Merawat
Kebebasan Sipil Saidiman Ahmad ; Manajer Program
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) |
KOMPAS, 21 Mei 2021
The Economist Intelligence
Unit (EIU) merilis indeks demokrasi dunia 2020. Dalam rilis itu, Indonesia
menempati ranking 64 dari 167 negara. Walaupun posisi ini tidak mengalami
perubahan dari tahun sebelumnya, secara umum, skor demokrasi Indonesia
mengalami kemunduran. Dihitung dari skala 1 sampai 10, di mana 1 adalah
kondisi demokrasi terburuk dan 10 adalah yang terbaik, demokrasi Indonesia
ada di angka 6.30. Skor ini lebih buruk dari tahun 2019, yakni 6.48. Ada lima aspek yang diukur
oleh The EIU, yakni: proses elektoral dan pluralisme (electoral process and
pluralism), bekerjanya dengan baik pemerintah (functioning of government),
partisipasi politik (political participation), budaya politik (political
culture), dan kebebasan sipil (civil liberties). Pada tiga aspek pertama,
Indonesia mendapatkan skor cukup baik, yakni 7,92, 7,50 dan 6,11. Sementara
dua aspek terakhir nampak masih cukup buruk. 4,38 untuk budaya politik dan
5,59 untuk kebebasan sipil. Laporan yang mirip juga
datang dari lembaga lain seperti Freedom House. Lembaga pemeringkat kebebasan
ini menempatkan Indonesia dalam gerbong partly free (bebas sebagian) sejak
2013. Sebelumnya, dari 2005 sampai 2012, Indonesia berada dalam kategori
fully free (bebas penuh), satu gerbong bersama negara-negara dengan demokrasi
yang sudah mapan. Senada dengan EIU, Freedom
House juga menunjuk aspek kebebasan sipil sebagai titik terlemah demokrasi
Indonesia. Diukur dari skala 1 sampai 7, di mana 1 sangat bebas dan 7 sangat
tidak bebas, kebebasan sipil Indonesia berada di angka 4. Pelemahan kebebasan sipil
inilah yang kemudian jadi alasan mengapa banyak peneliti dan ahli Indonesia
menyatakan negara ini sedang mengalami kemerosotan demokrasi. Kemerosotan tak
berasal dari ritual pemilu yang berjalan cukup baik dari pemilu ke pemilu,
melainkan dari ranah kebebasan sipil. Survei Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC) menunjukkan adanya gejala pelemahan kebebasan
ini. Dalam survei akhir Februari sampai awal Maret 2021, terdapat 39,2 persen
warga yang merasa bahwa sekarang masyarakat sering atau selalu takut bicara persoalan
politik. Angka ini naik signifikan dibanding survei beberapa tahun
sebelumnya. Pada Juli 2014, misalnya, angkanya masih sekitar 14 persen. Pada survei yang sama,
ditemukan 32 persen warga yang merasa bahwa publik sekarang sering atau
selalu takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum. Ada 20
persen warga yang merasa sekarang masyarakat takut ikut berorganisasi. Bahwa
terdapat 11 persen warga yang merasa sekarang masyarakat takut melaksanakan
ajaran agama. Ancaman
intoleransi Dari mana sumber pelemahan
kebebasan sipil ini? Salah satu jawabannya adalah intoleransi yang berkembang
di masyarakat. Intoleransi yang menguat di masyarakat pada akhirnya menjadi
ladang yang subur bagi munculnya para politikus dan pejabat publik oportunis
tanpa visi kebangsaan yang menjalankan kebijakan hanya berdasarkan
kecenderungan umum publik. Mereka berlayar di atas
arus konservatifisme. Ini yang menjelaskan mengapa beberapa tahun terakhir
sangat mudah muncul peraturan-peraturan daerah diskriminatif atau tindakan
represif aparat pada kelompok rentan. Masih besarnya intoleransi
di tengah masyarakat Indonesia terkonfirmasi dalam survei opini publik
Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2019. LSI membagi dua ranah intoleransi:
intoleransi sosial keagamaan dan intoleransi politik. Pada kelompok Muslim,
ditanyakan apakah mereka keberatan jika ada penganut agama lain melakukan
ibadah dan membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggal Anda? Ada 36
persen warga Muslim yang keberatan umat agama lain beribadah di sekitar
tempat tinggalnya. Sementara yang keberatan
umat agama lain membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya mencapai
53 persen. Walaupun tingkat intoleransi ini sangat tinggi, namun terlihat
mengalami penyusutan dari waktu ke waktu. Pada survei 2010, angkanya mencapai
52 dan 64 persen. Sementara untuk ranah
politik, warga (basis Muslim) ditanya apakah mereka keberatan jika yang
menjadi presiden, wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota dari kalangan
bukan Islam? Sebanyak 59 persen menjawab keberatan untuk presiden, 56 persen
untuk Wapres, dan 52 persen untuk gubernur, bupati dan walikota. Berbeda dengan tren
intoleransi sosial keagamaan yang sedikit menurun, tren intoleransi politik
ini justru mengalami peningkatan tajam dari waktu ke waktu. Pada survei 2016,
hanya 48 persen warga Muslim yang keberatan presiden berasal dari kalangan
bukan Islam, 41 persen untuk wapres, 40 persen untuk gubernur dan 39 persen
untuk bupati atau walikota. Meningkatnya tren
intoleransi pada ranah politik ini kemungkinan besar merupakan imbas dari
maraknya politisasi agama yang muncul dalam setiap perhelatan demokrasi. Studi yang dilakukan oleh
Saiful Mujani (2019) menemukan empat hal yang memiliki korelasi signifikan
dengan toleransi dan intoleransi masyarakat Muslim di Indonesia. Pertama,
ditemukan bahwa aspek etnisitas ke-Jawa-an memiliki korelasi positif dan
signifikan dengan toleransi. Semakin dekat warga Muslim dengan budaya Jawa,
semakin besar peluang seseorang untuk toleran dan menghargai kebinekaan. Kedua, institutional
engagement atau sikap pada dasar negara Pancasila dan Konstitusi atau
Undang-undang Dasar. Semakin yakin dan percaya warga Muslim Indonesia pada
nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD, semakin besar kemungkinan mereka
memiliki sikap toleran pada yang berbeda. Ketiga, evaluasi pada
kondisi ekonomi-politik, hukum, keamanan dan ketertiban memiliki korelasi
positif dan signifikan dengan toleransi politik dan keagamaan. Warga Muslim
Indonesia yang memiliki penilaian yang cenderung positif pada keadaan
ekonomi, politik, hukum, keamanan dan ketertiban juga cenderung memiliki
sikap dan pandangan yang lebih toleran pada pihak lain, demikian sebaliknya. Faktor keempat yang
memiliki hubungan dengan toleransi adalah religiositas. Ditemukan bahwa religiositas
warga Muslim Indonesia memiliki hubungan yang positif dengan intoleransi.
Semakin religius masyarakat Muslim Indonesia, cenderung semakin memiliki
persepsi dan sikap intoleran pada kelompok berbeda. Hal ini berkebalikan
dengan faktor etnisitas ke-Jawa-an yang justru memiliki korelasi positif
dengan toleransi. Pendidikan Pertanyaannya adalah
mengapa religiositas bisa memiliki hubungan positif dan signifikan dengan
intoleransi? Jawaban pertanyaan ini terkait dengan bagaimana agama diajarkan.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2018) menemukan
bahwa buku-buku pendidikan agama di lingkungan perguruan tinggi umum
cenderung memiliki muatan eksklusivisme. Pada Februari 2020,
lembaga penelitian ini juga mengumumkan hasil riset mereka yang menunjukkan
sekitar 63 persen tenaga pendidik Indonesia memiliki pandangan yang
intoleran. Ada persoalan serius pada bagaimana agama diajarkan. Agama memang memiliki
unsur yang bisa memicu radikalisme seperti yang nampak pada kelompok-kelompok
ekstrem yang muncul di semua agama. Tetapi pada saat yang sama, agama juga
memiliki energi perdamaian yang tak kalah kuatnya. Para pendidik dan pelaku
syiar agama mestinya berpihak pada wajah agama yang lebih ramah dan toleran
itu. Lebih luas dari pendidikan agama, syiar toleransi dan kerukunan adalah
pekerjaan besar yang harus dibangun di semua jenjang pendidikan, baik formal
maupun informal. Narasi yang mendorong munculnya sikap-sikap permusuhan pada
kelompok berbeda perlu disingkirkan. Kesediaan menerima yang
berbeda adalah unsur terpenting dalam membangun toleransi. Tanpa toleransi,
kebebasan sipil dan demokrasi akan terus terkikis. Pakar budaya politik,
Gabriel Almond dan Syndey Verba (1963), menyatakan bahwa selain partisipasi
politik formal, rasa saling percaya dan toleransi antar-warga dibutuhkan
untuk membuat demokrasi bisa bekerja dan tetap stabil. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar