Selasa, 18 Mei 2021

 

Dilema “Pekerjaan Kaki” untuk Hadirkan Apa Adanya

Tri Agung Kristanto ;  Wartawan senior Kompas

KOMPAS, 17 Mei 2021

 

 

                                                           

“Datang dan lihatlah. Pesan ini sebagai inspirasi bagi setiap bentuk komunikasi yang ingin makin jelas dan jujur: dalam dunia jurnalistik, di internet, khotbah harian Gereja, dan dalam politik, atau komunikasi sosial. Datang dan lihatlah.” (Paus Fransiskus pada Peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55, 16 Mei 2021)

 

Bulan Mei tahun ini seharusnya menjadi bulan yang menguatkan bagi mereka yang berkarya di bidang komunikasi sosial, dan terutama yang berkarya di bidang media massa: jurnalistik. Bulan ini, peringatan tiga momen internasional terkait dengan jurnalisme dan komunikasi berlangsung di seluruh dunia.

 

Pandemi covid-19 yang masih melanda nyaris seluruh dunia tidak menghalangi kegairahan masyarakat dunia merayakan ketiga hari istimewa itu, meskipun dengan situasi yang lebih terbatas. Tanpa kerumunan massa, dan tentu tetap memperhatikan protokol Kesehatan.

 

Pada 1 Mei lalu, nyaris seluruh pekerja di dunia merayakan hari buruh internasional atau May Day. Sebagian pekerja media, termasuk wartawan adalah buruh, bukan pemilik media. Mereka pun ikut merayakan hari butuh itu, termasuk di Indonesia. Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional (ILO) Guy Ryder pada peringatan May Day 2021 menyerukan kepada pekerja, pengusaha, pemerintah, organisasi internasional, dan semua pihak yang berkomitmen untuk membangun kembali dengan lebih baik, bekerja sama dalam mewujudkan dunia kerja yang adil dan bermartabat bagi semua. “Tidak ada yang aman sampai semua orang aman,” ujar Guy Ryder.

 

Dia menambahkan, pada masa pandemi ini tidak ada yang bisa menjadi tak peduli terhadap situasi orang lain, dalam menghadapi kerapuhan dunia yang saling bergantung. Solidaritas menjadi kunci untuk kelangsungan hidup dan kemakmuran bersama, di dalam perbatasan atau lintas batas.

 

Saat menghadapi krisis hari ini dan melihat ke masa depan, pemulihan seharusnya berpusat kepada manusia, dengan keadilan dan kesetaraan, pemulihan yang berkelanjutan dan inklusif untuk semua. Tentu pekerja media, khususnya wartawan mempunyai peran yang signifikan untuk mewujudkan keterbukaan, kesetaraan, dan keadilan bagi semua warga dunia, khususnya saat menghadapi Covid-19 dan distribusi vaksin. Inklusif untuk semua.

 

Dua hari kemudian, pada 3 Mei, pekerja media merayakan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Perayaan ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1993, setelah Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) mengusulkannya tahun 1991. Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) tahun 2021 ialah “Information as a Public Good”. Informasi merupakan barang publik, sehingga tidak boleh ada siapapun yang menguasainya demi keuntungannya semata atau kelompoknya.

 

Dalam konteks jurnalisme, tema ini juga mengingatkan pada pesan “Sepuluh Elemen Jurnalisme” (Bill Kovack dan Tom Rosentiel), bahwa jurnalisme bertanggungjawab kepada publik. Berpihak pula kepada kepentingan publik, dan bukan pada pemilik modal, penguasa, atau pimpinan partai politik. Sekalipun di dunia ini, banyak media massa yang kali pertama didirikan oleh tokoh partai atau dimiliki oleh partai atau pimpinan parpol.

 

Menurut Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay, informasi sebagai barang publik menegaskan pentingnya informasi yang terverifikasi dan andal, tak terbantahkan. Jurnalis yang bebas dan profesional berperan penting dalam memproduksi dan menyebarkan informasi ini, dengan menangani misinformasi dan konten berbahaya lainnya. Jurnalisme penting diperkuat, sehingga bisa memajukan transparansi dalam masyarakat dan pemberdayaan publik, tanpa meninggalkan siapapun.

 

Dalam tema informasi sebagai barang publik, juga terkandung maksud adanya kesetaraan dan keadilan dalam mengolah dan mendistribusikan informasi. Berubahan berkomunikasi saat ini jelas mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk dalam demokrasi, keterbukaan, perekonomian, hak asasi manusia (HAM), dan berbagai sendi kehidupan publik.

 

Lalu, pada Minggu (16/5/2021), warga dunia merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, yang diprakarsai Gereja Katolik dan ditetapkan oleh Paus Paulus VI pada 1963. Perayaan ini digelar bersamaan dengan perayaan Paskah minggu ketujuh, sehingga setiap tahun tanggalnya berubah. Tahun 2021 bisa beriringan dengan Hari Buruh Internasional dan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, yang juga memiliki perhatian pada persoalan yang sama: publik, keterbukaan, solidaritas, keadilan, HAM, dan komunikasi. Tahun ini, tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia bertemakan “Datang dan Melihat”.

 

Paus Fransiskus mengingatkan, tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun ini diharapkan bisa menginspirasi siapapun yang bergerak di bidang komunikasi, terutama yang bergelut dengan realitas informasi di masyarakat, khususnya pekerja media. Bahkan, dalam pesannya, Paus menegaskan peran penting jurnalis dan media massa (penerbitan) dalam komunikasi sosial.

 

“Kita perlu bergerak, pergi melihat sendiri, tinggal bersama orang-orang, mendengarkan kisah mereka, dan mengumpulkan pelbagai pendapat atas realita yang akan selalu mengejutkan kita dalam beberapa aspek,” jelas Paus.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan komunikasi sebagai (1) pengiriman dan pemerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan kontak, dan (2) perhubungan. Kata komunikasi berasal dari kata comunicare, dalam Bahasa Latin, yang berarti membuat kesamaan pengertian, atau kesamaan persepsi.

 

Dalam komunikasi ini, ada “perjumpaan”antarpribadi, yang seharusnya tak bisa digantikan oleh algoritma, kecerdasan buatan (artificial intelligent), robot, mesin, atau teknologi. “Dalam komunikasi, tak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan “melihat” secara pribadi. Beberapa hal hanya dapat dipelajari dengan mengalami. Kita tidak berkomunikasi hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mata, nada suara, dan Gerakan,” ungkap Paus Fransiskus.

 

Praktisi kehumasan Agung Laksamana dalam buku Adapt or Die: Navigating a New World of PR (Orbit Indonesia, 2020) mengingatkan, pelaku komunikasi sosial tak bisa hanya menggantungkan pada teknologi informasi dan internet. “Tidak ada gunanya membanjiri jutaan konten, mendapatkan jutaan klik, tetapi tidak bisa mengubah citra dan persepsi publik terhadap reputasi perusahaan,” tulis Agung. Kredibilitas media, yang tercermin dari profesionalitas pekerja media, tetap dibutuhkan.

 

Pekerjaan kaki

 

Dalam situasi pandemi, Paus Fransiskus menyoroti peran besar dari pekerja media, khususnya wartawan. “Mari kita renungkan persoalan besar dalam pemberitaan. Ada suara yang sejak lama prihatin atas risiko digantikannya liputan investigatif yang orisinil dalam koran, televisi, radio, dan website menjadi liputan berisi narasi tendensius. Pendekatan ini semakin kurang mampu menangkap kebenaran dari pelbagai hal dan kurang memahami kehidupan kongkrit banyak orang, apalagi mengerti fenomena sosial yang lebih serius atau gerakan positif di akar rumput,” kata Pemimpin Gereja Katolik sedunia itu.

 

Krisis industri media-–akibat pandemi dan disrupsi digital-–saat ini berisiko mengarahkan pemberitaan yang hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di pusat berita, di jejaring sosial, tanpa pernah turun ke lapangan. Tanpa “menghabiskan sol sepatu”, tanpa bertemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala sendiri. Jika kita tidak membuka diri pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meskipun inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah realitas secara langsung. Banyak hal yang tidak akan diketahui, jika wartawan tidak pergi ke lapangan.

 

GP Sidhunata SJ, wartawan senior, dalam buku Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi (PT Gramedia Pustaka Utama, 2019) menuliskan, “Hidup wartawan bukanlah di kantor, tapi di jalanan. Hidup wartawan sesungguhnya ada di jalanan. Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. Wartawan itu harus mencari obyek beritanya dengan menggunakan kakinya, dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia menggunakan otak dan pikirannya. Secemerlang apapun otak seorang wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya, ia tidak akan memperoleh berita yang autentik.”

 

Saat worldometer.info, Minggu (16/5), mencatat virus korona baru sudah menginfeksi 163,21 juta warga, dengan tidak kurang 3,38 juta kematian, di 220 negara/kawasan di dunia, pasti tidak mudah bagi wartawan untuk menghasilkan informasi langsung dari lapangan. Teramat berisiko bagi jurnalis untuk tetap melakukan “pekerjaan kaki”, mendatangi lokasi pandemi misalnya, dan bisa membuat laporan secara langsung.

 

Teknologi dan dukungan warga secara langsung bisa membantu, tetapi tetap yang utama ialah kejujuran dan kebenaran apa adanya. Pasal 4 Kode Perilaku Wartawan Indonesia antara lain menegaskan, wartawan memiliki kewajiban mengutamakan keselamatan nyawa dibandingkan kepentingan pemburuan berita. Namun, wartawan juga berkewajiban mengutamakan kepentingan publik. Memberikan informasi yang benar tentang pandemi, termasuk dari lapangan, sesungguhnya bertujuan memenuhi kepentingan publik, sejalan dengan tema Hari Kemerdekaan Pers Sedunia 2021: Informasi Sebagai Barang Publik.

 

Dilema bagi wartawan dalam menjalankan panggilan tanggung jawab ini dijawab beragam oleh pengelola media, pemerintah, organisasi internasional, dan khalayak. Sejumlah media tak mengizinkan wartawannya pergi ke lapangan langsung selama pandemi. Sebagian media lain membekali wartawannya dengan berbagai perangkat dan protokol perlindungan diri. Pemerintah di sejumlah negara pun beragam sikapnya. Pemerintah Indonesia menempatkan wartawan dan pekerja media sebagai garda terdepan dalam penanggulangan penyebaran Covid-19, sehingga diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin anticovid.

 

Namun, sesuai laporan Press Emblem Campaign (PEC)-–organisasi berbasis di Swiss yang menangani hak dan keselamatan pekerja media-–hingga 11 Mei lalu, tak kurang dari 1.302 pekerja media, sebagian besar wartawan dari 76 negara, meninggal akibat terinfeksi Covid-19. Negara dengan jumlah kematian pekerja media terbanyak ialah Brasil dengan 191 orang, India (173 orang), Peru (140 orang), Meksiko (109 orang), dan Kolombia dengan 57 kematian wartawan. Dari Indonesia, tercatat ada dua wartawan meninggal terinfeksi virus korona baru, meskipun faktanya bisa saja lebih banyak daripada data yang disampaikan PEC.

 

“Jurnalisme yang juga menceritakan realitas, menuntut kemampuan untuk pergi ke tempat di mana tak seorangpun pergi. Suatu gerak dan keinginan untuk pergi melihat sendiri. Sebuah rasa ingin tahu, keterbukaan, dan gairah. Kita harus berterima kasih atas keberanian dan komitmen dari begitu banyak pekerja profesional: wartawan, pekerja film, editor, dan sutradara yang kerap bekerja dengan penuh risiko. Banyak realitas yang terjadi di dunia, terlebih pada masa pandemi semakin menguatkan ajakan pada dunia komunikasi sosial untuk “datang dan melihat. Sungguh ada risiko,” tegas Paus Fransiskus.

 

Keberanian jurnalisme melawan dilema akan risiko kerjanya itu membuat publik mengetahui penderitaan kaum minoritas, penindasan dan ketidakadilan atas orang miskin, perang yang terlupakan, maupun pemiskinan atas kemanusiaan. Namun, pada saat yang sama, terkabarkan pula bahwa masih ada harapan untuk kebersamaan dan kemanusiaan yang lebih baik lagi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar