Masalahnya
Sampah, Bukan Listrik Agunan Paulus Samosir ; Peneliti Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan |
KOMPAS, 27 Mei 2021
Peresmian pengolah sampah
menjadi energi listrik atau PSEL di Tempah Pembuangan Akhir Benowo di
Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Mei 2021 oleh Presiden Joko Widodo menjadi
tonggak baru pengelolaan sampah di Indonesia. Sejak Peraturan Presiden Nomor
35 Tahun 2018 tentang percepatan PSEL ramah lingkungan diterbitkan, baru Kota
Surabaya yang berhasil membangun PSEL dibandingkan 11 kota lain yang juga
mendapat dukungan pemerintah untuk pengelolaan sampah. Perpres No 35/2018
memberikan dukungan kepada daerah dalam dua hal. Pertama, bantuan biaya
layanan pengolahan sampah (BLPS) maksimal sebesar Rp 500.000 per ton sampah
yang diproses melalui teknologi tertentu. BLPS ini dikenal dengan tipping fee
(biaya yang perlu dibayarkan untuk pengembangan energi berbasiskan sampah) di
dunia internasional. Kedua, penetapan tarif listrik
yang lebih tinggi, yaitu 13,35 sen dollar AS per kWh dibandingkan harga yang
biasanya dibeli PT PLN sebesar 6,91 sen dollar AS per kWh. Selisih harga
listrik tersebut ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi atau subsidi
listrik. Diharapkan kedua dukungan tersebut dapat membantu pemda
menyelesaikan masalah sampah di daerahnya. Dukungan pemerintah pusat
untuk pengelolaan sampah ini sempat terhenti karena ada rekomendasi KPK akhir
Maret 2020 kepada Presiden bahwa BLPS yang dibebankan ke pemda memberatkan
APBD dan diperkirakan mencapai 23 persen dari pendapatan asli daerah. Selain
itu, pembelian listrik yang harganya tinggi akan memberatkan keuangan PT PLN. KPK merekomendasikan hasil
olahan sampah dijadikan briket atau pelet dicampur dengan batubara terhadap
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Rekomendasi lain adalah merevisi
Perpres No 35/2018 dengan memasukkan briket atau pelet sebagai rencana aksi
percepatan implementasi di lapangan. Masukan dan rekomendasi
inilah yang membuat beberapa pemda yang masuk dalam daerah percepatan
pembangunan PSEL menjadi ragu untuk melaksanakan Perpres No 35/2018. Padahal,
timbulan sampah yang terbuang ke TPA lebih dari 1.000 ton per hari. Belum ada
cara lain seperti briket dan pelet terbukti bisa mengurangi sampah minimal 85
persen dari sumbernya. Teknologi yang lazim
digunakan di dunia internasional untuk mengolah sampahnya adalah termal.
Singapura yang sampahnya mirip dengan Indonesia telah menggunakan teknologi
ini untuk mengurangi sampah. Hasil olahan sampah adalah listrik dan sisa
hasil olahan malah dijadikan reklamasi, yaitu Pulau Semakau. Urusan
wajib ketiga Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 12 Ayat (1) butir C,
menyebutkan bahwa pengelolaan sampah merupakan urusan wajib ketiga setelah
pendidikan dan kesehatan. Alokasi anggaran untuk pendidikan diamanatkan 20
persen dari APBD dan sektor kesehatan minimal 5 persen dari APBD. Sayangnya, alokasi
anggaran pengelolaan sampah belum menjadi perhatian besar bagi pemda. Rata-rata
alokasi anggaran pengelolaan sampah masih di bawah 0,4 persen dari APBD. Padahal, Pasal 282 UU No
23/2014 menyebutkan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah wajib didanai
dari APBD. Selain mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah, pemda juga
telah diberikan mandat untuk mencari sumber pembiayaan, yaitu retribusi. Hal tersebut tertuang
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara
Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah.
Permendagri ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga, yang tertuang dalam Pasal 29. Mengingat tidak semua
daerah peduli dengan pengelolaan sampah dan dampak negatif yang dirasakan
masyarakat, seperti pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, terbitlah
dukungan pemerintah pusat terhadap 12 kota, yaitu Kota Palembang, kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kota Bandung dan
sekitarnya, Kota Semarang, Kota Solo, Kota Surabaya, Kota Denpasar dan
sekitarnya, Kota Makassar, serta Kota Manado dan sekitarnya. Selain Perpres No 35/2018,
pemerintah pusat menerbitkan Perpres No 109/2020 tentang percepatan
pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN). Kedua belas daerah percepatan
pembangunan PSEL ramah lingkungan juga masuk dalam PSN. Dengan demikian,
dukungan yang diberikan pemerintah adalah membantu pemda untuk mengelola
sampahnya dengan baik, tidak angkut buang ke TPA. Baru-baru ini juga terbit
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26 Tahun 2021 tentang Dukungan Pendanaan
APBN bagi Pengelolaan Sampah di Daerah. Dukungan ini diberikan kepada daerah
yang memiliki kinerja pengelolaan sampah secara baik. Untuk memperoleh dukungan
tersebut, pemda harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pengelolaan
sampah dalam APBD dan memiliki dokumen perencanaan yang berisi arah kebijakan
dan strategi daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah. Lima
aspek Mengelola sampah bukanlah
sekadar angkut dan buang. Peter Schubeler (1996) menyebutkan, ada lima aspek
yang harus dipenuhi untuk mengelolanya, yaitu aspek regulasi, aspek
kelembagaan, aspek pembiayaan, aspek sosial budaya, dan aspek teknologi.
Kelima aspek tersebut saling terkait dan menjadi kunci keberhasilan suatu
daerah dalam pengelolaan sampahnya. Kota Surabaya merupakan
kota pertama yang menerapkan lima aspek pengelolaan sampah secara konsisten
sejak tahun 2012. Kota Surabaya menjadi tempat studi banding bagi daerah lain
untuk memahami isu tata kelola sampah. Tata kelola sampah yang baik itu
terlihat hasilnya dari dukungan pemerintah pusat melalui dana insentif
daerah, dana alokasi fisik, dan dukungan dana lain. Manfaat yang diperoleh
Kota Surabaya dari PSEL adalah tidak perlu membeli lahan baru untuk TPA, ikut
berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca, tidak ada bau yang mengganggu
kesehatan, dan tidak ada lagi pencemaran ke tanah dan sungai yang bermuara ke
laut. Kunci keberhasilan Kota
Surabaya adalah mampu mengidentifikasi secara baik permasalahan tata kelola
sampah. John Dewey (1927) menyatakan, a
problem is solved half, if it is clearly defined, yang relevan dengan
kondisi Kota Surabaya bahwa masalah sampah akan selesai sebagian apabila
sudah jelas teridentifikasi. Hal ini berlaku juga bagi
pemda yang mengalami kedaruratan sampah. Urusan yang harus diselesaikan
adalah pengurangan sampah, bukan listrik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar