Jalan
Selamat Warga Lanjut Usia Perkotaan Neli Triana ; Wartawan (Penulis kolom
“Catatan Urban”) Kompas |
KOMPAS, 29 Mei 2021
Seperti biasa, Gelora Bung
Karno di Jakarta Pusat pada pagi akhir pekan pertengahan Mei itu ramai oleh
orang-orang berpeluh dan penuh semangat. Di antara kaum muda yang tak kenal
lelah menggerakkan tubuh untuk berlari, berjalan kaki, bersepeda, bersepatu
roda ke sana kemari, berlalu lalang dengan papan seluncurnya, ada banyak
warga usia lanjut yang tak kalah energik. Bersama anak dan cucu atau
hanya dengan pasangannya atau berkelompok dengan teman sebaya, warga lansia
ini juga suka swafoto, bercanda, dan tertawa-tawa. Mereka pun masih
mengemudikan sendiri sepeda motor atau mobilnya. Mereka juga suka nongkrong,
ngopi sembari mengudap. Tertangkap sepotong
percakapan mereka di tengah aktivitas olahraga. Ada yang serius membicarakan
politik negeri ini, bicara bisnis atau peluang menggarap bisnis bersama
keluarga maupun kolega, berbagi pengalaman berobat dan menjaga kesehatan,
sampai begitu bangganya mereka terhadap anak-anak serta cucu-cucu mereka. Selain warga lansia yang
jauh lebih mapan hidupnya, di Jakarta dan sekitarnya mudah pula dijumpai kaum
berumur yang aktif bekerja dengan pendapatan sebatas upah minimum regional
atau di bawahnya. Sebagian penyapu jalan dan perawat jalur hijau maupun taman
di seputaran Bintaro dan Serpong di Tangerang Selatan, misalnya, sudah masuk
kategori sepuh, tetapi tetap ligat bekerja. Warga berusia senja memang
semakin signifikan jumlahnya dalam demografi masyarakat urban di Indonesia.
Mereka yang termasuk kelompok lansia sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah yang telah berumur 60 tahun ke atas.
Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), 9,78 persen dari
270,2 juta warga negeri ini adalah lansia. Data BPS 2020, secara umum
di Indonesia, 52,95 persen warga lansia tinggal di perkotaan. Tren lansia
yang menetap di area urban diprediksi akan makin naik persentasenya pada
tahun-tahun mendatang sejalan dengan tren meluasnya kawasan perkotaan. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional memproyeksikan, dalam delapan tahun ke depan, tingkat
urbanisasi pertumbuhan kawasan perkotaan di Indonesia tembus 66,6 persen.
Pada 2045, jumlah orang lansia diproyeksikan mencapai 20 persen dari total
penduduk Nusantara. Warga lansia di area urban
juga memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dan tingkat kesejahteraan lebih
baik dibandingkan sejawat mereka di perdesaan. BPS menyebut, dengan mengenyam
edukasi formal lebih tinggi, sebagian warga lansia urban melewatkan masa
produktifnya dengan bekerja di tempat yang mampu memberi jaminan hari tua
lebih baik. Sebagai ibu kota negara
sekaligus pusat ekonomi dan bisnis, serta area perkotaan terbesar di
Indonesia, Jakarta pada 2018 saja telah memiliki 869.684 warga lansia atau
kurang dari 9 persen dibandingkan total penduduknya yang sekitar 10 juta
jiwa. Angka itu tidak banyak berubah hingga tahun ini. Meskipun demikian,
Jakarta memiliki angka rata-rata lama sekolah lansia tertinggi, yakni 9,47
tahun atau rata-rata lansia mampu bersekolah sampai lulus SMP/sederajat.
Angka itu hampir dua kali lipat angka rata-rata nasional. Terlepas dari latar
belakang pendidikannya, kini lebih dari separuh jumlah warga lansia sudah
terbiasa mengakses teknologi terkini, khususnya telepon genggam. Penggunaan
gawai ini khususnya dilakukan seperlima hingga sepertiga warga lansia dari
kelompok pengeluaran bulanan terbesar. Warga lansia mapan pengakses telepon
genggam hingga laptop ini juga lebih banyak ada di perkotaan, seperti di
Jakarta dan sekitarnya. Bagi mereka dengan
pengeluaran rutin terbawah, yang mencapai 40 persen jumlah lansia, akses ke
gawai masih menjadi persoalan. Terjebak
menjadi beban Dana Kependudukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan, jumlah warga lansia yang
semakin besar di suatu negara berkorelasi dengan meningkatnya kesejahteraan
negara bersangkutan. Hal ini berkorelasi pula dengan kondisi keamanan serta
ketersediaan fasilitas publik, seperti jaminan kesejahteraan dan kesehatan di
negara tersebut. Di negara-negara miskin, seperti di sebagian Benua Afrika,
jumlah orang berusia lebih dari dua pertiga abad sangat sedikit. Indonesia patut bersyukur
karena jumlah masyarakat lanjut usia yang membesar mengindikasikan
peningkatan kesejahteraan publik dan keamanan negara secara umum. Namun,
seperti dicatat BPS tahun 2020, 48,14 persen dari masyarakat lansia di sini
masih mengalami keluhan kesehatan fisik maupun psikis. Persentase orang
lansia yang sakit mencapai 24,35 persen. Selain itu, penambahan
jumlah lansia diikuti peningkatan rasio ketergantungan lansia terhadap
penduduk produktif. Tahun 2020, rasio ketergantungan lansia 15,54, yang
berarti setiap 100 penduduk usia produktif (15-59 tahun) menanggung 15 orang
lansia. Isu kesehatan dan
ketergantungan warga lansia khususnya, menambah beban kawasan perkotaan yang
kini serta kelak menjadi tempat tinggal mayoritas orang usia senja ini.
Kesibukan rutin harian kaum urban untuk mencari nafkah atau bersekolah
dikhawatirkan membuat warga usia produktif tidak punya cukup waktu tersisa
serta fasilitas bagi ibu, ayah, kakek nenek, para kerabat lansia mereka. Di masa pandemi ini,
memang sebagian orang menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah akibat
berbagai pembatasan kegiatan. Namun, tidak berarti kesibukan sehari-hari
mereda. Justru dampak berbagai pembatasan membawa problema tersendiri ke
setiap individu dan rumah tangga, termasuk tertekan dan bosan dengan kondisi
yang telah berlangsung lebih dari satu tahun. Juga ada yang sampai berkurang
dan kehilangan sumber pendapatan utamanya. Akibatnya, tidak jarang
warga lansia terjebak dalam situasi yang menjadikan mereka sebatas beban bagi
keluarga, lingkungan komunitas, atau pemerintah. Peran
penting Dalam salah satu
laporannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan warga lansia berhak
mendapatkan penghormatan tertinggi dalam masyarakat. Penyebabnya bukan
sekadar memupuk rasa hormat kepada orang yang lebih tua sesuai tatanan norma
masyarakat. Akan tetapi, karena warga lansia, siapa pun dia, pernah dan masih
berjasa kepada komunitas di sekitar tempat tinggal mereka maupun masyarakat
yang lebih luas. Sebelum usia senja datang,
pada masanya, mereka pernah secara langsung maupun tidak langsung menjadi
tempat bergantung warga di bawah umur serta lansia. Mereka secara langsung
dan tidak langsung turut membangun tatanan masyarakat yang sekarang menjadi
tempat tinggal kita. Dalam roda kehidupan yang terus berputar, peran itu
laksana tongkat estafet yang wajib diserahkan kepada generasi selanjutnya
untuk melanjutkan perjuangan. Walau begitu, warga negara
senior ini tak berarti kehilangan peran sama sekali dalam dinamika
masyarakat. Dengan angka harapan hidup yang kini bertambah makin panjang,
masa setelah usia 60 tahun kini justru menciptakan peluang mengejar karier
baru. Sudah banyak contoh lansia bersemangat kembali ke sekolah demi
mengenyam pendidikan formal yang dulu terlewat, menjadi penulis, membuka
usaha dan mengelola karyawannya sendiri, bertualang menuntaskan cita-cita
semasa muda. Bagi yang ingin menikmati
hidup tenang dari uang pensiun atau dimanja keluarga pun tentu tak jadi soal.
Di sisi lain, masih banyak pula warga lansia yang tetap harus bekerja, bukan
sekadar pengisi waktu luang, melainkan agar perut bisa tetap terisi dan
mempertahankan ”atap” tempat mereka bernaung. Penyapu jalan, perawat jalur
hijau, penjaga keamanan di perumahan, tukang parkir, sopir, turun ke ladang,
bahkan mengemis pun dilakoni. Menjadi apa pun para warga
lansia di sisa hidupnya, dampaknya sama-sama menjaga kehidupannya dan
kehidupan di sekitarnya untuk terus berputar. Seorang nenek yang
sehari-hari menjaga cucu-cucunya tanpa dibayar jelas menjadi bagian penting
perekonomian rumah tangganya. Kerja keras si nenek memungkinkan putra atau
putrinya mencari rezeki dengan tenang untuk menghidupi seluruh keluarga.
Baginya, kompensasi memadai, seperti terjaminnya akses ke layanan kesehatan,
hiburan, dan keamanan diri, wajib dijamin. Juga bagi mereka yang tak berdaya
karena sakit, sendiri tanpa keluarga, atau yang terpaksa masih hidup di
jalanan. Di sinilah peran
pemerintah memastikan tetap ada jaminan kesejahteraan layak bagi para warga
lansia yang kurang atau tidak memiliki akses maupun dukungan penuh dari
keluarga. Di Indonesia, di tingkat nasional maupun sebagian daerah seperti di
Jakarta, sudah ada program jaminan kesejahteraan bagi warga lanjut usia.
Namun, program bantuan itu belum menyentuh semua kelompok lansia yang
membutuhkan. Mengambil contoh dari
paparan BPS, disebutkan bahwa Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) menjadi salah
satu program yang dikeluarkan pemerintah untuk penyaluran bantuan sosial dan
subsidi. Persentase rumah tangga lansia yang memiliki KKS tahun 2020 baru
sebesar 13,59 persen. Selain itu, ada 26,41
persen penduduk lansia belum memiliki jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan
yang paling banyak dimiliki penduduk lansia adalah sebagai peserta program
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan PBI (Penerima Bantuan
Iuran), yaitu 44,59 persen. Sementara jaminan kesehatan yang paling sedikit
dimiliki warga lansia adalah asuransi swasta (0,44 persen). Data lain memaparkan bahwa
baru 13,84 persen rumah tangga lansia memiliki jaminan sosial. Persentase
rumah tangga lansia yang memiliki jaminan sosial di perkotaan mencapai 19,83
persen atau hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan perdesaan yang
hanya 7,07 persen. Hal ini karena rumah
tangga lansia di perkotaan banyak terpapar jaminan yang diperoleh dari tempat
mereka dulu bekerja, seperti jaminan pensiun/veteran, jaminan hari tua,
asuransi kecelakaan kerja, jaminan/asuransi kematian, dan pesangon saat
mendapat pemutusan hubungan kerja. Akses dan fasilitas yang lebih baik itu
memudahkan warga lansia perkotaan mendapatkan jaminan sosial dibandingkan
mereka yang tinggal di perdesaan. WHO menyatakan, suatu
masyarakat dinilai beradab salah satunya dilihat dari cara memperlakukan
warga senior mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang. Di Hari Lanjut Usia
Nasional yang jatuh tiap 29 Mei, seperti hari ini, warga lansia perkotaan di
Indonesia boleh dibilang kembali diingatkan nasibnya sedikit lebih beruntung
dibandingkan rekan mereka di perdesaan. Namun, jalan menuju
selamat sejahtera bagi warga lansia urban maupun di perdesaan di Indonesia
masih belum semulus cita-cita. Fakta bahwa masih banyak fasilitas bagi
kelompok lansia yang belum diwujudkan menjadi pekerjaan rumah di kota maupun
desa agar segera diselesaikan. Selamat Hari Lansia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar