Uang
Digital Bank Sentral Ardhienus ; Asisten Direktur di Departemen
Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Revolusi digital satu
dekade terakhir telah mengubah drastis perilaku transaksi agen ekonomi ke
digital. Tak terkecuali mata uang. Saat ini, uang digital yang lagi ramai
diperbincangkan adalah uang kripto (cryptocurrency). Merujuk data situs
coinmarketcap per 14 Mei 2021, jumlah uang kripto yang diperdagangkan 5.121
jenis dengan kapitalisasi pasar secara global 2,27 triliun dollar AS. Kapitalisasi nilai uang
kripto tiga terbesar adalah bitcoin 920,66 miliar dollar AS, ethereum 442,14
miliar dollar AS, dan binance coin 88,86 miliar dollar AS. Namun, uang kripto
itu belum bisa digunakan sebagai alat pembayaran, terutama di Indonesia. Bank
Indonesia (BI) selaku otoritas moneter melarang penggunaannya sebagai alat
pembayaran. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, mata uang rupiah merupakan alat
pembayaran yang sah di Indonesia. Tak hanya itu, nilai yang tak stabil
membuat uang kripto tak bisa memenuhi syarat sebagai sebuah mata uang. Meski dilarang, uang
kripto dapat dianggap sebagai instrumen investasi yang diperdagangkan di
bursa. Dalam hal ini, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
(Bappebti) telah mengizinkan perdagangan mata uang digital di bursa
berjangka. Menurut catatan Bappebti, hingga saat ini terdapat 229 uang kripto
yang diakui di Indonesia dan 13 perusahaan yang terdaftar sebagai pedagang
fisik aset kripto. Jumlah investor uang
kripto ternyata cukup besar, lebih dari 4 juta orang, menyaingi jumlah
investor di pasar saham. Perkembangan transaksi perdagangan uang kripto juga
meningkat pesat. Sebagai gambaran, sepanjang Januari-Maret 2021, nilai
transaksi telah mencapai Rp 126 triliun atau meningkat 45 persen dari
rata-rata Rp 36,5 triliun per bulan pada dua bulan pertama menjadi Rp 53
triliun pada bulan ketiga tahun ini. Sebagai instrumen
investasi, uang kripto memang menawarkan imbal hasil menggiurkan. Sebagai
uang kripto yang paling terkenal, sepanjang 2020 harga bitcoin meningkat
pesat sekitar 400 persen dari 7.193,60 dollar AS menjadi 29.001,72 dollar AS
pada akhir Desember 2020. Bahkan, pertengahan April 2021 sempat mencapai
level tertinggi 63.503,46 dollar AS. Uang
kripto dan stabilitas sistem keuangan Kenaikan nilai aset kripto
dipicu oleh kuatnya ekspektasi bahwa nilai aset ini akan terus tinggi. Hal
ini lantas mendorong permintaan di tengah ketersediaan aset kripto yang masih
relatif terbatas. Perilaku ambil risiko (risk taking behavior) yang diiringi
perilaku latah (herding behavior) membuat nilai aset kripto kian menjulang. Tingginya keuntungan yang
bahkan lebih tinggi dari yang didapat di pasar saham ini telah menarik
munculnya banyak investor, terutama investor ritel dan kaum muda. Apalagi
investor institusional, seperti Elon Musk, CEO Tesla Inc, dan JP Morgan juga
masuk di uang kripto ini. Meski memberikan imbal hasil tinggi, risikonya juga
tinggi, sesuai prinsip dasar investasi, high risk high return. Hal ini tak lepas dari
tidak adanya underlying asset yang mendasari kenaikan nilai uang kripto
sehingga tak dapat dihitung nilai wajarnya. Alhasil, keramaian di pasar
kripto lebih ditentukan oleh permintaan dan penawaran serta cenderung
spekulatif dan ponzi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Jika dilihat dari
volatilitasnya, nilai harga kripto memang sangat fluktuatif dan dapat menurun
dengan sangat tajam sehingga merugikan investor, terutama investor ritel.
Kondisi ini pernah terjadi pada akhir 2017 tatkala harga bitcoin melesat
menuju 20.000 dollar AS, tetapi terjun bebas hingga 3.236,76 dollar AS
setahun kemudian. Tak berlebihan, banyak bank sentral dan investor kawakan
dunia mewanti-wanti untuk berhati-hati jika berinvestasi di uang kripto. Pada perspektif yang lebih
luas, investasi di uang kripto bisa mengganggu kestabilan sistem keuangan.
Pasalnya, ada kecenderungan harga uang kripto mengalami gelembung (bubble).
Jika gelembung ini meletus, bisa memicu gejolak atau crash di pasar uang
kripto. Apalagi jika investasi di uang kripto tersebut dibiayai oleh utang
yang berlebihan. Ini mungkin saja terjadi
karena likuiditas melimpah seiring dengan quantitative easing yang banyak
dilakukan bank sentral di seluruh dunia dan rendahnya suku bunga kebijakan.
Suku bunga utang atau biaya modal yang lebih rendah daripada imbal hasil yang
diperoleh dapat mendorong hasrat agen ekonomi mengambil utang untuk membiayai
investasi di aset kripto tersebut. Selain itu, munculnya
instabilitas pada sistem keuangan Indonesia dapat pula dipicu oleh dampak
rambatan (contagion effect) dari pasar keuangan global. Ada kepanikan di
pasar keuangan global yang kemudian berimbas pada pasar keuangan domestik.
Kejadian ini persis ketika terjadi gejolak di pasar keuangan global pada
2008/2009 yang kemudian menyebar ke seluruh belahan dunia, termasuk
Indonesia. CBDC
rupiah Sejak kemunculan uang
kripto pertama kali yang diterbitkan lembaga lain di luar bank sentral, bank
sentral di seluruh dunia, termasuk BI, bersepakat menginisiasi penerbitan
uang digital bank sentral yang kemudian dikenal dengan sebutan Central Bank
Digital Currency (CBDC). Perkembangan terkini
menunjukkan, beberapa bank sentral global sedang dalam proses pengkajian,
bahkan dalam tahap uji coba, seperti bank sentral Jepang. Bank sentral China
sudah lebih maju dengan mengeluarkan digital yuan meski dalam jumlah
terbatas. BI pun tak ketinggalan dan
sedang mengkaji serta melakukan asesmen guna melihat potensi CBDC dengan
perekonomian Indonesia. Yang pasti, CBDC versi Indonesia itu tetap rupiah
sesuai UU mata uang, hanya bentuknya berupa digital (rupiah digital). Jadi,
CBDC tetap menjadi bagian dari kewajiban moneter BI serta menjadi simbol
kedaulatan negara. Sebagaimana diketahui,
bank sentral memiliki kewajiban moneter berupa uang kartal berbentuk fisik,
yakni kertas dan logam, serta rekening giro pihak ketiga. Dalam menyusun
desain dan arsitektur CBDC, BI mempertimbangkan tiga hal. Pertama, mendukung
kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran BI.
Kedua, mempromosikan digital dan efisiensi. Ketiga, co-exist dengan uang
kartal dan jasa sistem pembayaran yang inovatif dan fleksibel. Adanya CBDC yang
diterapkan di seluruh bank sentral memberikan kemudahan dalam transformasi
digital dari sisi masyarakat, sedangkan dari sisi bank sentral pengelolaannya
akan lebih mudah karena secara terdesentralisasi dan meminimalkan potensi
gangguan pada kestabilan sistem keuangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar