Memulihkan
Ekonomi Melalui Digitalisasi Junanto Herdiawan ; Direktur Departemen
Komunikasi Bank Indonesia |
KOMPAS, 17 Mei 2021
Saat awal pandemi
Covid-19, usaha Uswatun Hasanah, seorang perajin batik di Bangkalan, Madura,
terpukul signifikan. Jangankan untuk membayar pekerjanya, untuk menghidupi
keluarganya saja ia harus berpikir keras. Segala cara disiasati, termasuk
melakukan diversifikasi produk masker batik.
Masalahnya kemudian adalah ke mana ia harus menjual produknya. Uswatun mulai berkenalan
dengan dunia digital dan menjual produk secara daring. Ia pun mulai
mempelajari cara pembayaran digital menggunakan Standar Kode Respons Cepat
Indonesia (QRIS) dan layanan perbankan digital. Hasilnya, empat bulan sejak
pandemi, omzet usaha justru naik dua kali lipat. Seluruh perajin batik yang
bekerja dengannya tetap dapat berproduksi dan tidak ada yang dirumahkan. Kisah Uswatun ini mungkin
hanya satu dari sebagian kecil pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
yang dapat menyiasati pandemi dengan memanfaatkan digitalisasi ekonomi.
Realitanya masih banyak pengusaha UMKM yang terpukul pandemi dan belum bisa
bangkit optimal. Oleh karena itu, upaya memperluas digitalisasi ke berbagai wilayah
Indonesia menjadi penting untuk membantu kehidupan masyarakat. Dengan telah
dilaksanakannya program vaksinasi di Indonesia dan tetap dipatuhinya disiplin
protokol Covid-19, ekonomi diharapkan dapat pulih secara bertahap. Ada
beberapa respons kebijakan yang telah ditempuh dan perlu terus diperluas oleh
pemerintah dan Bank Indonesia, seperti pembukaan sektor produktif dan aman,
mempercepat stimulus fiskal atau realisasi anggaran, mendorong penyaluran
kredit, terus memberikan stimulus di bidang moneter dan makroprudensial,
serta digitalisasi ekonomi dan keuangan. Mengapa digitalisasi dapat
menjadi jalan bagi pemulihan ekonomi? Kisah Uswatun menjadi salah satu
contoh. Di tengah berkurangnya mobilitas produk dan jasa, termasuk manusia,
transaksi digital justru dapat menjadi sarana pergerakan perdagangan. Data BI menunjukkan bahwa
transaksi e-dagang pada 2020 justru meningkat sebesar Rp 253 triliun
dibandingkan dengan Rp 205,5 triliun pada 2019. Angka ini diyakini akan naik
lagi sebesar 33,2 persen pada 2021 menjadi Rp 337 triliun. Sementara itu,
transaksi uang elektronik pada 2020 juga meningkat sebesar Rp 201 triliun
dibandingkan dengan Rp 145,2 triliun pada 2019. Angka ini juga diharapkan
meningkat 32,3 persen pada 2021 menjadi Rp 266 triliun. Bukan hanya e-dagang dan
uang elektronik, penggunaan layanan perbankan digital di Indonesia juga naik
signifikan menjadi Rp 27.000 triliun pada 2020 dibandingkan Rp 26.000 triliun
pada 2019. Ini juga diperkirakan meningkat 19,1 persen pada 2021 menjadi Rp
32.000 triliun. Kenaikan indikator
tersebut menunjukkan bahwa geliat ekonomi digital dapat menjadi penyangga
sekaligus pendukung pemulihan. Dengan digitalisasi, transaksi perdagangan
tidak lagi dibatasi oleh ruang absolut di mana pembeli dan penjual harus
bertemu secara fisik di satu tempat. Ekonomi digital dapat bekerja di tengah
pembatasan mobilitas dan jarak. Hal ini seperti apa yang
dikatakan oleh David Harvey, seorang ilmuwan geografi, dalam artikelnya
”Between Space and Time: Reflections on the Geographical Imagination (1990)”
bahwa modernitas memiliki kemampuan untuk mengatasi ruang-ruang absolut. Ia
menyebutnya dengan istilah kompresi ruang-waktu. Digitalisasi membuktikan
ramalan Harvey tersebut karena di masa pandemi batas ruang waktu semakin
diterabas melalui digitalisasi. Digitalisasi ekonomi
diharapkan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga bisa
diperluas hingga wilayah terdepan, tertinggal, dan terpencil. Langkah awal
menuju percepatan digitalisasi ekonomi adalah dengan mengakselerasi digitalisasi
di bidang sistem pembayaran. BI terus mengimplementasikan inisiatif-inisiatif
yang telah tertuang dalam cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Inisiasi
digitalisasi sistem pembayaran Dalam Festival Ekonomi dan
Keuangan Digital (FEKDI) yang dilaksanakan awal April 2021, Gubernur BI Perry
Warjiyo telah menegaskan tentang komitmen BI dalam melakukan percepatan
implementasi digitalisasi sistem pembayaran.
Pertama, melakukan perluasan QRIS yang nanti tak sekadar dapat
digunakan untuk transaksi pembayaran di lingkup UMKM, tetapi juga diperluas
ke berbagai dimensi ekonomi, seperti transportasi dan ritel. Bank Indonesia akan terus
mendorong implementasi penggunaan QRIS, baik di sisi permintaan maupun
penawaran dengan sasaran target 12 juta pedagang (merchants). QRIS juga
membantu pelaku UMKM karena, selain untuk mempermudah transaksi pembayaran,
pelaku UMKM juga dapat membuat pencatatan transaksi dan pembentukan profil
kredit mereka untuk memperoleh layanan perbankan. Selain itu, BI juga sedang
menguji coba QRIS yang dimunculkan di ponsel konsumen atau pengguna sehingga
pedagang juga dapat memindai. Saat ini kode QR hanya dimiliki pedagang dan
hanya konsumen yang dapat memindai. Langkah kedua yang menjadi
komitmen BI adalah upaya membangun kolaborasi antar-penyedia layanan untuk
mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan digital yang
berkelanjutan. Untuk itu, BI akan mendorong implementasi standar aplikasi
pemrograman antarmuka (application progamming interface/API) secara terbuka
untuk pembayaran bagi para pelaku industri. Standardisasi ini penting
karena akan meningkatkan efisiensi, mendorong interkoneksi,
interoperabilitas, dan kompatibilitas penyelenggara, serta memitigasi risiko
shadow banking. Implementasi API terbuka ini ditandai dengan langkah
perbankan memberi kesempatan bagi perusahaan tekfin mengintegrasikan sistem,
antara lain, transfer, informasi saldo, mutasi rekening, dan melihat lokasi
anjungan tunai mandiri. Hal ini tentu akan
memperluas potensi kerja sama antara bank dan perusahaan tekfin, mendorong
potensi inovasi produk dan layanan, menyediakan kanal baru sebagai akses
layanan finansial, serta dapat meningkatkan pendapatan dari aktivitas
digital. Dari sisi konsumen, API terbuka ini menyediakan alternatif sarana
pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal sesuai preferensi
konsumen terhadap layanan keuangan digital. Langkah ketiga adalah
mendorong elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah, seperti keuangan
pemerintah daerah, penyaluran bantuan sosial, dan transportasi.
Elektronifikasi ini diharapkan dapat diperluas tidak hanya sebatas pada
belanja daerah, tetapi juga untuk optimalisasi pendapatan. Hal ini bisa
dilakukan dengan menggunakan pembayaran digital pada sektor perpajakan,
retribusi pasar, rekreasi, izin mendirikan bangunan, dan lainnya.
Elektronifikasi pembayaran tersebut dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan
anggaran, termasuk mencegah kebocoran anggaran yang kerap terjadi. Keempat, BI juga akan
mengimplementasikan sistem pembayaran cepat BI Fast untuk pembayaran ritel.
BI Fast ini adalah infrastruktur sistem pembayaran ritel yang dapat
memfasilitasi pembayaran menggunakan berbagai instrumen dan kanal pembayaran
secara seketika (real time) dan 24/7 atau dapat dilakukan selama 24 jam dan 7
hari. BI Fast ini diharapkan dapat mempermudah perputaran dana bagi pelaku
industri ritel dan UMKM karena pembayaran menjadi lebih cepat dan efisien
sehingga mendukung aktivitas perekonomian. Dengan berbagai inisiatif
di bidang sistem pembayaran tersebut, termasuk implementasinya dalam Gerakan
Bangga Buatan Indonesia dan Bangga Wisata Indonesia, kita berharap
selanjutnya terwujud sebuah ekosistem digital yang memadai. Pandemi Covid-19
telah memukul perekonomian Indonesia. Namun, kondisi saat ini juga menjadi
sebuah momentum bagi kita untuk mencari kreativitas dalam memulihkan ekonomi
dan sumber baru pertumbuhan. Digitalisasi ekonomi adalah salah satunya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar