih sebahagia kemenangan.
Sementara kemenangan fitri baru bisa diraihnya pada saat Lebaran. Konstruksi anatomi Lebaran
itu terbaca, bahwa dalam Lebaran harus diwarnai oleh semangat dan aktivitas
membangun spiritualitas sosial. Dengan demikian, kehidupannya dapat menghadirkan
banyak kemanfaatan atau atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
berkeadaban. Kalau itu yang
dilakukan, tepat diskresi pemerintah
dengan larangan mudik Lebaran atau adanya penyekatan di sejumlah wilayah.
Pasalnya, pemerintah bermaksud memproteksi kepentingan yang lebih besar
bernilai harmonisasi, humanisasi, dan sakralitas sosial sehingga atmosfer
kehidupan, khususnya selama Lebaran, tetaplah berkeadaban. Maknanya setiap
subyek sosial keagamaan bisa membentuk atau mendesain dirinya sebagai sesama
abdi yang menghadirkan damai, dan bukan nestapa dalam kehidupan sesamanya. Nabi Muhammad SAW
bersabda, ”Seutama-utamanya amal saleh ialah memasukkan rasa bahagia di hati
orang yang beriman, melepaskan rasa lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan
utang.” Sabda Nabi tersebut
esensinya adalah sebagai ajakan atau ”instruksi moral spiritual” yang
menuntut supaya manusia beragama ini berlomba dalam memproduksi tekad dan
amal kebajikan di tengah dinamika kehidupan sehari-harinya, baik dalam skala
mikro maupun makro. Watak individualistik atau pementingan kelompok tidak
boleh dimenangkan jika berpotensi terdapat dampak yang menyulitkan sesamanya,
seperti menyebarkan penyakit atau bahaya yang membuat kesehatan dan
keselamatan orang lain dirugikannya. Kesalehan
masyarakat Bangunan masyarakat
berkeadaban hanya layak disandang atau dijabat oleh sekumpulan individu yang
gaya hidupnya tidak serba eksklusif dan materialistik. Yaitu, oleh sosok yang
hidupnya diabdikan untuk jadi penabur kebajikan, atau mengorbankan diri dan
apa yang dicintainya demi kepentingan persaudaraan kemanusiaan, persaudaraan
kebangsaan, dan persaudaraan kemasyarakatan. Regulasi yang digariskan
agama tersebut bermaknakan kesalehan kemasyarakatan atau pengabdian berbasis
humanitas yang ditujukan untuk menyenangkan (membahagiakan) sesama atau
anggota masyarakat lain yang sedang dilanda kesulitan. Dengan demikian,
mereka (saudara-saudara) yang sedang terbelit akumulai penderitaan ini
terbebas dari kesulitannya dan memperoleh atmosfer kedamaian, keselamatan,
dan kesejahteraan, atau kebahagiaan yang sudah sekian lama dinantikan. Pekan berlebaran dengan
substasi menyenangkan dan membahagiakan dalam kebinekaaan sesama dengan cara
membebaskan kesulitan yang dihadapinya dan menghadirkan kesejahteraan dalam
kehidupannya itu merupakan aktivitas pengabdian adiluhung. Pasalnya, setiap
orang yang bergerak di jalur pengorbanan berbasis kemasyarakatan ini
mengandung konsekuensi untuk mendistribusikan atau menyerahkan sebagian yang
dimilikinya, termasuk yang dicintainya demi pengabdian untuk orang lain
secara empirik. Ranah empirisme sosial ini
baru akan terbangun dengan kuat jika setiap subyek beragama menunjukkan
aktivitas saling berlomba dalam karitas sosial. Apalagi, di tengah pandemi
Covid-19 yang memang nyata-nyata telah menghadirkan ragam keprihatinan
sosial. Itu makna esoteris
religiositasnya, bahwa setiap ”peserta Lebaran” hadir dituntut untuk
menunjukkan peran sebagai pejuang kemasyarakatan. Pasalnya, masyarakat di negeri ini sering
kali dihadapkan dengan komplikasi penyakit yang menyulitkan dan mereduksi
keberdayaannya. Mereka memang hidup di negeri yang kaya sumberdaya alam,
tetapi masih demikian plural penyakit yang membuat hidupnya kesulitan meraih
kesejahteraan. Ketika mereka itu masih
dihadapkan pada komplikasi problem ekonomi, tentulah kita yang sudah merasa
mendapatkan gelar ”muttaqun” setelah puasa tidak boleh membiarkannya hidup
dalam ketidakberdayaannya. Komunitas itu tidak boleh
kita biarkan menjadi elemen bermasyarakat yang berkawan dengan kesulitan.
Mereka harus benar-benar dimartabatkan oleh sesamanya yang sedang berpuasa,
yang notabene sebagai sekumpulan individu yang mendapatkan jabatan ”khalifah”
(pemimpin) atau penentu bangunan hidup berkeadaban. Agar mereka itu bisa menikmati
atmosfer keadaban, mereka yang sedang tidak berdaya ini harus diberi dukungan
kekuatan moral, psikologis, dan humanitas. Tujuannya, supaya mereka tetap
mempunyai optimisme dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya sebagai warga
negara dan elemen beragama yang memang membutuhkan dukungan sesamanya. Kewajiban sosial
berdimensi kemasyarakatan atau kemanusiaan tersebut juga sebagai bukti
kesejatian cinta berjiwakan kebertuhanan ”insan yang berlebaran”. Seperti
digariskan Islam, bahwa ”tidak disebut beriman di antara kalian sehingga
mencintai saudara (sesamanya) seperti kalian mencintai diri sendiri”. Hadis tersebut secara
tidak langsung mengingatkan kita bahwa saat Lebaran ini kecenderungan setiap
orang yang lebih mencintai diri, harta, dan kerabat dibandingkan dengan sesama haruslah
dikalahkan dengan cara menguatkan peran terus-menerus dalam ”proyek”
menyayangi dan melindungi sesama dari segala hal yang membuka ”peluang” orang
lain terdehumanisasikannya. Kalau biasanya kita rentan terjerumus
mengabsolutkan diri sendiri atau memuja-muja hak kepentingan pribadi, serta
menggusur tanggung jawab publik, sekarang saatnya kita ”menghidupkan” atau
menyuburkan habluminannas dalam diri kita. Jika hal ini bisa kita wujudkan,
atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berkeadaban tidaklah
sulit terwujud. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar