Mengenang
Pak Pandir Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas
Minggu |
KOMPAS, 30 Mei 2021
Mungkin karena seringnya
saya meragukan sumbangan intelijensia buatan (artificial intelligence)
terhadap peningkatan kecerdasan manusia zaman ini, ada yang tanya saya: emang
dulu gak ada orang bodoh? Saya jawab: tentu saja ada. Mungkin tak kalah
banyak dibanding zaman ini. Bedanya, dulu kebodohan tidak diumbar ke publik
dan kurang memiliki implikasi publik. Sebelum ia bertanya lebih
lanjut, saya bilang kita perlu bersepakat terlebih dahulu apa yang kita
maksud dengan kebodohan. Saya mengutip Umberto Eco dan Jean-Claude Carriere.
Dalam buku This is Not the End of the Book, Jean-Philippe de Tonnac
mewawancarai keduanya, khusus mengenai kebodohan diberi subjudul ”In praise
of stupidity”. Eco memiliki sedikitnya
dua pengertian mengenai stupidity. Yang pertama idiot. Saya tidak akan
menerjemahkan kata ini. Sulit menemukan padanannya. Kalau nekat pilih kata
yang menurut saya tepat, khawatir mengusik cita rasa adiluhung para priyayi
penjaga bahasa. Dia memberikan pengertian
cara berpikir idiot, yang kalau saya analogikan kurang lebih begini: nenek
moyang kita membangun mahakarya Borobudur dan Prambanan, oleh karenanya
sekarang kita pasti mampu membikin pusat teknologi dunia di Muntilan. Atau
contoh lain lagi. Mereka mengkritik pemerintah. Mereka ”kadrun”.
Kesimpulannya: semua yang mengkritik pemerintah adalah ”kadrun”. Kita tahu ada yang tidak
beres dalam cara berpikir di atas, tapi tidak mudah untuk menyangkalnya.
Diperlukan kerelaan buang waktu demi usaha serius membongkar paradigma di
balik pemikiran tadi. Yang kedua adalah fool.
Untuk kata ini, saya ingin menerjemahkannya menjadi pandir. Semasa kecil kami
akrab dengan dongeng si pandir, dengan berbagai episode yang masih melekat di
ingatan, judulnya Pak Pandir. Bagi yang belum pernah
dengar, saya sajikan satu contoh. Suatu ketika seorang
penguasa menyelenggarakan sayembara, adu berani berenang menyeberangi sungai
yang banyak buayanya. Yang berhasil melintasi sungai silakan pilih hadiah,
dari uang sampai anak gadis si penguasa. Banyak pemuda ambil
bagian. Mereka nyemplung ke sungai mulai berenang. Tak ada yang selamat,
kecuali satu orang, membuat semua kaget. Orang itu Pak Pandir. ”Pandir, hadiah apa yang
engkau minta. Uang atau anak gadisku?” tanya penguasa. ”Pokoknya bawa dia
kemari,” kata Pak Pandir bersungut-sungut. ”Oh, anak gadisku?” ”Bukan. Orang yang tadi
mendorong saya,” jawab Pak Pandir. Mungkin ada yang ketawa.
Kebodohan zaman itu banyak yang terdengar jenaka. Beda dengan zaman ini.
Kebodohan bikin jengkel. Alih-alih menghibur, tapi malah membikin geram,
kadang menusuk rasa keadilan. Mana lucunya, mengucapkan
bela sungkawa sambil mengiklankan dagangan. Orang yang babak belur mengejar
koruptor, diuji wawasan kebangsaannya. Menyelenggarakan pesta ulang tahun di
masa pandemi, katanya spontan. Seolah artis yang manggung di acara tersebut
tengah ngamen di pagar tetangga, lalu mereka panggil untuk mengisi acara. Kebodohan zaman ini
terkesan diamplifikasi agar rakyat terbiasa dengan kebodohan, sudi
menerimanya, lalu pada gilirannya benar-benar menjadi bodoh dan mudah
dikuasai. Sumpah ini menyalahi amanat berbangsa. Pada zaman ini pula
kebodohan memiliki nilai jual. Bagi yang hendak menekuninya, modalnya
sepertinya cukup satu, yakni ketidak-pedulian. Mengunggah kebodohan
secara konsisten dalam berbagai platform, seseorang bisa mendapat banyak
pengekor. Pintu bisnis pun terbuka. Kliennya dari pengusaha sampai penguasa.
Mereka mendapat istilah terhormat: influencer. Kalau nasib baik, ketiban
jabatan. Dalam dunia digital,
posisi dan derajat seseorang ditentukan oleh jumlah like, repost, comment,
viral, dan sejenisnya. Nah, kalau ukurannya itu,
makin jelas orang-orang zaman dulu jauh lebih bodoh dibanding manusia ”zaman
now”. Pak Pandir tidak rela dirinya dipermainkan pihak lain, didorong
nyemplung ke sungai yang banyak buayanya seperti cerita di atas. Dia tidak pandai
mendagangkan kebodohan dan terlalu lugu untuk ikut bermufakat membela
kebodohan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar