Takjub
Ajoeb: Kepada Hendro Wiyanto Aminudin TH Siregar ; Pengamat Seni |
KOMPAS, 30 Mei 2021
Bung, lama rasanya gak
nulis di Kompas Minggu. Presiden berganti, menteri bertukar, tapi infrastruktur
seni rupa kok gitu-gitu aja, ya? Koleksi negara masih cerai-berai. Negeri
boleh luas, tapi museumnya sempit. Negeri sebelah mungil, museumnya segede
gaban. Gelanggang kita semrawut. Lukisan palsu tayang terus. Makin banyak
orang berlagak pintar, modalnya cuma pergaulan atau karena berduit. Yang
benar-benar pintar makin sedikit, terkucil, lalu diam. Gagal paham seni rupa
bangsa menggila. Begitulah terus, gak tahu sampai kapan. Kini era pandemi.
Ingar-bingar pameran yang menguras waktu dan tenaga sejak belasan tahun
terakhir menurun drastis. Waktu luang mestinya dimanfaatkan untuk evaluasi.
Bahwa sejauh ini kita gagal panen buah cendekia yang mustahak. Yang kita
wariskan adalah gabah seni rupa kontemporer di piring kotor. Debat tanpa
ujung: soal definisi, teori, paradigma, peluang, pasar, masih ingat? Belasan
tahun kita bertebaran dari sanggar ke sanggar, steleng ke steleng, museum ke
museum, dari Manhattan ke Nitiprayan, lalu senyap. O, iya, ada lagi warisan
mental yang kronis dan norak: mabuk (pengakuan) internasional, tapi jago
kandang. Menyedihkan. Bung, dari zaman Persagi
ngeraut pensil, kita sebenarnya gak pernah kekurangan karya seni dan watak
seniman yang keren. Meski kemudian banyak juga seni yang butut yang dipaksain
ada wacananya, ada risetnya, ada pasarnya. Kesenimanan jadi gimik doang. You
know-lah. Tapi, yang pasti, sejak Noto Soeroto ngulas Raden Saleh, kita makin
kekurangan sejarawan dan ahli kecam berpena tajam. Kurator? Itu mah cupang
cendolan! Gak banyak yang bisa dipetik dari kerja kurasi belakangan ini.
Teks-teks mereka seringnya melamun ketimbang berpijak. Menurutmu? Menurutku yang kita
perlukan adalah ”historiografi penyadaran”. Singkatnya: penulisan sejarah
secara lebih progresif, panggungnya diperluas seraya mempertajam konteks
untuk mengaktifkan kesadaran orang banyak. Jangan lupa, analisis arsip
baik-baik! Dengan cara itu, insya Allah, kita lebih beradab memahami karya
seni rupa dan kesenimanan bangsa sendiri. Nah, tulisan Joebaar Ajoeb
tentang seni rupa pasca-1965 mungkin bisa jadi ilustrasi. Puluhan tahun lalu
dia pernah bilang: ”Seni rupa modern Indonesia sesudah 1965 cenderung
menggerhana. Seni itu terdiam tidak menyatakan belasungkawanya ketika
Presiden pertama Republik ini Sukarno yang telah lama menjadi saudara kandungnya
meninggal dunia”. Ya, boro-boro melirik Sukarno, seni rupa setelah 1965 malah
khusyuk meliris. Siapa lagi yang pernah melukis Sukarno selain Basuki
Abdullah sewaktu revolusi Agustus 1945 pecah? Satu-satunya presiden yang
cinta seni rupa, doyan blusukan ke sanggar, pameran, dan beli lukisan, kok
segitu mudah dilupakan? Ajoeb mengedepankan
penyadaran. Apalagi yang ini: ”Di tengah gempita pembangunan sekian banyak
bendungan, waduk, stasiun, pembangkit tenaga listrik, jalan dan jembatan,
beribu pabrik, tambang gas bumi dan minyak anjungan beserta pipa-pipanya,
irigasi, perkebunan, persawahan baru, industri kapal laut dan terbang,
pencakar langit, supermarket, perumahan rakyat dan elite, lapangan golf,
stadion, jaringan televisi, satelit Palapa. Seni rupa Indonesia seakan-akan
hanya berpapasan dengan gempita pembangunan tersebut. Seni rupa ini seakan
tidak ’diajak berpartisipasi’ atau mengalami inferioritas”. Waw, savage,
Bung! Okelah, kita punya celah
memperkaya dalil-dalil Ajoeb dengan mengamati lagi karya-karya seni yang
tercipta setelah 1965. Saya usulkan dua lukisan, yaitu S Sudjojono dengan
”Maka Lahirlah Angkatan 66” (1966) dan ”Mentari Setelah September 1965”
(1968) dari AD Pirous. Pemuda bertopi kuning
adalah fokus ”Angkatan 66”. Ceklik, inilah potret generasi yang membangkang
Sukarno! Tangannya memegang kuas dan kaleng cat—tapi perhatikan, dari balik
jaketnya tersingkap benda tak lazim dijepit sabuk militer (?). Kalau sempat,
tolong kau cermati lagi lukisan itu di Museum Seni Rupa dan Keramik! Dia berjaket merah,
bercelana jins, berdiri membelakangi kerumunan di Jalan Thamrin. Kita seakan
menatap ke selatan Jakarta. Sementara si pemuda menantang ke utara, ke Istana
Presiden! Di sebelah kiri, gedung bertingkat tampak mangkrak. Segerombolan
orang mencoreti kendaraan dan dinding. Terbaca makian dan tuntutan yang
diarahkan ke Subandrio (btw, Bung, tahu gak, sewaktu jadi duta besar,
Subandrio itu nyuksesin pameran Affandi di Inggris, lho! Emangnya kau kira
kenapa si John Berger ujug-ujug nulis di Art News and Review? Perihal ini
kapan-kapan kita bahas). Saya heran kenapa pemuda
itu kelihatan kikuk. Siapa sih dia yang bekalnya sekaleng cat dan kuas
(pelukis?), sampai bisa menggulingkan rezim Sukarno segala? Terus, kenapa gak
segahar seperti di lukisan ”Sekko”: berpakaian seadanya, tapi berdaulat dan
jatmika? Pada ”Sekko” terasa sekali—meminjam istilah Pak Djon sendiri: ”djiwa
kaisar sang pemuda”. Sementara di ”Angkatan 66”, gestur si pemuda termangu
seperti habis diperalat, pasrah kayak maling ketangkap basah. Apakah kesan
gak berdaya itu yang mau ditonjolkan? Apakah Pak Djon sedang mengirim pesan
ke masa depan bahwa ada yang gak beres dalam proses kelahiran Angkatan ’66? Sekitar dua tahun setelah
Pak Djon melukis ”Angkatan 66”, ”Mentari Setelah September 1965” tampil di
Balai Budaya Jakarta. Judul lukisan abstrak Pak Pirous ini cukup gamblang.
Bung tentunya ingat tulisan sejarawan Astri Wright perihal depolitisasi seni
oleh rezim Orde Baru yang menyulitkan seniman mengekspresikan tragedi yang
menimpa bangsa ini. Nah, lukisan ”Mentari 1965” adalah pengecualian. Kata Ibu
Astri—konon dia melihatnya hanya dari foto hitam-putih, lukisan ini adalah
reaksi atas iklim keheningan dan ketakutan terkait ingatan menyakitkan
tentang pembantaian. ”Mentari 1965” adalah lukisan yang mempersoalkan situasi
di masa itu. Tapi pandangan antropolog
Kenneth M George cenderung beda. Menurutnya, tafsir Ibu Astri kehilangan
beberapa pertimbangan politik dan historis mendasar sehingga mengingkari
konteks lukisan. Pak Ken justru bersandar pada konsep Pak Pirous sendiri
bahwa ”Mentari 1965” sejatinya ditujukan untuk mensyukuri kemerdekaan
individu; menyambut era keterbukaan seni. Bung, ta’ sudahi dulu,
nanti diteruskan lagi. Barangkali jij punya takjub lain setelah baca Ajoeb? Salam dari Leiden. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar