Kebangsaan
dan Epistemi Intelektual Fachry Ali ; Salah satu pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia) |
KOMPAS, 20 Mei 2021
Di sela-sela seminar
"State and Transnationalization" di Penang, Malaysia, pertengahan
1980-an, saya bercakap-cakap dengan antropolog negara jiran itu, Sayyid Husin
Ali. “Saya,” ujarnya, “adalah
orang yang ditinggal oleh keduanya.” Yang dimaksud “keduanya” adalah
Indonesia dan Malaysia. Ketika saya bertanya alasannya, Sayyid yang menulis
disertasi tentang peranan bomoh (dukun) dalam masyarakat jiran itu di Oxford
University, Inggris, menjawab: “Karena saya membuat program penyatuan
Indonesia dan Malaysia.” Lalu saya dan tokoh yang ikut “tergetar” dalam
pergolakan etnik di Malaysia pada 1969 itu tertawa lepas. Sepintas lalu, dorongan
hati menyelenggarakan program yang kini terasa aneh dan menimbulkan tawa
spontan ini saya anggap hanya refleksi kedekatan psikologis antar masyarakat
Melayu. Namun, belakangan saya ketahui hasrat itu tegak atas dasar, seperti
akan kita lihat, kesadaran intelektual dan epistemik. Dalam telaah lanjutan,
saya menemukan konsep Indonesians as a sense pre-Malay, seperti dikembangkan
antropolog Perancis ET Hamy pada 1877. Melalui Justus Van der Kroef dalam
tulisannya The Term Indonesia; Its Origin and Usage (1951), Hamy menggunakan
kata “Indonesia” itu untuk mengidentifikasikan ras Polinesia di Indonesia
Timur dan beberapa etnik minoritas kepulauan Melayu, seperti Dayak di
Kalimantan dan Batak di Sumatera. Menurut Hamy, etnik-etnik ini lebih
memperlihatkan karakter Kaukasus daripada etnik Melayu lain yang lebih
berciri Mongoloid. Jadi, betapapun terasa
aneh dan menimbulkan tawa, melalui konsep Indonesians as a sense pre-Malay
Hamy, gagasan dan program Sayyid menyatukan Indonesia-Malaysia pada 1960-an
itu ada preseden intelektual dan akademiknya. Dalam perspektif preseden
intelektual dan akademik inilah saya memahami apa yang disebut dengan
“kebangkitan nasional” di Indonesia melalui “gerakan” dr Wahidin mendirikan
Budi Utomo pada 1908 hanya merupakan salah satu respons kecendekiaan dari
kerangka pergerakan “global” tadi. Alasannya, “gerakan” yang
dimulai pada 1907 ─melalui pertemuan dr Wahidin, R Soetomo dan R Soeradji itu
hanya mencapai puncaknya pada 20 Mei 1908, dengan berdirinya Budi Utomo (BU)
di Jakarta. Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan Drs Sudijo dalam Perhimpunan
Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), melalui kongres
pertamanya di Yogyakarta 3-5 Oktober 1908, kepemimpinan BU jatuh ke tangan
“orang-orang tergolong tua.” Mereka, tulis Sudijo,
“sebagian besar terdiri dari pejabat Regent dan Bupati. Sedangkan para
pelajar STOVIA yang telah berhasil mendirikan perkumpulan BU, tak ada yang
duduk di Pengurus Besar itu.” Jika kita mendefinisikan kebangkitan nasional
sebagai peristiwa besar yang melahirkan dampak kesadaran berkelanjutan,
semangat perubahan yang dilahirkan peristiwa 20 Mei 1908 itu tak cukup kuat
jadi landasan. Beberapa bulan kemudian kalangan muda “setengah revolusioner”
itu tercampak dari panggung BU di kongres Yogya. Maka, jika ingin tahu
mengapa proses kebangkitan nasional mampu melahirkan big bang (dentuman
besar) berkelanjutan, jawabannya harus dicari di tempat lain. Yakni lapisan-lapisan
sejarah pergulatan akademik-epistemik dan politik dalam menemukan konsep
Indonesia dan penggunaannya untuk tujuan identitas kolektif sebuah bangsa
pada tingkat global. Dasar
akademik-epistemik Di sini, kita bisa memulai
dengan penjelasan "sepintas lalu" Klaas Stutje tentang tindakan
Mohamad Hatta setelah, dengan Soekarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17
Agustus 1945. Yaitu, seperti tertera di buku Stutje, Campaigning in the
Europe for A Free Indonesia: Indonesian Nationalists and the Worldwide Anti
Colonial Movement 1917-1931 (2019), imbauan Hatta ke kawan-kawan lamanya “to
revive the spirit of unity of Brussels” (menghidupkan kembali semangat
kesatuan Brussel). Hatta, sebagai pemimpin
Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, bersama empat tokoh muda lain,
diundang menghadiri “Congress against Colonial Oppression and Imperialism” di
Brussel, 10-15 Februari 1927. Di Kongres Brussel ini, Hatta bukan saja
berkesempatan menguraikan sepak terjang penjajahan Belanda, tapi juga
memproklamasikan diri sebagai wakil bangsa Indonesia. Peristiwa ini punya
pengaruh signifikan dalam konteks epistemik global. Sebab, bukan saja
dihadiri 174 partisipan yang mewakili 137 organisasi dari 34 negara,
melainkan “ditongkrongi” pemenang hadiah Nobel Albert Einstein, Romain
Rolland dari Jerman, Jawaharlal Nehru dari Partai Kongres India, Liao
Huanxing dari Chinese Guomindang Party (GMD) dan Messali Hadj dari Ĕtoil
nord-africaine Aljazair. Tokoh-tokoh terakhir itu, menurut Stutje, “pentolan”
gerakan anti kolonial tingkat global. Tentu, itu bukanlah debut
global Hatta yang pertama. Agustus 1926, seperti ditulis Ketua Lembaga
Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus 1945, Drs Sudijo, Hatta
telah mewakili bangsa Indonesia di Bierville, sebuah kota kecil dekat Paris,
Perancis, dalam Congress Democratique Internationale Pour la Paix. Bernada
herisme, Drs Sudijo melukiskan peristiwa Bierville ini melalui tekanan bahwa
Hatta “dengan terang-terangan menggunakan nama Indonesia dalam pidatonya itu,
dan tidak lagi menyebut ‘Hindia Belanda’.” Dengan demikian,
pengertian Indonesia,” lanjut Sudijo, “tidak lagi dalam arti kata etnologi
dan antropologi, melainkan sudah mempunyai pengertian politik. Segenap
cita-cita tentang kemerdekaan nasional, dilambangkan dalam nama ‘Indonesia’
itu.” “Dengan demikian, PI lah yang pertama kali, memberi arti politik dan
ketatanegaraan, tentang nama Indonesia tersebut.” Kendatipun demikian,
Kongres Brussel punya arti lebih spesifik. Stutje melukiskan, pasca-kongres
ini Hatta dkk meluapkan kegembiraan. Mereka bukan saja berhasil membuat
tujuan perjuangannya didengar di atas panggung internasional, melainkan juga
memperoleh posisi dalam panitia kerja organisasi pergerakan internasional
itu. Di atas semua itu, tulis
Stutje, Hatta dan kawan-kawan layak gembira. Sebab, posisi PI yang hanya
beranggotakan 150 orang mahasiswa dan tak berpengalaman secara politik,
diposisikan sejajar dengan Partai Kongres India dan GMD yang beranggotakan
jutaan orang. Kehadiran ilmuwan dunia
Einstein di forum itu untuk jadi saksi kehadiran wakil bangsa Indonesia dalam
situasi yang sangat muskil itu, pastilah juga bermakna besar dalam konteks
epistemik global. Bukankah apa yang dimaksud “Indonesia’ oleh Hatta dkk itu
secara resmi belum ada? Dalam konteks inilah segera setelah memproklamasikan
kemerdekaan, untuk mengkonsolidasikan kekuatan epistemik itu, Hatta mengimbau
“kawan-kawan” lamanya melanjutkan “semangat persatuan Brussel”. Dan kata “Indonesia”, yang
digunakan Hatta dkk sebagai sebuah identitas politik alternatif, memang lahir
dari dinamika akademis abad ke-19. Dan karena itu, tentu hanya bisa dipahami
oleh segelintir kaum terdidik Indonesia pula. Ini berkaitan dengan George
Winsor Earl (1813-65), asal Inggris. “Pengamatan mendalam”-nya atas fakta
etnologi dan geografi wilayah Asia Tenggara dan Australia mendorong Earl
berkembang menjadi, seperti dinyatakan Russell Jones dalam George Windsor
Earl and ‘Indonesia’ (1975), a gifted scholar. Hasil pengamatan ini
dituangkan dalam serial karya ilmiah di Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia di bawah asuhan James Richardson Logan (1819-69). Dalam sebuah
nomor jurnal itu, Earl, pada Februari 1850, menulis artikel On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations. Pada
catatan kaki yang panjang, Earl menulis: “By adopting the Greek word for
‘islands’ as a terminal, for wich we have a precedent in term ‘Polynesia’,
the inhabitants of the ‘Indian archipelago’ or ‘Malayan archipelago’ would
become respectively Indu-nesians or Melayunesians.” Kata “Indu-nesia” atau
kemudian “Indonesia”, dengan demikian, telah lahir lebih dari 70 tahun
sebelum Hatta dkk mendeklarasikannya di depan publik global Eropa pada
1926-1927. Namun, hal penting dicatat adalah, pengawetan kata “Indonesia” itu
terjadi di kalangan akademisi abad ke-19 itu. Sebab, setelah Earl, di sebuah
buku yang terbit 1869, Logan melanjutkan penggunaan kata “Indonesia” itu.
Melalui karya Logan inilah, ET Hamy mengawetkan lebih lanjut kata “Indonesia”
dalam Les Alfourous de Gilolo yang terbit pada 1877. Dokter kapal-cum-etnolog
Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), bahkan menggunakan kata ini sebagai judul
karyanya yang terbit pada 1884: Indonesien ode die Inseln des Malayischen
Archipel. Seperti dinyatakan Russell Jones, Bastian, dalam catatan kaki,
menyebut kata “Indonesia” itu mengacu ke karya Logan yang terbit 15 tahun
sebelumnya. Di sini, kita dientakkan
oleh sebuah kesadaran berbeda. Bahwa bagaimanapun juga, kata “Indonesia”
lahir oleh sebuah proses akademik-epistemik. Karena itu, tidaklah
melebih-lebihkan jika kita menyatakan kelahiran kata “Indonesia” adalah
scientific-based conception (konsepsi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan). Dalam arti kata lain, baik
penciptaan maupun pengawetannya telah berlangsung di lingkaran kaum akademisi
yang mengabdikan hidup demi ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, hanya segelintir
kaum terpelajar yang mampu menghormati karya monumental ini. Dilihat dari
perspektif ini, kebangkitan nasional, dengan demikian, punya dasar konseptual
yang kokoh. Berdasar
keterpelajaran Dalam tulisannya di
Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, di bawah judul
Nusantara: History of a Concept (2016), sosiolog Jerman Hans-Dieter Evers
memperkenalkan frasa the power of words (kekuatan kata). “Kata-kata, konsep,
dan slogan,” tulisnya, “can be a powerful movers of history” (dapat jadi
penggerak sejarah berdaya kuat). Melalui frasa inilah konsep “Indonesia” yang
selama ini terawetkan di lingkaran kaum akademisi abad ke-19, di tangan kaum
terpelajar Indonesia di Eropa, tertransformasikan menjadi kekuatan perlawanan
dahsyat. Dalam arti kata lain,
“peluncuran” kata “Indonesia” dalam cakrawala politik global Eropa kala itu
telah bersifat eruditeness-based political expression (ungkapan politik
berdasarkan keterpelajaran). Di sini, kaum terpelajar itu telah menjadi kaum
epistemik yang keberanian dan sikap kalkulatif terhadap konsekuensi mereka
terbimbing oleh pengetahuan yang memadai. Ini terlihat pada
perubahan nama Perkumpulan Hindia Belanda (Indische Vereeninging) yang
didirikan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 menjadi Perhimpunan
Indonesia (PI) pada 1925 di bawah kepemimpinan Sukiman Wirjosandjojo. Bahkan,
seperti ditulis Sudijo dalam PI, nama terbitan berkalanyapun berubah jadi lebih
“provokatif”: Indonesia Merdeka, dari sebelumnya Hindia Putera. Penggunaan kata
“Indonesia” baik untuk nama perkumpulan maupun terbitan berkala ini, dengan
demikian, sebuah watershed (pemisah pamungkas) dalam struktur kesadaran
mereka. Maka, kata “Hindia Belanda” bukan saja dianggap terbelakang,
melainkan mencerminkan ketundukan. Sebaliknya, kata “Indonesia” menyimbolkan
perlawanan, pembebasan dan tekad merdeka. Dasar eruditeness
penggunaan kata “Indonesia” ini sudah tentu terlihat dalam struktur kokoh logika
yang dikembangkan para penulis atau penyumbang terbitan Indonesia Merdeka PI
dalam bahasa Belanda. Ini juga terjadi dalam percaturan organisasi mahasiswa
antar bangsa di Belanda. Seperti dilukiskan Drs R
Nalenan dalam Arnold Monotutu Potret Seorang Patriot (1981), sebagai anggota
PI, Ahmad Subardjo, AA Maramis dan Moh Nazif menulis surat dalam bahasa
Perancis ke setiap perwakilan negara anggota Academic du troit international
de la Haye, organisasi mahasiswa antar-bangsa sebuah akademi di Den Haag yang
dipimpin seorang diplomat Polandia dengan sekjen asal Belanda. Isi surat
adalah protes atas penempatan Monotutu, mahasiswa asal Indonesia di akademi
itu pada 1920-an itu, sebagai wakil dari Belanda. Karena itu, mereka
menuntut menempatkan Monotutu sebagai wakil bangsa “Indonesia”. Walau dalam
realitasnya Monotutu berasal dari wilayah jajahan Belanda, melalui
keterpelajaran mereka, usul anggota PI itu bisa diterima. Dengan demikian,
tanpa preseden dan di tengah sorotan kecurigaan pemerintah Belanda, “Indonesia”
secara resmi tercantum sebagai salah satu bangsa di organisasi
antar-mahasiswa, di Belanda, negara induk Hindia Belanda. Peristiwa terakhir ini
memberi contoh bahwa pada esensinya “kebangkitan nasional” tak terperangkap
wilayah geografis. Melainkan produk dari jaringan eruditeness yang
melampauinya. Dalam konteks PI, Hatta dkk memberi bukti konkret bahwa
“kebangkitan nasional” justru bisa lahir dari the belly of the beast (perut
otoritas pusat sang penjajah) itu sendiri. Dan gerakan itu bukan saja
mampu menyebarkan epistemologi kebangsaan di tingkat global secara
meyakinkan, melainkan, seperti Stutje tulis dalam Campaigning in Europe,
menjadi golongan yang pertama menyadari bahwa perpecahan etnik dan agama
adalah penghambat utama pembentukan kekuatan politik penekan yang efektif
terhadap penguasa kolonial. Dan memang, merekalah yang turut menggenapkan
bara api nasionalisme di Tanah Air ketika kembali ke Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar