Masa
Depan Negara Israel Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas di
Kairo, Mesir |
KOMPAS, 21 Mei 2021
Negara Israel yang
diproklamasikan pada 14 Mei 1948, kini menghadapi tantangan serius masa depannya. Negara berpenduduk sekitar
9,3 juta jiwa itu dengan geografis yang tidak terlalu luas, sekitar 20.770 km
persegi, adalah negeri yang dibangun oleh kaum imigran Yahudi dari
mancanegara, terutama dari Eropa. Sekitar 21 persen atau 2 juta dari
keseluruhan penduduk Israel adalah warga Arab Palestina. Warga Arab Palestina
tersebut yang populer disebut Arab Israel atau Arab tahun 1948 adalah warga
Arab Palestina yang memilih bertahan di kota-kota mereka saat terjadi petaka
(nakba) tahun 1948. Petaka tahun 1948 itu adalah Perang Arab-Israel pertama
yang dimenangi oleh Israel. Hal itu memaksa ratusan
ribu warga Arab Palestina mengungsi ke negara-negara Arab tetangga, seperti
Lebanon, Suriah, Jordania, serta ke Jalur Gaza yang saat itu dikontrol Mesir
dan Tepi Barat yang saat itu di bawah otoritas Jordania. Maka, Israel adalah
negeri mozaik yang sesungguhnya memikul beban ancaman bahaya keretakan dalam
struktur masyarakatnya. Selain komposisi penduduk
Yahudi yang heterogen, elemen penduduk negeri Israel yang paling sensitif
adalah warga Arab Israel itu. Mereka secara resmi adalah warga negara Israel
dengan membawa paspor dan kartu penduduk Israel. Mereka juga telah memiliki
partai politik dan mempunyai kursi cukup signifikan jumlahnya di Knesset
(parlemen). Warga Arab Israel bisa
dibilang cukup berhasil membangun partai dan kekuatan politik mereka semakin
diperhitungkan di panggung politik nasional Israel. Pada pemilu dini Knesset
23 Maret 2021, dua partai politik Arab meraih 10 kursi dari 120 kursi
Knesset, yakni partai Arab Joint List sebanyak enam kursi, dan partai United
Arab List (Ra’am) sebanyak empat kursi. Pada pemilu dini Knesset
Maret 2020, partai politik Arab yang tergabung dalam koalisi Joint List Arab
meraih 15 kursi. Joint List Arab pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari
empat partai Arab di Israel, yaitu partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United
Arab List. Pada 28 januari 2021,
United Arab List meninggalkan koalisi Joint List Arab dan ikut pemilu sendiri
pada pemilu dini Knesset 23 Maret 2021. Pada pemilu dini Knesset, September
2019, Jont List Arab mendapat 13 kursi dan pada pemilu Knesset bulan April
2019 meraih 10 kursi. Perolehan kursi partai
politik Arab yang cukup signifikan dari pemilu ke pemilu, adalah berkat
komitmen partisipasi warga Arab di Israel. Hal itu menunjukkan meningkatnya
kesadaran mereka tentang semakin pentingnya perjuangan lewat Knesset untuk
mendapatkan hak-hak warga Arab, baik di wilayah Israel sekarang maupun di
Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bahkan, saat ini partai
United Arab List (Ra’am) pimpinan Mansour Abbas yang memiliki 4 kursi di
Knesset menjadi penentu dalam pembentukan pemerintahan baru Israel. Di tengah
perpecahan yang akut di kubu kanan Israel saat ini, semua partai politik
Israel sangat membutuhkan dukungan United Arab List untuk dapat membentuk
pemerintahan. Dengan kata lain, United Arab List adalah penentu siapa Perdana
Menteri (PM) Israel mendatang. Di luar partai politik
Arab tersebut, banyak pula tokoh-tokoh Arab Israel yang bergabung dengan
partai-partai politik Yahudi, seperti partai kanan Likud, partai tengah
Biru-Putih dan partai kiri Buruh. Platform semua partai politik Arab di
Israel adalah anti-Zionis dan mendukung solusi dua negara Israel dan
Palestina. Karena itu, partai-partai
politik Arab di Israel seperti memiliki loyalitas ganda. Mereka berkiprah di
negara Zionis, tetapi dalam waktu yang sama anti-Zionis. Mereka juga
mendukung solusi dua negara Israel dan Palestina. Lebih dari itu, warga Arab
Israel masih menunjukkan perasaan serumpun serta senasib dan seperjuangan
dengan warga Arab Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur. Hal itu ditunjukkan ketika
warga Arab Israel di kota-kota Israel yang berpenduduk warga Arab dalam
jumlah besar turut mengobarkan perlawanan terhadap warga Yahudi dan
Pemerintah Israel sebagai protes atas upaya Israel menggusur 12 rumah warga
Arab Palestina di distrik Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur dan aksi brutal
aparat keamanan Israel atas warga Palestina di kompleks Masjid Al-Aqsa selama
Bulan Ramadhan lalu. Bentrokan horizontal
secara luas tak terelakkan antara warga Arab dan Yahudi di kota-kota
berpenduduk warga Arab dalam jumlah besar, seperti Kota Jaffa, Haifa, Lod,
dan kota-kota lain. Warga Arab dan Yahudi saling serang di kota-kota tersebut. Bahkan, Israel sampai
sekarang masih menerapkan situasi keadaan darurat di Kota Lod yang
berpenduduk 77.233 jiwa. Sekitar 30 persen dari keseluruhan penduduk kota Lod
adalah warga Arab Israel. Kota Jaffa yang berpenduduk 46.000 jiwa, 35 persen
penduduknya adalah warga Arab Israel. Warga Arab
di Israel hari Selasa (18/5/2021) turut melakukan mogok umum bersama warga
Arab di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, dengan menutup toko-toko, sekolah,
dan klinik-klinik sebagai protes atas serangan militer Israel di Jalur Gaza. Ini yang
membuat pemerintah Israel panik dan disebut Israel dalam ancaman perang
saudara. Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz bahkan mengatakan, buat apa
Israel menang dalam perang Gaza, tetapi jebol di pertahanan dalam negerinya. Kecemasan atas masa depan
harmoni hubungan warga Arab dan Yahudi di Israel saat ini semakin kuat
menyusul hasil pemilu dini Knesset bulan Maret lalu yang menunjukkan semakin
kuatnya tren populisme di negara itu. Tren tersebut tidak hanya
membuat semakin berat perjuangan rakyat Palestina dalam upaya meraih
cita-citanya, yakni berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967
dengan ibu kota Jerusalem Timur, tetapi juga kian beratnya tantangan
harmonisasi hubungan Arab dan Yahudi di Israel. Hasil pemilu Knesset
menunjukkan kubu kanan, ultrakanan, dan agama meraih mayoritas suara Knesset,
yaitu 72 kursi. Partai kanan Likud meraih 30 kursi, partai kanan Yisrael
Beiteinu tujuh kursi, partai kanan New Hope enam kursi, partai kanan Yamina
tujuh kursi, partai ultra kanan UTJ (United Torah Judaism) tujuh kursi,
partai ultra kanan Religious Zionism enam kursi, dan partai agama Shas
sembilan kursi. Suatu hal
yang cukup mengejutkan adalah lolosnya partai ultrakanan Religious Zionism
pimpinan Bezalel Smotrich masuk Knesset dengan meraih enam kursi. Platform
ideologi partai Religious Zionism mengadopsi ideologi gerakan radikal Yahudi,
Kach, yang bertekad mengusir seluruh warga Arab dari wilayah Israel sekarang,
serta dari Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Jika harmonisasi hubungan
Arab dan Yahudi di Israel terganggu, akan terganggu pula eksistensi negara
Israel. Sebab, jika terjadi eskalasi ketegangan hubungan antara warga Arab
dan Yahudi di Israel yang menyulut konflik horizontal secara luas, akan
segera membangun solidaritas warga Arab di Tepi Barat dan Jalur Gaza terhadap
saudaranya, warga Arab Israel. Artinya warga Arab di
Israel, warga Arab di Jalur Gaza, warga Arab di Tepi Barat dan Jerusalem
Timur merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena itu, tantangan
terbesar bagi Israel di masa mendatang adalah faktor demografi, di mana
pertumbuhan penduduk Arab Palestina jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
warga Yahudi. Penduduk Israel tahun 2021
ini sekitar 9,3 juta jiwa, di antaranya 21 persen adalah warga Arab. Adapun
penduduk Tepi Barat sekitar 3 juta jiwa dan Jalur Gaza sekitar 2 juta jiwa.
Komposisi penduduk Yahudi dan Arab jika digabung antara wilayah Israel, Tepi
Barat, dan Jalur Gaza kini berimbang, yakni sama-sama sekitar 7 juta jiwa. Dalam 5 atau 10 tahun
mendatang, penduduk Arab bisa dipastikan mayoritas jika digabung antara
wilayah Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Bila kelak ada kerusuhan massal
antara warga Yahudi dan Arab, akan menjadi masalah besar bagi eksistensi
negara Israel. Memang lebih baik segera
ada solusi Palestina, baik dalam bentuk satu negara atau solusi dua negara,
Israel dan Palestina. Inilah sebenarnya yang menjadi kemaslahatan Israel jika
segera ada solusi isu Palestina ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar