Membangun
Industri Pertahanan Menuju Kemandirian Sumardjono ; Laksamana TNI (Purn), Ketua Tim
Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan 2013-2020 |
KOMPAS, 27 Mei 2021
Peristiwa tsunami di Aceh
tahun 2004 yang didahului oleh tsunami di Papua dan disusul dengan tsunami di
beberapa wilayah NKRI lainnya—Pangandaran, Nias, Padang, Sumbawa dan
lain-lain—menyadarkan pemerintah betapa rapuh kesiapan pertahanan kita. Hal ini terbukti, untuk
menanggulangi bahaya akibat tsunami saja, alutsista TNI dan alat peralatan
khusus dari Polri banyak yang tidak siap. Justru bantuan dari negara-negara
tetangga dan negara sahabat yang jauh dari letak kejadian bisa hadir lebih
dahulu. Padahal, bantuan penanggulangan bencana tsunami ini digolongkan dalam
tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI. Pemerintah menyadari
lemahnya kesiapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam mendukung
kesiapan sistem pertahanan negara. Untuk itulah pemerintah berkehendak untuk
membangkitkan industri pertahanan agar dapat tumbuh berkembang dengan baik,
bisa memproduksi, memelihara, dan memperbaiki alutsista secara mandiri
sehingga semua kebutuhan alutsista bisa dipasok dari dalam negeri. Selain itu, usia alutsista
dan alat material khusus (almatsus) milik TNI dan Polri sudah perlu
peremajaan dengan alutsista yang lebih modern, karena usia rata-rata tua,
keluaran atau produk tahun 1970 hingga 1980-an dengan teknologi pada
zamannya. Di sisi lain, perkembangan teknologi saat ini relatif lebih cepat,
maju, terkini, sehingga alutsista pada produk-produk pada masa itu sudah
banyak yang ditinggalkan karena sudah ketinggalan teknologinya apabila
dihadapkan dengan ancaman yang berkembang saat ini. Membangun
postur yang kuat Pada zaman Orde Baru,
pertumbuhan industri strategis berkembang dan berjalan dengan baik, tetapi
tidak ditopang dengan peraturan perundang-undangan yang kuat dan mengikat,
hanya sebatas peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden saja sehingga
mudah diabaikan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk
melemahkan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itulah, pemerintah
bersama DPR membuat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan yang lahir pada 5 Oktober 2012 sebagai dasar untuk menyusun postur
pertahanan negara yang kuat, efektif, efisien, modern, dan inovatif melalui
pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri. Mekanisme belanja untuk
pemenuhan kebutuhan alutsista TNI dan almatsus Polri diatur dengan melibatkan
industri pertahanan untuk ikut dalam penguasaan teknologinya sehingga dapat
menjamin kesiapan yang tinggi alutsista tersebut selama daur hidup yang
ditentukan. UU ini merupakan
implementasi dari amanat yang terkandung dalam butir- butir UU Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang
intinya, penyelenggaraan pertahanan negara dilakukan dengan menggunakan
kekuatan sendiri. Adapun UU Nomor 3 Tahun
2002 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 itu sendiri merupakan implementasi dari
kandungan yang tersirat dari amanat Pembukaan UUD 1945. Hal ini mengandung
pengertian bahwa nuansa kemandirian merupakan kunci dari kekuatan sistem
pertahanan yang ingin dibangun. Pentingnya
industri pertahanan Sistem pertahanan negara
terdiri atas lima komponen penting, yaitu doktrin pertahanan, strategi,
postur, struktur, dan teknologi pertahanan. Peran teknologi ini dapat
memengaruhi atau mengubah bentuk postur, struktur, dan strategi pertahanan.
Adapun doktrin pertahanan bersifat tetap. Keberadaan teknologi ada pada
industri pertahanan. Di sinilah pentingnya industri pertahanan dalam bangunan
sistem pertahanan suatu negara. Kemandirian dalam mengisi
dan mengelola postur dan struktur pertahanan secara mandiri merupakan kunci
dalam membangun sistem pertahanan yang mandiri yang mempunyai daya gentar
(deterrence) tinggi. Manakala postur pertahanan
diisi dengan alutsista dari luar negeri, secanggih apa pun, ada keterbatasan
dalam operasional ataupun dalam pemeliharaan dan perbaikannya, masih akan
banyak ketergantungan pada negara produsen alutsista itu, sehingga kekuatan
dari sistem pertahanan yang dibangun adalah semu dan daya gentar yang
ditimbulkannya menjadi rendah. UU Nomor 16 Tahun 2012
inilah yang mengatur bagaimana membangun industri pertahanan untuk menuju
kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan alutsista bagi TNI dan almatsus bagi
Polri, termasuk lembaga yang diizinkan menggunakan alat/peralatan tersebut
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Untuk alat peralatan/alutsista
yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri, wajib hukumnya
kebutuhan-kebutuhan TNI/Polri dipenuhi dari dalam negeri. Apabila industri
pertahanan belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut, diizinkan untuk memenuhi
dari luar negeri. Namun, harus dilakukan transfer teknologi, melalui kegiatan
offset dalam bentuk joint development, joint production, ataupun penggunaan
kandungan lokal dan imbal dagang, terutama dengan hasil produk industri
pertahanan dalam negeri. Setiap pengadaan alutsista
dari luar negeri harus ada teknologi yang masuk ke industri pertahanan dalam
negeri, dan atau lembaga terkait lain, sebesar 85 persen dari nilai kontrak
secara keseluruhan. Offset inilah yang akan digunakan untuk membangun
industri pertahanan dalam penguasaan teknologi hingga industri pertahanan
bisa mandiri dalam pemenuhan kebutuhan TNI/Polri hingga keperluan untuk
ekspor alutsista dan almatsus. Kegiatan offset dalam
setiap belanja alutsista sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh
negara-negara di dunia sehingga bisa mengubah diri dari negara yang berstatus
pengimpor senjata menjadi negara pengekspor. Contohnya Turki, Brasil, Korea
Selatan, dan India. Indonesia termasuk
terlambat dalam hal pemberdayaan offset untuk penguasaan teknologi karena
belum didukung peraturan yang mengikat dalam bentuk UU, yang harus dipatuhi
pihak mana pun. Akibatnya, kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan
teknologi. Semua bergantung pada
komitmen para pemimpin negeri dan perlu adanya konsistensi dalam
penyelenggaraannya mengingat pembangunan alutsista (seperti kapal perang,
pesawat tempur/terbang, dan tank) perlu waktu panjang, bisa melewati jangka
waktu (masa) pemerintahan yang berkuasa. Perlu ada perencanaan
jangka panjang yang harus diikuti dan dilakukan industri pertahanan. Perlu
sinergi antara pengguna alutsista (TNI, Polri), pemerintah sebagai penentu
kebijakan dan industri pertahanan selaku pembuat produk. Posisi Indonesia sebagai
negara nonblok yang independen juga berpengaruh terhadap upaya perolehan
untuk mendapatkan teknologi militer. Di sisi lain, Indonesia perlu membentuk
badan yang bertanggung jawab atas keselamatan teknologi yang akan diberikan
oleh negara pengusung teknologi. Sudah saatnya Indonesia
berbenah diri, memperbarui isi postur pertahanan dengan teknologi terkini,
dan perlunya pelibatan industri pertahanan yang merupakan kunci dalam
membangun sistem pertahanan negara. Masa damai seperti saat inilah merupakan
saat yang tepat untuk membangun kekuatan militer lewat penguasaan teknologi,
melalui pelibatan industri pertahanan dalam negeri, menuju kemandirian sistem
pertahanan negara. Hal ini seperti sering
diungkap para ahli strategi, dengan ungkapan ”Si Vis Pacem Para Bellum”,
kalau ingin damai, bersiaplah untuk perang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar