Jejak
Kekerasan Seksual Masa Lalu, Negara Jangan Diam Dahlia Madanih ; Perempuan Pembela Hak Asasi
Manusia; 12 Tahun sebagai Badan Pekerja Aktif Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Hingga kini, keberadaan
perempuan korban kekerasan seksual masa lalu merupakan jejak paling nyata
yang ada. Mereka masih hidup dalam rasa takut, terluka, dan ketidakpastian
akan keadilan dan kebenaran atas peristiwa yang mereka alami. Dari hasil pemantauan
Komnas Perempuan yang mendokumentasikan rekam jejak peristiwa-peristiwa
kekerasan seksual masa lalu, ratusan korban tersebar dari Sabang hingga
Merauke. Hingga kini, sebagian besar dari mereka tidak punya pilihan selain
membungkam luka, hidup dan berjuang setiap hari untuk pulih, kuat, dan punya
harapan. Bulan Mei ini menjadi
penting bagi Indonesia sebagai bangsa untuk bangkit dari kebiadaban yang
terjadi pada masa lalu. Bukan saja agar peristiwa-peristiwa kekerasan
seksual, seperti perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual yang
dialami segenap perempuan Indonesia sejak masa Jugun Ianfu, peristiwa korban
1965, kerusuhan Mei 1998, konflik Aceh, konflik Poso, dan konflik Papua tidak
terulang kembali, tetapi juga sebagai titik berangkat bagaimana membangun
bangsa yang beradab dalam menghargai perempuan sebagai manusia yang
bermartabat. Apa
yang terjadi? Dari kekerasan seksual
masa lalu di awal menjelang Indonesia merdeka, jejaknya kita lihat pada para
penyintas Jugun Ianfu. Mereka merupakan perempuan Indonesia yang diculik
paksa oleh tentara Jepang pada periode 1942-1945 yang ditempatkan di Ianjo,
sebutan rumah bordil Jepang yang didirikan di sejumlah daerah, dengan jumlah
lebih dari 1.000 perempuan dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jawa,
Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi. Sebagian besar mereka sudah meninggal
sebelum ada permintaan maaf Pemerintah Jepang kepada para penyintas. Kekerasan seksual
selanjutnya dialami oleh sejumlah besar perempuan di Indonesia yang menjadi
korban peristiwa 1965. Salah satu pola kekerasan seksual yang dialami oleh
perempuan korban adalah penyiksaan seksual, yaitu dengan bentuk ditelanjangi
dengan alasan mencari lambang palu arit di tubuh perempuan. Dari 122
kesaksian korban, ada 74 kasus perkosaan dan 21 kasus perbudakan seksual yang
diceritakan oleh penyintas. Sebagian besar perempuan
korban mengalami perkosaan pada saat mereka ditangkap, ada juga yang
diperkosa berulang kali selama mereka ditahan, bahkan menjadi korban
perbudakan seksual setelah dibebaskan, perkosaan berulang pada saat rumahnya
diserang secara massal, serta dipaksa melayani kebutuhan seks karena suami
ditahan agar cepat dibebaskan (Komnas Perempuan; 2007). Hingga kini tidak ada satu
pun kekerasan seksual yang mereka alami diproses secara hukum. Banyak
perempuan korban peristiwa ini mengalami kelumpuhan karena penyiksaan yang
diterima, hilangnya ingatan, depresi, gegar otak, rusaknya alat reproduksi
karena penyetruman, bahkan berlanjutnya persekusi selepas dari tahanan,
mereka mengalami penghancuran kehidupan berkeluarga dan hidup di masyarakat. Utang reformasi sampai
saat ini yang belum terlunaskan adalah justru pada para korban perempuan
perkosaan massal Mei 1998. Hingga kini, korban hidup tanpa ada kepastian
penanganan pada apa yang mereka alami. Peristiwa kerusuhan Mei
pada 13-15 Mei 1998 direkam oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang
dibentuk pemerintah pada Juli 1998, termasuk mandat dalam mencari fakta
terjadinya perkosaan masal. Dari 168 laporan kasus kekerasan seksual, 152
terjadi di Jakarta, sedangkan 16 kasus lainnya terjadi di Solo, Medan,
Surabaya, dan Palembang. Sebanyak 52 di antaranya korban perkosaan, 14 korban
perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan dan penganiayaan
seksual, serta 9 korban pelecehan seksual. Ratusan korban pelecehan
seksual terjadi pada tanggal 4-8 Mei 1998. Pola perkosaan massal yang
dilakukan dalam peristiwa Mei sebagian besar berupa kasus perkosaan gang
rape, yaitu korban diperkosa secara bergantian pada waktu dan tempat yang
sama dan dilakukan di hadapan orang lain. Sebagian besar menyasar perempuan
etnis China, meskipun tim menyatakan tidak semua korban merupakan etnis
China, mereka berasal dari lintas kelas sosial (Laporan TGPF; 1999). Dua
puluh tiga tahun telah berlalu, kasusnya bahkan seperti terpendam bersama
luka para korban hingga kini. Pascareformasi, konflik
yang berkecamuk di beberapa wilayah Indonesia juga menorehkan jejak luka
mendalam bagi perempuan di sejumlah daerah menjadi korban kekerasan seksual,
seperti Aceh, Ambon, Poso, dan Papua, bahkan reformasi tak menggeser sedikit
pun ancaman kekerasan seksual yang dialami perempuan. Dari 103 perempuan
korban kekerasan di Aceh, 60 di antaranya adalah korban kekerasan seksual
yang terjadi sejak 1999, yaitu bertepatan dengan operasi militer di Aceh,
hingga masa darurat sipil dan militer pada 2003-2005. Sebagian besar perempuan
korban di Aceh mengalami perkosaan, penyiksaan seksual, dan perlakuan kejam
bernuansa seksual. Salah satu pola eksploitasi seksual yang sangat khas
terjadi pada wilayah konflik bersenjata di Indonesia, termasuk di Aceh,
adalah dengan memperdaya korban melalui janji untuk menikahi pascahubungan
seksual atau sekadar menikah secara siri kemudian ditinggalkan, yang sebagian
besar dilakukan aparat keamanan (Komnas Perempuan; 2007). Dampak kekerasan
seksual tersebut tidak hanya berakibat pada cacat, rusak, ataupun kesakitan
yang hebat pada fisik, alat, dan fungsi reproduksi dan seksual; perempuan
korban di Aceh mengalami trauma yang berkepanjangan serta kehilangan sumber
penghidupan. Sementara pada konflik
yang terjadi di Poso, yang direkam sejak 1998 hingga 2005, dengan 72 kasus
kekerasan terhadap perempuan, 62 kasusnya (86 persen) dialami perempuan dalam
bentuk kekerasan seksual, antara lain penelanjangan paksa yang terjadi pada
200 perempuan anggota suatu komunitas. Perkosaan, ancaman perkosaan,
eksploitasi seksual, serta pemaksaan aborsi adalah bentuk-bentuk kekerasan
yang secara khas ditujukan pada perempuan. Kekerasan yang dialami
perempuan pada konflik Poso terjadi ketika eskalasi konflik terjadi, ketika
penempatan aparat keamanan dan militer, serta pada saat pengungsian.
Sayangnya, dalam salah satu kasus yang maju dalam proses hukum mengenai
penyerangan suatu desa di Poso, peristiwa penelanjangan paksa diabaikan
menjadi fakta hukum dalam persidangan. Sementara Papua merupakan
daerah konflik yang sampai saat ini masih
bergolak. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi sejak tahun
1968 hingga tahun 2009, dan didokumentasikan oleh para perempuan penyintas di
Papua pada tahun 2009-2010. Dengan menemukan 261 laporan kasus, 138 perempuan
mengalami bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat negara, dengan
bentuk perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi,
eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB), serta
percobaan perkosaan. Pada laporannya bertema
stop sudah, Komnas Perempuan menggambarkan bahwa korban perempuan Papua
terjerumus dalam siklus penderitaan panjang karena ketidakberdayaan berlapis
yang tumpang tindih dan tidak tertangani. Penderitaan berkepanjangan selama
masa konflik menyebabkan trauma berlapis. Pada saat yang sama, tekanan
psikososial menyebabkan perempuan korban makin kesulitan dari segi
keberdayaan ekonomi, akses pendidikan, termasuk melindungi dirinya dari
persoalan sosial lainnya, seperti penularan HIV/AIDS, masalah poligami, dan
miras (Komnas Perempuan; 2009). Puluhan tahun mereka para
perempuan korban berjalan dalam sunyi. Menyembunyikan identitasnya sebagai
korban. Mungkin mereka hidup di tengah kita sebagai saudara, tetangga, teman,
atau lainnya. Sebagian besar mereka memilih untuk membisu dari peristiwa yang
dialaminya. Mengapa mereka memilih
bungkam? Membisu menjadi cara karena tiadanya pilihan lain bagi perempuan
korban. Tiadanya kepastian jaminan perlindungan dari rasa aman, ancaman
stigma dan perundungan, serta penyangkalan yang kuat baik oleh pelaku,
masyarakat, maupun negara mengenai peristiwa yang mereka alami, bahkan impunitas
bagi pelaku mendesak korban terbungkam. Membungkam menjadi cara korban
membentuk rasa aman bagi dirinya dan keluarga hidup terus menatap masa depan,
karena absennya negara mengungkapkan keadilan dan kebenaran serta pemulihan
bagi mereka. Negara
jangan diam Dokumentasi pada peristiwa
dan pengalaman yang dialami perempuan korban oleh lembaga hak asasi manusia
di Indonesia merupakan proses menemukan kebenaran yang terjadi di masa lalu.
Dengan demikian, negara dapat melakukan langkah-langkah pengungkapan
kebenaran dan upaya pemulihan bagi perempuan korban. Langkah tersebut juga
sebagai bentuk dukungan terhadap korban karena adanya upaya penyangkalan yang
dilakukan banyak pihak. Tidak mudah mengumpulkan cerita-cerita tersembunyi
dari para korban, atau bahkan menemukan korban itu sendiri, tanpa adanya
dukungan secara keberlanjutan pada proses penanganan terhadap korban dan
kasusnya. Negara melalui Presiden
ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie memberikan jejak awal negara berkomitmen
pada upaya penanganan kekerasan seksual, yang dinyatakan pada tahun 1998.
Negara telah memberikan mandat dan bentuk memorialisasi untuk merawat ingatan
dengan didirikannya salah satu lembaga HAM yang fokus pada penanganan
kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, melalui Peraturan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperkuat
melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Melalui peraturan presiden
ini, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran
HAM. Sejak 23 tahun pendiriannya, rekam jejak pengalaman korban kekerasan
seksual masa lalu untuk mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, rasa puas,
dan ketidakberulangan menjadi tonggak Komnas Perempuan mendesak pengesahan
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk
mendorong negara tidak diam pada penderitaan panjang perempuan korban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar