Benang
Kusut Konflik Israel Vs Palestina Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior |
KOMPAS, 17 Mei 2021
Mengikuti konflik
bersenjata Israel-Palestina yang pecah beberapa hari terakhir ibarat menonton
film perang yang diputar ulang. Berulang kali keduanya terlibat konflik
dengan pola yang sama, pun pula dengan korban jiwa banyak. Bermula dari kebijakan
diskriminatif, kolonialistik, dan represif Israel di Jerusalem dan sekitarnya
yang dilawan oleh orang-orang Palestina, dijawab tindakan lebih represif oleh
polisi Israel, lalu dibalas tembakan rudal oleh kelompok Hamas di Jalur Gaza,
dan dijawab lagi dengan tindakan militer tentara Israel. Begitu yang tiap
kali terjadi. Selalu berulang. Konflik kali ini disebut
yang terburuk sejak 2014. Pada 27 Desember 2008, pecah konflik antara
keduanya setelah ambruknya gencatan senjata yang disepakati pada Juni 2008.
Dengan operasi militer Operation Cast Lead, Israel melancarkan serangan darat
ke Jalur Gaza sebagai balasan (dalih Israel) serangan rudal Hamas
(Congresional Research Service, Israel and Hamas: Conflict in Gaza,
2008-2009). Walau komunitas
internasional menekan kedua pihak agar menghentikan perang—bahkan DK PBB
menerbitkan Resolusi 1860 pada 8 Januari 2009—konflik berlanjut hingga 18
Januari. Akhirnya, masing-masing secara sepihak menyatakan gencatan senjata.
Korban tewas di pihak Palestina 1.440 orang, Israel hanya kehilangan 13
orang! (Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, 2009). Pada 2012, pecah lagi
konflik yang dimulai 14 November, setelah Israel melancarkan serangkaian
serangan udara di Gaza. Menurut Israel, tindakan itu dilakukan untuk menjawab
serangan roket Hamas. Akhirnya, 21 November 2012, mereka sepakat gencatan
senjata. Dua tahun kemudian, 2014,
muncul ketegangan baru yang disusul konflik bersenjata yang di akhir perang
tercatat 2.100 orang Palestina tewas dan penghancuran wilayah Gaza. Perang
dipicu oleh hilangnya tiga remaja Israel di Tepi Barat pada 12 Juni 2014. PM
Benjamin Netanyahu menuduh Hamas penculiknya. Lalu, pasukan keamanan Israel
melancarkan serangan besar-besaran di Tepi Barat untuk mencari anak laki-laki
yang hilang dan untuk menindak anggota Hamas dan kelompok militan lainnya. Tempat
suci Pola di atas berulang lagi
kali ini. Nyala api konflik sebenarnya sudah mulai terlihat sejak pertengahan
April lalu. Saat itu, terjadi bentrokan di jalan-jalan kota Jerusalem—kota
yang diklaim kedua belah pihak sebagai ibu kota negara mereka—antara
orang-orang Palestina dan pihak keamanan Israel. Ketika bulan Ramadhan
mulai, otoritas Israel memblokir Gerbang Damaskus, akses ke Temple Mount
(orang Yahudi) atau Haram esh-Sharif (Muslim), Kota Lama Jerusalem. Hanya
diizinkan 10.000 jemaah masuk ke sana. Tempat itu diyakini berada di bagian
timur Gunung Moria, tempat di mana Abraham (Yahudi, Kristen) atau Ibrahim
(Islam) mengorbankan anaknya, Iskak (Yahudi, Kristen) atau Ismail (Islam). Di tempat seluas 144.000
itu berdiri Jami’ Al-Aqsha (bangunan berkubah biru) dan Qubbat As-Sakhrah
atau Dome of the Rock atau Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan
berbagai situs lainnya. Orang sering pula menyebut Haram esh-Sharif sebagai
Kompleks Masjid Al Aqsa. Di Qubbat As-Sakhrah dulu
terjadi peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Mi'raj adalah perjalanan Nabi
dari bumi menuju Sidratul Muntaha, langit ketujuh, yang merupakan tempat
tertinggi. Karena itu, Jerusalem jadi kota tersuci ketiga setelah Mekkah dan
Madinah. Jerusalem pernah jadi kiblat umat Islam pada periode awal sebelum
dipindah ke Mekkah. Sementara orang-orang
Yahudi meyakini di kompleks itu pula dahulu dibangun Kenizah Allah Pertama
(1000-576 SM) yang dihancurkan oleh Babilonia dan Kedua (586 SM-70 M) dan
dihancurkan oleh Romawi. Mereka berkeyakinan bahwa nantinya di akhir zaman
Yahwe Tuhan Allah mereka akan hadir kembali dalam kepenuhan-Nya. Selain berkaitan dengan
Kompleks Masjid Al Aqsa, api konflik juga muncul setelah terjadi pawai ribuan
ultranasionalis Israel pada 6 Mei 2021. Pawai itu untuk merayakan ”Hari
Jerusalem”, yang menandai direbutnya Jerusalem Timur dari tangan Jordania
pada Perang Enam Hari (1967). Saat itu, terjadi insiden yang menyebabkan
eskalasi yang melibatkan pasukan keamanan Israel. Mereka menembakkan peluru
karet, gas air mata, dan granat setrum kepada jemaah yang berkumpul di Masjid
Al Aqsa. Paling
sensitif Tempat itu digambarkan
sebagai ”situs paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina”. Tempat itu
kerap kali dijadikan panggung aksi politik. Misalnya, Jenderal Ariel Sharon
(yang kemudian jadi perdana menteri) pada 28 September 2000, bersama sejumlah
pejabat dikawal ratusan polisi antihuru-hara dan tentara bersenjata lengkap
memasuki kompleks itu dan mendudukinya. Tindakan itu dianggap penodaan tempat
suci. Sharon memprovokasi orang-orang
Palestina dengan mengatakan, ”Temple Mount di tangan kami.” Ia mengulang
pernyataan yang pada 1967 disiarkan Israel setelah merebut Jerusalem Timur
dari Jordania. Tindakan Sharon membakar kemarahan orang-orang Palestina yang
baru saja memperingati pembantaian Sabra dan Shatila (1982), Lebanon. Sharon
dipersalahkan dan dianggap bertanggung jawab karena tidak dapat menghentikan
pertumpahan darah itu setelah invasi Israel ke Lebanon. Kemarahan orang-orang
Palestina itu melahirkan Intifada Kedua (Intifada Pertama, Desember
1987-September 1993), yang juga disebut Intifada Al Aqsa. Namun, menurut
Komite Mitchell—komite yang dipimpin mantan senator AS, George Mitchell, yang
bertugas mencari fakta penyebab pecahnya Intifada Kedua—penyebab Intifada
Kedua begitu kompleks. Salah satu faktornya
adalah tindakan Sharon. Penyebab lainnya adalah terus berlanjutnya pendudukan
Israel atas wilayah Palestina. Orang-orang Palestina berpikir, setelah
kesepakatan Oslo 1993, kehidupan akan menjadi lebih baik, kebebasan semakin
besar, serta pengakhiran kontrol dan pendudukan oleh Israel. Dan, pada
akhirnya, tahun 1998, Negara Palestina Merdeka berdiri. Namun, kenyataanya
tidaklah demikian. Pendudukan Israel terus berlanjut, bahkan semakin meluas.
Perundingan Camp David 2000 pun tidak membuahkan hasil. Intifada Kedua—mulai
September 2000 hingga akhir 2005—menurut Palestinian Center for Human Rights
menewaskan sedikitnya 4.973 orang Palestina dan sekitar 1.400 orang Israel.
Meski Intifada Kedua sudah berakhir, kondisi orang-orang Palestina tidak
membaik, justru sebaliknya karena pendudukan di Tepi Barat terus dilakukan
dan diperluas wilayahnya. Otoritas Palestina tidak
berdaya. Ini yang mendorong rakyat Palestina menjatuhkan pilihannya kepada
Hamas dalam Pemilu Legislatif 2000. Hamas kemudian pada 2007 menguasai Jalur
Gaza. Dari sana mereka melakukan perlawanan terhadap Israel, seperti
sekarang. Semakin
kusut Jelaslah kiranya bahwa Al
Aqsa yang memiliki arti penting dalam agama dan politik adalah salah satu
penyumbang kekusutan konflik Israel versus Palestina. Ada,
sekurang-kurangnya, lima sumber kekusutan konflik itu, yakni masalah
perbatasan, pengungsi, keamanan, air, dan status Jerusalem. Hal lain yang juga
menambah kekusutan proses perdamaian adalah ketidakkompakan antara Fatah dan
Hamas. Meski demikian, Februari lalu, difasilitasi Mesir, para pemimpin Fatah
dan Hamas bersepakat menyelesaikan perpecahan lama di antara mereka. Mereka
berencana mengadakan pemilu pada tahun ini. Pada akhirnya, harus
diakui, bahwa upaya menyelesaikan konflik melintas abad ini masih belum
jelas. Yang pasti, ketidakadilan, ketidakamanan, dan kesengsaraan yang
disandang orang-orang Palestina yang tinggal di wilayah antara Sungai Yordan
dan Laut Tengah sudah demikian dalam. Semua itu menyatu dalam kehidupan
keseharian mereka. Sementara itu, Israel
semakin memperdalam cengkeraman kuku kekuasaan dan penguasaannya atas wilayah
Tepi Barat; dan juga kehidupan orang-orang Palestina. Apabila konflik
sekarang ini berlanjut, dikhawatirkan akan melahirkan Intifada Ketiga, yang
akan kian menambah penderitaan mereka, sementara yang namanya perdamaian
entah di mana. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar