Kudeta
Menuju Demokrasi Kompromi René L Pattiradjawane ; Ketua Centre for
Chinese Studies-Indonesia dan Associate Fellow di Habibie Center |
KOMPAS, 19 Mei 2021
Apakah Myanmar akan seperti
Suriah dengan korban jiwa masif dan migrasi penduduk sipil ke berbagai
penjuru perbatasan? Ini pertanyaan hipotetis
yang mengerikan, tak terbayangkan, dan bisa jadi kenyataan tak terelakkan.
Pasca pertemuan para pemimpin ASEAN (ALM) beberapa pekan lalu, ada kesan lima
konsensus yang disepakati jadi prematur dan tak bisa bergerak untuk
diejawantahkan. Organisasi internasional
termasuk PBB sudah membahas kondisi terakhir Myanmar yang mengarah seperti
Suriah. Krisis Suriah dimulai ketika unjuk rasa pro-demokrasi Maret 2011
berubah jadi penangkapan dan penyiksaan anak-anak muda yang mencoret tembok
dengan slogan revolusi di sekolah mereka. Ini memicu protes di seluruh negeri
menuntut mundurnya Presiden Bashar al-Assad. Tanda ke arah memburuknya
situasi Myanmar pasca-kudeta Tatmadaw (militer Myanmar) awal Februari, kian
nyata ketika para pengunjuk rasa mulai menggunakan cara demonstrasi dadakan
(flashmob). Dan ini bagian dari strategi pemerintah bayangan bentukan para
anggota parlemen Myanmar hasil pemilu November 2020. Mereka membentuk
Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), mengklaim sebagai pemerintahan sah dan
berdaulat di Myanmar. Dalam kondisi ini,
perubahan cepat menuju perang saudara tak terelakkan, khususnya ketika NUG
mulai membangun jaringan dengan kelompok-kelompok organisasi etnis bersenjata
(EAO) dan membentuk kekuatan angkatan bersenjata sendiri sebagai Tentara
Persatuan Federal. Ada persoalan dengan niatan NUG ini untuk menjadi penggiat
anti junta membangun perlawanan bersenjata. Pertama, ada niatan jelas
rakyat akan dikorbankan ketika perlawanan bersenjata ditegakkan. Para
politisi dan elite Bamar sebagai etnik mayoritas, sengaja mengarahkan
perlawanan pada Tatmadaw yang terlatih dan berpengalaman dalam berbagai medan
pertempuran (terutama pemberontakan bersenjata melawan etnik separatis di
perbatasan), mendorong rakyat langsung jadi korban. Kedua, dari awal
pembentukan NUG, ada niatan tak tulus untuk membentuk federasi Myanmar yang
melibatkan kelompok etnis minoritas yang mencapai 135 etnik. Kabinet bayangan
NUG tak melibatkan etnik Rohingya, sehingga sulit bagi ASEAN melihat
keseriusan elite politik Bamar sebagai mayoritas dalam mempromosikan dan
mendorong demokrasi sejati bagi kelompok-kelompok etnis yang telah lama
terpinggirkan mencari otonomi dan hak mereka di federasi Myanmar. Pertikaian
proksi Dalam situasi dan kondisi
seperti ini, ASEAN menjadi bimbang dan sulit menentukan posisi cara membantu
Myanmar yang di ambang perang saudara, bukan hanya antara elite politik Bamar
dan Tatmadaw tapi juga berhadapan dengan perlawanan EAO di wilayah-wilayah
perbatasan Thailand, China, dan India. Bisa dipastikan, pegerakan anti-kudeta
melawan junta Tatmadaw akan berubah menjadi pertikaian berkepanjangan
melibatkan secara langsung maupun proksi kekuatan-kekuatan negara besar luar
kawasan. Pernyataan Jenderal Senior
Min Aung Hlaing seusai ALM juga tak mendukung upaya ASEAN membantu
penyelesaian pertikaian politik domestik Myanmar yang mengancam keamanan
regional Asia Tenggara. Hlaing yang juga menjabat ketua Dewan Administrasi
Negara Myanmar, seusai menghadiri ALM di Jakarta menyatakan, semua
persyaratan dalam lima konsensus yang dirumuskan hanya bisa dijalankan bila
“keadaan negara stabil.” Pernyataan Hlaing jelas
mengulur waktu yang tak masuk akal. Tercapainya penegakan hukum, ketertiban
dan pemulihan perdamaian dan ketenteraman di Myanmar tak butuh ASEAN untuk
mencarikan solusi damai menghindari jatuhnya korban maupun dialog konstruktif
mempertahankan demokrasi di negara itu. Di ASEAN sendiri masih
jadi perdebatan seberapa jauh organisasi ini bisa terlibat menerapkan kelima
konsensus. Sultan Brunei sebagai ketua bergilir tahunan ASEAN, belum
menetapkan siapa yang akan jadi utusan khusus ASEAN ke Myanmar untuk menjadi
interlocutor mempertemukan para elite politik Bamar, Tatmadaw, dan kelompok
etnis yang menentang junta Myanmar. Di harian ini, usulan yang
ideal adalah menetapkan utusan khusus PM Thailand Prayut Chan-o-cha dengan
mandat ASEAN. Secara psikologis, Hlaing merasa nyaman berhubungan dengan
militerisme Thailand, sehingga langkah kudeta diri Tatmadaw adalah mengirim
surat ke PM Prayut. Hlaing juga mudah diterima di Thailand karena dia anak
angkat mantan Panglima Angkatan Bersenjata dan PM Thailand Jendral Prem
Tinsulanonda. Poros
Indonesia Untuk menghindari jalan
buntu atas lima konsensus ASEAN, kekejaman dan bentrokan senjata harus segera
dihentikan. Indonesia sebagai negara poros dalam percaturan politik ASEAN
perlu memikirkan solusi lain melihat perangkat diplomasi yang bisa dipakai.
Beberapa langkah bisa dipertimbangkan Presiden Jokowi. Pertama, mengutus Menhan
Prabowo Subianto bertemu Menhan Brunei Sultan Bolkiah untuk memulai
memikirkan pendekatan diplomasi baru dari sisi keamanan regional. ASEAN bukan
sekadar organisasi politik regional, tapi juga organisasi keamanan yang tak
terikat pakta militer yang sangat berkepentingan dalam situasi damai dan
stabil di Asia Tenggara. Hubungan kedua Menhan ini
secara personal cukup lama, dari sisa-sisa Orde Baru. Kalau terjadi
kesepakatan, bisa dipertimbangkan mengadakan pertemuan 10+10, di mana 10
Menhan dan Menlu ASEAN duduk bersama membahas apa yang akan terjadi kalau
lima konsensus ALM tak segera dijalankan. Persoalan Myanmar harus
dipahami bukan lagi sekadar persoalan politik domestik dan regional, tapi
masalah keamanan kawasan yang tak bisa hanya diselesaikan secara politik
diplomasi. Myanmar bukan Kamboja, karena berbeda waktu, momentum, persoalan,
dan keterlibatan non-ASEAN. Kedua, sebagai negara
demokrasi dengan prinsip politik bebas aktif, Indonesia memiliki legitimasi
berada di depan mencari resolusi damai melalui confidence building measures
secara bertahap. Pada tahapan ini, Indonesia bisa berbagi pengalaman
demokrasi yang tak mengenal mayoritas dan minoritas hasil pemilu. Indonesia
menganut demokrasi kompromi. Belum ada dalam sejarah
demokrasi dunia, pihak yang memenangkan pemilihan mengajak lawan politiknya
duduk dalam pemerintahan yang dijalankannya. Ini keunikan yang dimiliki
masing-masing anggota ASEAN dengan beragam sistem politik yang dianut.
Berbagi pengalaman ini kepada Tatmadaw dan NUG, bisa jadi resolusi damai yang
memang menjadi preseden di Asia Tenggara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar