Sabtu, 29 Mei 2021

 

Uang Digital Bank Sentral

Ardhienus ; Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

KOMPAS, 28 Mei 2021

 

 

                                                           

Revolusi digital satu dekade terakhir telah mengubah drastis perilaku transaksi agen ekonomi ke digital. Tak terkecuali mata uang. Saat ini, uang digital yang lagi ramai diperbincangkan adalah uang kripto (cryptocurrency). Merujuk data situs coinmarketcap per 14 Mei 2021, jumlah uang kripto yang diperdagangkan 5.121 jenis dengan kapitalisasi pasar secara global 2,27 triliun dollar AS.

 

Kapitalisasi nilai uang kripto tiga terbesar adalah bitcoin 920,66 miliar dollar AS, ethereum 442,14 miliar dollar AS, dan binance coin 88,86 miliar dollar AS. Namun, uang kripto itu belum bisa digunakan sebagai alat pembayaran, terutama di Indonesia. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter melarang penggunaannya sebagai alat pembayaran.

 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, mata uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Tak hanya itu, nilai yang tak stabil membuat uang kripto tak bisa memenuhi syarat sebagai sebuah mata uang.

 

Meski dilarang, uang kripto dapat dianggap sebagai instrumen investasi yang diperdagangkan di bursa. Dalam hal ini, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah mengizinkan perdagangan mata uang digital di bursa berjangka. Menurut catatan Bappebti, hingga saat ini terdapat 229 uang kripto yang diakui di Indonesia dan 13 perusahaan yang terdaftar sebagai pedagang fisik aset kripto.

 

Jumlah investor uang kripto ternyata cukup besar, lebih dari 4 juta orang, menyaingi jumlah investor di pasar saham. Perkembangan transaksi perdagangan uang kripto juga meningkat pesat. Sebagai gambaran, sepanjang Januari-Maret 2021, nilai transaksi telah mencapai Rp 126 triliun atau meningkat 45 persen dari rata-rata Rp 36,5 triliun per bulan pada dua bulan pertama menjadi Rp 53 triliun pada bulan ketiga tahun ini.

 

Sebagai instrumen investasi, uang kripto memang menawarkan imbal hasil menggiurkan. Sebagai uang kripto yang paling terkenal, sepanjang 2020 harga bitcoin meningkat pesat sekitar 400 persen dari 7.193,60 dollar AS menjadi 29.001,72 dollar AS pada akhir Desember 2020. Bahkan, pertengahan April 2021 sempat mencapai level tertinggi 63.503,46 dollar AS.

 

Uang kripto dan stabilitas sistem keuangan

 

Kenaikan nilai aset kripto dipicu oleh kuatnya ekspektasi bahwa nilai aset ini akan terus tinggi. Hal ini lantas mendorong permintaan di tengah ketersediaan aset kripto yang masih relatif terbatas. Perilaku ambil risiko (risk taking behavior) yang diiringi perilaku latah (herding behavior) membuat nilai aset kripto kian menjulang.

 

Tingginya keuntungan yang bahkan lebih tinggi dari yang didapat di pasar saham ini telah menarik munculnya banyak investor, terutama investor ritel dan kaum muda. Apalagi investor institusional, seperti Elon Musk, CEO Tesla Inc, dan JP Morgan juga masuk di uang kripto ini. Meski memberikan imbal hasil tinggi, risikonya juga tinggi, sesuai prinsip dasar investasi, high risk high return.

 

Hal ini tak lepas dari tidak adanya underlying asset yang mendasari kenaikan nilai uang kripto sehingga tak dapat dihitung nilai wajarnya. Alhasil, keramaian di pasar kripto lebih ditentukan oleh permintaan dan penawaran serta cenderung spekulatif dan ponzi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.

 

Jika dilihat dari volatilitasnya, nilai harga kripto memang sangat fluktuatif dan dapat menurun dengan sangat tajam sehingga merugikan investor, terutama investor ritel. Kondisi ini pernah terjadi pada akhir 2017 tatkala harga bitcoin melesat menuju 20.000 dollar AS, tetapi terjun bebas hingga 3.236,76 dollar AS setahun kemudian. Tak berlebihan, banyak bank sentral dan investor kawakan dunia mewanti-wanti untuk berhati-hati jika berinvestasi di uang kripto.

 

Pada perspektif yang lebih luas, investasi di uang kripto bisa mengganggu kestabilan sistem keuangan. Pasalnya, ada kecenderungan harga uang kripto mengalami gelembung (bubble). Jika gelembung ini meletus, bisa memicu gejolak atau crash di pasar uang kripto. Apalagi jika investasi di uang kripto tersebut dibiayai oleh utang yang berlebihan.

 

Ini mungkin saja terjadi karena likuiditas melimpah seiring dengan quantitative easing yang banyak dilakukan bank sentral di seluruh dunia dan rendahnya suku bunga kebijakan. Suku bunga utang atau biaya modal yang lebih rendah daripada imbal hasil yang diperoleh dapat mendorong hasrat agen ekonomi mengambil utang untuk membiayai investasi di aset kripto tersebut.

 

Selain itu, munculnya instabilitas pada sistem keuangan Indonesia dapat pula dipicu oleh dampak rambatan (contagion effect) dari pasar keuangan global. Ada kepanikan di pasar keuangan global yang kemudian berimbas pada pasar keuangan domestik. Kejadian ini persis ketika terjadi gejolak di pasar keuangan global pada 2008/2009 yang kemudian menyebar ke seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

 

CBDC rupiah

 

Sejak kemunculan uang kripto pertama kali yang diterbitkan lembaga lain di luar bank sentral, bank sentral di seluruh dunia, termasuk BI, bersepakat menginisiasi penerbitan uang digital bank sentral yang kemudian dikenal dengan sebutan Central Bank Digital Currency (CBDC).

 

Perkembangan terkini menunjukkan, beberapa bank sentral global sedang dalam proses pengkajian, bahkan dalam tahap uji coba, seperti bank sentral Jepang. Bank sentral China sudah lebih maju dengan mengeluarkan digital yuan meski dalam jumlah terbatas.

 

BI pun tak ketinggalan dan sedang mengkaji serta melakukan asesmen guna melihat potensi CBDC dengan perekonomian Indonesia. Yang pasti, CBDC versi Indonesia itu tetap rupiah sesuai UU mata uang, hanya bentuknya berupa digital (rupiah digital). Jadi, CBDC tetap menjadi bagian dari kewajiban moneter BI serta menjadi simbol kedaulatan negara.

 

Sebagaimana diketahui, bank sentral memiliki kewajiban moneter berupa uang kartal berbentuk fisik, yakni kertas dan logam, serta rekening giro pihak ketiga. Dalam menyusun desain dan arsitektur CBDC, BI mempertimbangkan tiga hal. Pertama, mendukung kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran BI. Kedua, mempromosikan digital dan efisiensi. Ketiga, co-exist dengan uang kartal dan jasa sistem pembayaran yang inovatif dan fleksibel.

 

Adanya CBDC yang diterapkan di seluruh bank sentral memberikan kemudahan dalam transformasi digital dari sisi masyarakat, sedangkan dari sisi bank sentral pengelolaannya akan lebih mudah karena secara terdesentralisasi dan meminimalkan potensi gangguan pada kestabilan sistem keuangan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar