Sabtu, 22 Mei 2021

 

Merawat Kebebasan Sipil

Saidiman Ahmad ;  Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

KOMPAS, 21 Mei 2021

 

 

                                                           

The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi dunia 2020. Dalam rilis itu, Indonesia menempati ranking 64 dari 167 negara. Walaupun posisi ini tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, secara umum, skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Dihitung dari skala 1 sampai 10, di mana 1 adalah kondisi demokrasi terburuk dan 10 adalah yang terbaik, demokrasi Indonesia ada di angka 6.30. Skor ini lebih buruk dari tahun 2019, yakni 6.48.

 

Ada lima aspek yang diukur oleh The EIU, yakni: proses elektoral dan pluralisme (electoral process and pluralism), bekerjanya dengan baik pemerintah (functioning of government), partisipasi politik (political participation), budaya politik (political culture), dan kebebasan sipil (civil liberties).

 

Pada tiga aspek pertama, Indonesia mendapatkan skor cukup baik, yakni 7,92, 7,50 dan 6,11. Sementara dua aspek terakhir nampak masih cukup buruk. 4,38 untuk budaya politik dan 5,59 untuk kebebasan sipil.

 

Laporan yang mirip juga datang dari lembaga lain seperti Freedom House. Lembaga pemeringkat kebebasan ini menempatkan Indonesia dalam gerbong partly free (bebas sebagian) sejak 2013. Sebelumnya, dari 2005 sampai 2012, Indonesia berada dalam kategori fully free (bebas penuh), satu gerbong bersama negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan.

 

Senada dengan EIU, Freedom House juga menunjuk aspek kebebasan sipil sebagai titik terlemah demokrasi Indonesia. Diukur dari skala 1 sampai 7, di mana 1 sangat bebas dan 7 sangat tidak bebas, kebebasan sipil Indonesia berada di angka 4.

 

Pelemahan kebebasan sipil inilah yang kemudian jadi alasan mengapa banyak peneliti dan ahli Indonesia menyatakan negara ini sedang mengalami kemerosotan demokrasi. Kemerosotan tak berasal dari ritual pemilu yang berjalan cukup baik dari pemilu ke pemilu, melainkan dari ranah kebebasan sipil.

 

Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan adanya gejala pelemahan kebebasan ini. Dalam survei akhir Februari sampai awal Maret 2021, terdapat 39,2 persen warga yang merasa bahwa sekarang masyarakat sering atau selalu takut bicara persoalan politik. Angka ini naik signifikan dibanding survei beberapa tahun sebelumnya. Pada Juli 2014, misalnya, angkanya masih sekitar 14 persen.

 

Pada survei yang sama, ditemukan 32 persen warga yang merasa bahwa publik sekarang sering atau selalu takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum. Ada 20 persen warga yang merasa sekarang masyarakat takut ikut berorganisasi. Bahwa terdapat 11 persen warga yang merasa sekarang masyarakat takut melaksanakan ajaran agama.

 

Ancaman intoleransi

 

Dari mana sumber pelemahan kebebasan sipil ini? Salah satu jawabannya adalah intoleransi yang berkembang di masyarakat. Intoleransi yang menguat di masyarakat pada akhirnya menjadi ladang yang subur bagi munculnya para politikus dan pejabat publik oportunis tanpa visi kebangsaan yang menjalankan kebijakan hanya berdasarkan kecenderungan umum publik.

 

Mereka berlayar di atas arus konservatifisme. Ini yang menjelaskan mengapa beberapa tahun terakhir sangat mudah muncul peraturan-peraturan daerah diskriminatif atau tindakan represif aparat pada kelompok rentan.

 

Masih besarnya intoleransi di tengah masyarakat Indonesia terkonfirmasi dalam survei opini publik Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2019. LSI membagi dua ranah intoleransi: intoleransi sosial keagamaan dan intoleransi politik.

 

Pada kelompok Muslim, ditanyakan apakah mereka keberatan jika ada penganut agama lain melakukan ibadah dan membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggal Anda? Ada 36 persen warga Muslim yang keberatan umat agama lain beribadah di sekitar tempat tinggalnya.

 

Sementara yang keberatan umat agama lain membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya mencapai 53 persen. Walaupun tingkat intoleransi ini sangat tinggi, namun terlihat mengalami penyusutan dari waktu ke waktu. Pada survei 2010, angkanya mencapai 52 dan 64 persen.

 

Sementara untuk ranah politik, warga (basis Muslim) ditanya apakah mereka keberatan jika yang menjadi presiden, wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota dari kalangan bukan Islam? Sebanyak 59 persen menjawab keberatan untuk presiden, 56 persen untuk Wapres, dan 52 persen untuk gubernur, bupati dan walikota.

 

Berbeda dengan tren intoleransi sosial keagamaan yang sedikit menurun, tren intoleransi politik ini justru mengalami peningkatan tajam dari waktu ke waktu. Pada survei 2016, hanya 48 persen warga Muslim yang keberatan presiden berasal dari kalangan bukan Islam, 41 persen untuk wapres, 40 persen untuk gubernur dan 39 persen untuk bupati atau walikota.

 

Meningkatnya tren intoleransi pada ranah politik ini kemungkinan besar merupakan imbas dari maraknya politisasi agama yang muncul dalam setiap perhelatan demokrasi.

 

Studi yang dilakukan oleh Saiful Mujani (2019) menemukan empat hal yang memiliki korelasi signifikan dengan toleransi dan intoleransi masyarakat Muslim di Indonesia. Pertama, ditemukan bahwa aspek etnisitas ke-Jawa-an memiliki korelasi positif dan signifikan dengan toleransi. Semakin dekat warga Muslim dengan budaya Jawa, semakin besar peluang seseorang untuk toleran dan menghargai kebinekaan.

 

Kedua, institutional engagement atau sikap pada dasar negara Pancasila dan Konstitusi atau Undang-undang Dasar. Semakin yakin dan percaya warga Muslim Indonesia pada nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD, semakin besar kemungkinan mereka memiliki sikap toleran pada yang berbeda.

 

Ketiga, evaluasi pada kondisi ekonomi-politik, hukum, keamanan dan ketertiban memiliki korelasi positif dan signifikan dengan toleransi politik dan keagamaan. Warga Muslim Indonesia yang memiliki penilaian yang cenderung positif pada keadaan ekonomi, politik, hukum, keamanan dan ketertiban juga cenderung memiliki sikap dan pandangan yang lebih toleran pada pihak lain, demikian sebaliknya.

 

Faktor keempat yang memiliki hubungan dengan toleransi adalah religiositas. Ditemukan bahwa religiositas warga Muslim Indonesia memiliki hubungan yang positif dengan intoleransi. Semakin religius masyarakat Muslim Indonesia, cenderung semakin memiliki persepsi dan sikap intoleran pada kelompok berbeda. Hal ini berkebalikan dengan faktor etnisitas ke-Jawa-an yang justru memiliki korelasi positif dengan toleransi.

 

Pendidikan

 

Pertanyaannya adalah mengapa religiositas bisa memiliki hubungan positif dan signifikan dengan intoleransi? Jawaban pertanyaan ini terkait dengan bagaimana agama diajarkan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2018) menemukan bahwa buku-buku pendidikan agama di lingkungan perguruan tinggi umum cenderung memiliki muatan eksklusivisme.

 

Pada Februari 2020, lembaga penelitian ini juga mengumumkan hasil riset mereka yang menunjukkan sekitar 63 persen tenaga pendidik Indonesia memiliki pandangan yang intoleran. Ada persoalan serius pada bagaimana agama diajarkan.

 

Agama memang memiliki unsur yang bisa memicu radikalisme seperti yang nampak pada kelompok-kelompok ekstrem yang muncul di semua agama. Tetapi pada saat yang sama, agama juga memiliki energi perdamaian yang tak kalah kuatnya.

 

Para pendidik dan pelaku syiar agama mestinya berpihak pada wajah agama yang lebih ramah dan toleran itu. Lebih luas dari pendidikan agama, syiar toleransi dan kerukunan adalah pekerjaan besar yang harus dibangun di semua jenjang pendidikan, baik formal maupun informal. Narasi yang mendorong munculnya sikap-sikap permusuhan pada kelompok berbeda perlu disingkirkan.

 

Kesediaan menerima yang berbeda adalah unsur terpenting dalam membangun toleransi. Tanpa toleransi, kebebasan sipil dan demokrasi akan terus terkikis. Pakar budaya politik, Gabriel Almond dan Syndey Verba (1963), menyatakan bahwa selain partisipasi politik formal, rasa saling percaya dan toleransi antar-warga dibutuhkan untuk membuat demokrasi bisa bekerja dan tetap stabil. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar