Sampah
Sungai-sungai Dunia Jean Couteau ; Penulis kolom “UDAR
RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 16 Mei 2021
Tanggal 13 Mei. Sejak
pagi, membuka handphone, saya menyaksikan bagaimana warga negeri ini berupaya
merayakan ”keindonesiaannya” dengan mempertemukan ucapan ”Mohon maaf lahir
dan batin” dengan ucapan ”Tuhan memberkati”. Mumpung terdapat pertemuan
kalender antara perayaan Idul Fitri dan perayaan Kenaikan Isa Almasih. Apakah kita akan dapat
mempertahankan toleransi antarkelompok dengan sekadar tradisi bersilaturahmi,
yaitu dengan ”berseru-seru” bahwa Pancasila tidak membedakan agama-agama
secara hukum, atau dengan merujuk pada ungkapan bahwa ”kita memang berjiwa
toleran sebagai bangsa”. Kini perombakan sosial mahabesar; adapun
redistribusi kekayaan nasional dan internasional sangat timpang. Karena itu,
agama dengan mudah dijadikan senjata politik, bahkan tanpa sepenuhnya
disadari oleh para rahib, ulama, rabi, sadu, pendeta, dan lain-lain. Memikirkan semua itu, saya
kadang-kadang tidak enak hati membaca surat kabar. Saya tidak enak, misalnya,
ketika membaca berita di Le Monde yang menggambarkan betapa terpuruknya HAM
di negeri asal saya, negeri yang pertama menelurkan HAM itu: seorang Muslim
ditangkap di dekat katedral kota Lyon karena dianggap ”bersikap aneh” ketika
mengujar kata ”Allah” di tengah kerumunan gereja. Bukankah gereja adalah
tempat suci yang semestinya terbuka pada semua umat manusia? Di Perancis itu, seperti
juga di banyak tempat, bahkan di negeri tercinta ini, mau tidak mau terjadi
kristalisasi agama: orang merapatkan barisan di seputar identitas asal, abai
pada akal dan kemanusiaan yang sebelumnya mereka junjung tinggi. Penyakit agama kini
menyeluruh. Paranoia mengambil dimensi global. Israel sebenarnya terlahir
dari tafsir kembali Alkitab yang dilakukan orang Yahudi setelah diizinkan
keluar dari gettho-gettho-nya oleh Napoleon. Mereka lalu meninggalkan tradisi
mistis mereka ketika hanya berupaya menggapai Jerusalem spiritual dan
merangkul sebagai gantinya Jerusalem nyata, tanah Israel politik yang konon
dijanjikan itu. Lalu digerogotilah oleh mereka setiap jengkal, satu per satu,
dari tanah yang disebut suci itu. Bahkan akhir-akhir ini
tafsir kolonial itu tidak cukup. Muncul tafsir baru: melihat bahwa masih ada
Masjid Al-Aqsa di Jerusalem yang diperuntukkan bagi orang Islam, kaum Yahudi
ekstrem kanan merujuk pada cerita Samson sebagai patokan represi politik.
Seperti Samson yang konon telah merobohkan kuil atas orang Filistin demi
menghancurkan mereka 2.500 tahun yang lalu, mereka pun ingin membinasakan
orang Palestina masa kini. Meskipun mereka pun mati untuk itu. Gila, kan? Memang pemelintiran kitab
agama bukanlah hal baru. Perang Salib dilakukan atas nama kebenaran. Para
pejuang Perang Salib lalu itu diperangi oleh pejuang Islam atas nama
kebenaran pula. Lalu orang Yahudi dan Islam sama-sama diusir dari Iberia oleh
Raja Katolik Spanyol atas nama kebenaran lain. Amerika dianggap oleh
pendatang kolonial pertama sebagai tanah yang dijanjikan Alkitab. Lalu,
dibantainya orang Indian atas nama itu. Apakah agama-agama
non-Semitik lebih halus sikap politiknya? Tidak. Setelah dibungkam lama, kini
muncul radikalisme Hindutwa di India. Adapun agama Buddha, apakah
perlakuannya terhadap orang Islam di Myanmar adalah lebih baik? Konon mirip
genosida, kata beberapa ahli PBB. Begitulah pembaca yang
budiman. Saya kelihatan marah, kan? Karena itu, skeptis tentang masa depan
kebersamaan bangsa dan dunia. Namun, justru karena skeptis, harus dapat saya
buktikan keliru, yaitu perdamaian mesti diciptakan. Namun, untuk itu tidak
cukup berjuang dengan berkata-kata saja, seperti diungkap orang bijak Bali
dan Jawa yang lama: ”Semua agama adalah sama, semua seperti sungai-sungai,
yang asalnya dari gunung, dan akhirnya semua bermuara di laut. Hanya jalurnya
yang berbeda. ”Ya! Ungkapan bijak itu
tidak lagi cukup. Harus menyadari pula bahwa di sungai-sungai masa kini
terdapat banyak plastik dan sampah-sampah. Oleh karena itu, bukankah sudah saatnya
para rahib, ulama, rabi, dan pendeta melakukan pembersihan sungainya
masing-masing. Hingga akhirnya air mengalir sejernih-jernihnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar