Menelaah
Konglomerasi Digital Muhammad Syarif Hidayatullah ; Peneliti Wiratama Institute, Policy
Analyst Indonesia Services Dialogue |
KOMPAS, 25 Mei 2021
Merger antara Gojek dan Tokopedia
menjadi GoTo merupakan isu besar hingga menjadi pembicaraan internasional.
Merger dua unicorn yang diperkirakan akan memiliki valuasi Rp 560 triliun
ini, tentunya menciptakan berbagai keuntungan. Bagi kedua perusahaan,
merger akan memperkuat daya saing, memperbesar lingkup ekosistem, menambah
peluang monetisasi, hingga meningkatkan sinergitas layanan. Sedangkan, bagi
negara secara umum, merger ini dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan
dan memperdalam pasar keuangan Indonesia. Dibalik ingar-bingar
merger tersebut, terselip sebuah kekhawatiran, yaitu munculnya monopoli pasar
karena adanya satu perusahaan digital yang besar. Merger setidaknya dibagi
ke dalam tiga tipe. Pertama adalah merger horizontal, di mana dua perusahaan
yang bersaing dalam satu pasar, bergabung. Kedua, merger vertikal, yaitu
bergabungnya dua perusahaan dalam tahap produksi yang berbeda pada satu
rantai nilai, misalnya merger pabrik dan supplier bahan baku. Ketiga adalah
konglomerasi, di mana perusahaan yang bergabung bukanlah kompetitor ataupun
memiliki hubungan pada rantai produksi. Merger tipe ketiga ini yang terjadi
pada Gojek dan Tokopedia. Konglomerasi adalah
kondisi di mana perusahaan melakukan diversifikasi usaha ke berbagai sektor,
yang terkadang tidak ada kaitannya dengan lini usaha utamanya. Menurut OECD
(2020), hubungan produk pada konglomerasi terbagi tiga tipe, yaitu
komplementer, substitusi lemah, dan tidak berhubungan. Apabila menelaah pada
Gojek-Tokopedia, maka terdapat ketiga tipe hubungan produk. Gojek bergerak
pada ride-hailing, on-demand services, dan sistem pembayaran, sedangkan
Tokopedia bergerak pada bidang e-commerce. Layanan ride-hailing dan
pembayaran Gojek komplementer dengan e-commerce Tokopedia yang membutuhkan
sistem pembayaran dan logistik. Beberapa layanan dapat
dikatakan sebagai weak-substitute, di mana keduanya memiliki layanan
pembayaran tagihan. Sedangkan, sebagian besar dari layanan Gojek-Tokopedia
adalah unrelated, di mana mereka menawarkan layanan yang sangat berbeda. Konglomerasi
digital Kata “konglomerasi”
acapkali dikonotasikan secara negatif, karena seolah penguasaan pasar akan
mematikan iklim kompetisi. Hal tersebut tidak selamanya tepat. Pada dasarnya,
perusahaan digital memiliki kecenderungan menjadi konglomerasi, dengan merambah
pasar di luar bisnis intinya. Amazon yang memulai bisnis
sebagai penjual buku online, saat ini telah menjadi cloud provider terbesar
di dunia. Pada tahun 2015, sekitar
87 persen pendapatan Amazon masih berasal dari e-commerce, pada tahun 2020 hanya
sekitar 72 persen di antaranya. Hal serupa terjadi pada Alphabet, di mana
pangsa pendapatan dari iklan turun 10 persen dibandingkan 2015. Pertanyaan
mendasarnya, kenapa perusahaan digital memiliki kecenderungan menjadi
konglomerasi? Terdapat dua hal yang
mendorong kecenderungan konglomerasi perusahaan digital, yakni economics of
scope dan pemanfaatan data. Pertama, dalam ekonomi digital dikenal istilah
economics of scope dalam pengembangan produk. Artinya, karena adanya kesamaan
input produksi, perusahaan lebih untung memproduksi dua atau lebih produk di
satu perusahaan, dibanding terpisah. Pada perusahaan digital,
input produksi umumnya sama, seperti server, data, web, modal manusia,
pengetahuan hingga kreativitas dari perusahaan. Input-input tersebut pada
dasarnya dapat digunakan lagi (shareable input) untuk memproduksi berbagai
produk dan layanan. Kesamaan input ini menurunkan biaya perusahaan untuk
merambah pasar baru. Bayangkan Tokopedia yang
awalnya adalah marketplace, lalu berekspansi dengan membuka layanan
pembayaran tagihan. Untuk mengembangkan layanan ini, Tokopedia tidak perlu
memulai dari nol, karena dapat mengembangkan dari web, server, user
interface, maupun data yang relatif serupa. Kedua, pemanfaatan data.
Pengumpulan data konsumen juga mendorong terjadinya konglomerasi. Pengumpulan
data konsumen dapat digunakan perusahaan tidak hanya untuk melakukan berbagai
inovasi dan menciptakan produk dan layanan baru, tetapi juga untuk membuka
peluang ekspansi ke pasar yang baru. Prufer dan Schottmuller
(2017) memperkenalkan konsep “connected market”, di mana data user dari satu
pasar, dapat digunakan untuk mengembangkan produk di pasar lain. Bayangkan
sebuah toko daring yang memegang data pola konsumsi dari pengguna (user).
Jika toko daring ini ingin merambah pasar tekfin (financial technology), data
pola konsumsi user sangat mungkin dimanfaatkan untuk mengembangkan analisis
kelayakan kredit. Konglomerasi digital ini
juga dapat terjadi karena adanya permintaan dari masyarakat. Adanya
konglomerasi menciptakan sinergi dalam pelayanan, di mana bagi sejumlah
konsumen hal ini menguntungkan, karena dapat menurunkan biaya pencarian,
menurunkan biaya transaksi, hingga memudahkan proses pembayaran. Sinergi layanan tersebut
juga dapat menciptakan bundling, seperti terhubungnya berbagai produk Apple
dalam satu ekosistem. Preferensi konsumen yang cenderung menginginkan layanan
satu atap (one stop services) menjadi insentif bagi perusahaan digital untuk
menciptakan konglomerasi. Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana dampak konglomerasi ini terhadap perekonomian. Umumnya,
dampak dari konglomerasi dilihat dari dua hal, yaitu terhadap efisiensi dan
persaingan pasar, serta dampak terhadap inovasi. Pertama, pada satu sisi
konglomerasi dapat mendorong efisiensi (turunnya biaya transaksi) dalam
produksi layanan. Selain itu, bagi perusahaan konglomerasi, proses bundling
yang terjadi bisa mendorong nilai produk/layanan, karena dianggap memiliki
kualitas lebih tinggi oleh konsumen dibanding produk tak di-bundling. Di sisi lain, ketika
perusahaan konglomerasi menguasai dua produk/layanan yang saling komplementer
sempurna, maka hal tersebut akan menjadi hambatan bagi perusahaan baru untuk
bersaing di pasar. Kedua, insentif untuk
melakukan inovasi akan terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan
yang melakukan konglomerasi akan berinovasi untuk menciptakan bundling
layanan. Tahap kedua, perusahaan konglomerasi dan pesaing akan berinovasi
dalam R&D yang dapat menurunkan biaya. Tahap ketiga, mereka akan
bersaing dalam harga. Terdapat insentif yang besar untuk berinovasi, baik
bagi perusahaan konglomerasi maupun pesaing, namun tidak bagi perusahaan yang
baru akan masuk ke pasar. Perusahaan baru akan kesulitan bersaing dalam
inovasi, karena harus bersaing dalam berbagai segmen layanan sekaligus. Matinya
kompetisi Salah satu isu yang
menyeruak adalah konsentrasi pasar pada segelintir raksasa digital akan
mematikan persaingan usaha. Hal ini tidak selamanya tepat, karena adanya
perbedaan antara kompetisi pada pasar digital dan konvensional. Mark Zuckerberg pernah
mengatakan bahwa “Apple adalah salah satu kompetitor terbesar Facebook” (The
Economist, 2021). Apple mendatangkan 80 persen pendapatan dari berjualan
gadget, sedangkan 98 persen pendapatan Facebook berasal dari iklan. Kedua
perusahaan berjalan pada jalur berbeda, tetapi mereka tetap berkompetisi satu
sama lain. Berbeda dengan bisnis
konvensional, perusahaan digital menghadapi kompetisi pada berbagai sisi.
“Raksasa” digital akan berkompetisi dengan “raksasa” lainnya walaupun berbeda
lini usaha. Hal ini terjadi karena adanya economics of scope yang sangat
besar, jaringan konsumen, dan pemanfaatan data yang membuat biaya untuk
memasuki pasar baru menjadi relatif rendah. Dengan adanya persaingan
itu, harga, kualitas layanan dan inovasi diharapkan dapat terus terjaga.
Selain dengan sesama raksasa teknologi, perusahaan digital tentu juga
berkompetisi dengan perusahaan konvensional. Kemudahaan akses dan layanan
menjadi keunggulan kompetitif perusahaan digital, akan tetapi apabila tidak
terus berinovasi, sangat mungkin konsumen kembali menggunakan layanan
non-digital. Tentu, terdapat sejumlah
hal yang perlu jadi perhatian oleh pengambil kebijakan, agar konglomerasi
yang terjadi tidak mengganggu iklim kompetisi yang ada. Sejumlah
karakteristik dasar ekonomi digital, seperti tingginya biaya tetap, rendahnya
biaya marjinal, adanya network effect, sistem feedback, hingga economics of
scope berpotensi menghadirkan sejumlah isu pada iklim kompetisi. Menurut OECD (2020),
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, potensi terjadinya “tying”
dalam produk/layanan. Tying adalah kondisi di mana perusahaan memaksa
konsumen untuk mengonsumsi dua produk secara bersamaan. Misalnya, apabila untuk
proses pengiriman barang di e-commerce diwajibkan memakai satu pilihan
ekspedisi/pengiriman barang. Tying dapat mengurangi pilihan konsumen atas
layanan/produk, menghambat masuknya pemain baru ke pasar (barrier to entry),
hingga meningkatkan harga secara umum. Kedua, terjadinya
envelopment, di mana perusahaan konglomerasi yang dominan di satu pasar, akan
menggunakan kekuatannya akan data dan jaringan untuk mendominasi di pasar
yang lain. Seperti dibahas
sebelumnya, kekuatan ekonomi digital berasal dari data, dan adanya pasar yang
terhubung/connected market (tipe user yang sama), maka data yang ada di pasar
A, dapat dipakai untuk menganalisis pasar B. Hal ini yang tidak dimiliki oleh
pesaing, yang akhirnya dapat terdepak dari pasar. Kebijakan persaingan pasar
yang ada perlu beradaptasi dengan perkembangan pasar digital yang semakin
berkembang. Strategi harga, model bisnis, hingga relasi user-platform terus
bertransformasi dan membuat aturan persaingan usaha menjadi tidak relevan. Terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan aturan kompetisi Indonesia yang ada saat ini kesulitan untuk
diterapkan pada ekosistem ekonomi digital seperti, platform menjalankan
berbagai peran dalam waktu yang bersamaan, integrasi vertikal dan horizontal,
adanya layanan gratis, dan penggunaan data. Untuk menciptakan iklim
kompetisi yang sehat di era digital, regulator perlu mendorong terciptanya
transparansi dalam proses akuisisi dan merger, terutama dengan
mempertimbangkan nilai dari data dana pemanfaatan data pribadi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar