Imperatif
Kategoris L Wilardjo ; Pengajar Filsafat
Ilmu, PDIH Undip |
KOMPAS, 16 Mei 2021
Diberitakan di media massa
bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membuat konsep atau draf
peta jalan pendidikan Indonesia. Peta jalan pendidikan Indonesia diteriaki
kritik alim-ulama dan agamawan, sebab kata agama atau frasa yang memuat kata
itu tidak terdapat di dalamnya. Saya belum melihat peta
jalan pendidikan tersebut, apalagi mencermatinya. Namun, katanya di dalamnya
ada pendidikan Budi Pekerti. Saya yakin bahwa di dalam pendidikan Budi
Pekerti itu ada—kendati hanya tersirat—pendidikan agama. Namun kalau publik,
terutama tokoh-tokoh agamawan, menghendaki penyebutan agama secara eksplisit
dalam peta jalan pendidikan, apa salahnya? Kalau kata agama dikhawatirkan
kurang inklusif karena hanya mengacu ke agama-agama yang diakui secara resmi
oleh pemerintah, boleh juga pada kata agama itu ditambahkan frasa ”dan
kepercayaan kepada Tuhan YME”. Tak perlu ada WNI yang menaruh keberatan,
sebab ”Ketuhanan YME” adalah sila pertama dalam Pancasila. Budi
Pekerti Kalau—lebih tepatnya:
bila—agama disebutkan secara eksplisit, maka budi pekerti kita maknai sebagai
telaah tentang nilai-nilai kebaikan dan kejahatan, tentu dengan anjuran untuk
memilih kebaikan. Amar makruf nahi mungkar. Pendidikan Budi Pekerti
dapat pula disebut pendidikan Etika, atau Achlaq, atau Moral. Inilah unsur
yang kedua dari trilogi aksiologi (logika, etika, dan estetika). Kedua unsur
lainnya dari aksiologi, yakni logika dan estetika, diliput dan dicakup di
dalam konten pendidikan lainnya—utamanya dalam TRIMS (teknologi, rekayasa,
ilmu, matematika, dan seni). Kita mengikuti
kecenderungan di negara-negara maju, yang program pendidikannya ditekankan
pada STEAM (science, technology, engineering, art, mathematics). Porsi
terbesar dari telaah tentang nilai-nilai keindahan dan kejelekan tentulah ada
dalam unsur S (seni) dari TRIMS. Pendidikan Agama (dan
Kepercayaan kepada Tuhan YME) dan pendidikan Budi Pekerti merupakan
ejawantahan (manifestasi) sila-sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam Pancasila. Agama Pendidikan Agama itu,
walaupun intinya sama untuk agama-agama apa pun, yakni: mengasihi Tuhan,
Allah kita, dengan sepenuh hati, dengan sepenuh jiwa, dan dengan sepenuh akal
budi kita, pelaksanaannya disesuaikan dengan akidah dan tata ibadah dalam
agama kita masing-masing, dan kita harus menghormati—dan bertenggang rasa
terhadap—agama-agama lain yang bukan agama kita sendiri. Tuhan kita semua toh
sama, yakni Tuhan YME yang Mahapengasih, yang juga Tuhan yang memerintahkan
kita untuk mengasihi-Nya?! Bertenggang rasa terhadap
perbedaan antara agama kita sendiri dan agama-agama lainnya tersirat dalam
perintah Tuhan agar kita mengasihi sesama kita, manusia, seperti diri kita
sendiri. Di dalam Pancasila, itulah sila kedua: Kemanusiaaan yang Adil dan
Beradab. Mengamini Prof Bambang
Hidayat (”Pendidikan dan Kepemudaan” (Kompas, 9 Maret 2021), pendidikan
”moralitas (baca: budi pekerti) memang harus selalu menjadi perhatian.” Di
sini ”budi pekerti” ditekankan pada etika, tanpa mengabaikan etiket. Tentulah
etika itu semesta (universal), sedangkan etiket (tata krama/sopan-santun)
sedikit atau banyak tentu gayut-budaya setempat. Intinya, budi pekerti
ialah usaha yang kita lakukan sekuat-kuatnya untuk menghadirkan summum bonum
commune (kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama) untuk sebanyak-banyaknya
liyan dan diri kita sendiri, tanpa mengorbankan siapa pun sebagai tumbal. Kedua sila yang pertama
dalam Pancasila itu unversal dan berlaku bukan saja bagi bangsa kita,
Indonesia, tetapi juga dapat berlaku untuk bangsa-bangsa lain yang mana pun.
Itu amanah atau perintah ”harga mati” yang tidak kita pertanyakan atau kita
tawar-tawar. Itulah kategorischer Imperativ. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar