Potensi
Ekonomi Wakaf Belum Tergarap Optimal Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 16 Mei 2021
Dengan jumlah penduduk
Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi syariah yang
sangat besar, salah satunya berupa wakaf. Namun, potensi yang bisa digunakan
untuk mendorong percepatan kesejahteraan umat itu belum tergarap optimal.
Rendahnya literasi umat terhadap wakaf dalam sistem ekonomi modern menjadi
tantangan besar yang harus segera dituntaskan. Dari 270 juta penduduk
Indonesia, 230 juta jiwa di antaranya merupakan umat Islam. Besarnya jumlah
umat Islam itu membuat potensi aset wakaf di Indonesia mencapai Rp 2.000
triliun per tahun dan potensi wakaf uang Rp 188 triliun setiap tahun. Jika
potensi aset wakaf dan wakaf uang itu mampu dikumpulkan semua, Indonesia akan
memiliki modal sangat besar untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan umat
dan bangsa. Besarnya potensi itu pula
yang membuat Presiden Joko Widodo pada akhir Januari 2021 meluncurkan Gerakan
Nasional Wakaf Uang. ”Kita perlu memperluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf,
tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan
sosial ekonomi yang berdampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan
ketimpangan sosial dalam masyarakat,” katanya (Kompas, 26 Januari 2021). Namun, besarnya potensi
ekonomi wakaf uang itu baru sebagian kecil yang sudah tergarap. Rendahnya
literasi masyarakat terhadap sistem ekonomi syariah jadi salah satu pemicu. Andi Palupi dari
Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta dalam ”Philanthropy Learning Forum
tentang Wakaf Uang sebagai Sumber Pendanaan Program dan Dana Abadi Organisasi
Nirlaba/Filantropi di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring, Jumat
(30/4/2021), mengatakan, Indeks Literasi Ekonomi Syariah Indonesia 2019 baru
mencapai 16,3 persen. Selama ini, kedermawanan
masyarakat itu umumnya dilakukan secara sporadis, belum terstruktur, tidak
terdokumentasi dengan baik, atau menggunakan cara-cara konvensional seperti
yang dilaksanakan selama ini. Sistem modern untuk berwakaf, apalagi wakaf
dengan uang melalui lembaga keuangan syariah, belum dikenal luas masyarakat. ”BI, Kementerian Agama,
Badan Wakaf Indonesia (BWI), dan Yayasan Edukasi Wakaf Indonesia (YEWI) perlu
berkolaborasi untuk mengedukasi masyarakat,” kata Palupi. Wakaf
uang Di antara sejumlah
mekanisme dalam Islam tentang pemberian harta pribadi untuk orang lain, wakaf
yang paling kurang dikenal dibandingkan zakat, infak, atau sedekah. Keempat mekanisme
itu sebenarnya memiliki inti yang sama, yaitu memberikan sebagian harta milik
untuk kepentingan agama. Namun, setiap mekanisme itu memiliki aturan dan
keperluan yang berbeda. Mengutip akun media sosial
Kementerian Agama, wakaf adalah menyerahkan hak milik yang umumnya berupa
aset yang tahan lama untuk keperluan yang bersifat produktif dan bisa
digunakan untuk kepentingan umat. Bentuk wakaf yang paling umum dilakukan di
masyarakat selama ini adalah wakaf tanah atau bangunan untuk digunakan sebagai
masjid, pesantren, atau makam. Namun, wakaf uang belum dikenal luas
masyarakat, apalagi wakaf untuk kegiatan sosial kemanusiaan. Sementara zakat adalah
pemberian yang bersifat wajib yang jumlah dan waktu pemberiannya sudah
ditentukan dalam hukum agama. Zakat tidak bisa diberikan ”seikhlasnya” karena
makin besar aset, maka makin besar pula zakat yang harus ditanggung. Contoh
zakat itu, antara lain, berupa zakat fitrah yang diberikan pada malam Idul
Fitri, zakat maal atau harta benda yang besarnya berbeda-beda tergantung
jenis dan jumlah hartanya, atau zakat profesi. Sementara infak, bersifat
lebih fleksibel, tidak wajib, tetapi sangat dianjurkan agama. Infak dilakukan
dengan membelanjakan atau menyumbangkan sebagian harta untuk siapa saja, bisa
untuk masjid, yayasan, atau tetangga dan orang-orang di sekitar kita yang
membutuhkan. Adapun sedekah adalah
segala bentuk kebaikan yang diberikan kepada orang lain, bisa berupa harta,
tenaga atau hal-hal baik lainnya, seperti tersenyum. Untuk wakaf, selama ini
masyarakat umumnya mengenal wakaf dalam bentuk benda tak bergerak, terutama
tanah atau bangunan. Anggapan harta yang diwakafkan adalah sesuatu yang besar
nilainya membuat wakaf jarang dipraktikkan. Padahal, pahala wakaf akan terus
mengalir selama harta yang diwakafkan masih digunakan. Wakaf uang juga belum
dikenal luas masyarakat. Apalagi dalam nominal yang cukup kecil atau dengan
sistem kolektif atau patungan. Dengan sistem keuangan modern saat ini, wakaf
uang menjadi proses yang simpel dan bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja.
Selain uang, benda bergerak lain yang bisa diwakafkan, antara lain, logam
mulia, kendaraan, hak sewa, surat berharga, hingga hak kekayaan intelektual. Majelis Ulama Indonesia
pada 2002 telah mengeluarkan fatwa bahwa hukum wakaf uang adalah jawaz atau
boleh. Namun, wakaf uang ini hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang sesuai hukum agama (syar’i). Selain itu, nilai pokok
uang yang diwakafkan harus dijamin kelestariannya serta tidak boleh dijual,
dihibahkan, atau diwariskan. Dana bagi hasil dari pengelolaan wakaf uang
itulah yang digunakan untuk berbagai kegiatan atau kepentingan umat, mulai
dari kegiatan keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, atau sosial. Untuk mendukung wakaf uang
itu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf maupun Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan adanya dasar hukum
tersebut dan fatwa MUI, wakaf uang sah
secara hukum agama dan hukum negara. ”Sekali berwakaf dengan
uang, maka dua rekening terisi sekaligus, yaitu menambah dana abadi akhirat
untuk memperbanyak pahala demi mempermudah mencapai surga dan dana abadi
sosial untuk meningatkan kesejahteraan umat,” kata Direktur Pelaksana Biro
Konsultan dan Perencanaan Wakaf Indonesia YEWI Roy Renwarin. Wakaf adalah tindakan
hukum. Saat seseorang menyerahkan wakafnya kepada orang lain atau lembaga
tertentu, ada proses yang harus dijaga untuk memastikan harta yang diwakafkan
dikelola dan dijaga sesuai permintaan sang pemberi wakaf. Bahkan, kepastian
hukum itu tetap harus dijaga meski orang yang memberi wakaf sudah meninggal
karena harta yang diwakafkan tidak bisa diperjualbelikan, dialihfungsikan,
atau diwariskan. Seluruh proses wakaf di
Indonesia dibina dan dijamin oleh BWI, lembaga independen yang diamanatkan UU
untuk mengurusi perwakafan. Selain menjamin kelancaran dan kemudahan
berwakaf, BWI juga harus memastikan lembaga pengelola wakaf tetap
profesional, transparan, dan menjaga amanat yang dipercayakan kepada mereka. Proses
wakaf uang Untuk bisa berwakaf dengan
uang, masyarakat hanya perlu pergi ke bank syariah yang telah ditunjuk BWI
sebagai lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS PWU). Menurut
Manajer Cabang Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah Yogyakarta Slamet Wahyudi,
dalam penerimaan wakaf uang tersebut, bank syariah bertindak sebagai wakil
nazir atau pengelola wakaf uang. Saat ini, ada 23 bank
syariah yang sudah ditetapkan sebagai LKS PWU. Namun dengan bergabungnya tiga
bank syariah yang dikelola badan usaha milik negara, kini total ada 21 LKS
PWU yang siap menerima wakaf uang dari masyarakat. Besaran dana yang
diwakafkan pun tidak harus besar. Dengan uang minimal Rp 1 juta, masyarakat
sudah bisa berwakaf uang. Bahkan, masyarakat yang tidak memiliki uang sebesar
itu tetap bisa berwakaf melalui sistem patungan atau kolektif hingga minimal
mencapai Rp 1 juta. Dengan demikian, dengan uang Rp 50.000 pun seseorang
tetap bisa berwakaf bersama orang lain. Saat di bank syariah yang
termasuk dalam LKS PWU, wakif atau orang yang berwakaf akan diminta untuk
mengisi dan menandatangani Akta Ikrar Wakaf (AIW). Saat pengisian AIW itu,
wakif akan diminta untuk memilih nazir atau pengelola wakaf yang sudah
terdaftar di BWI. Hanya nazir yang sudah terdaftar di BWI-lah yang bisa
menerima dan mengelola wakaf uang dari masyarakat. ”Nazir yang tidak
terdaftar di BWI namun mengelola wakaf uang masyarakat dapat dikenai sanksi
pidana, mulai dari pidana penipuan, penggelapan, hingga pencucian uang,”
tambah Roy. Selain menunjuk nazir,
wakif juga harus memilih penerima manfaat wakaf atau disebut mauquf’alaih.
Penunjukan mauquf’alaih ini membuat wakif bisa menentukan uang wakafnya akan
digunakan untuk kegiatan apa saja yang dikelola oleh nazir. Penerima manfaat
wakaf itu bisa berupa kegiatan pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi
umat, kesehatan, sosial, peribadatan, syiar agama, hingga program
kemaslahatan umat lainnya. Slamet menambahan, wakif
juga bisa memilih apakah uang yang diwakafkan itu untuk selamanya atau
berjangka. Wakaf uang selamanya berarti dana yang diserahkan tidak akan
diserahkan kembali kepada wakif. Sementara wakaf uang berjangka berarti saat
jangka waktu wakafnya selesai, wakif
akan menerima kembali uang yang diwakafkannya secara utuh. Pengembalian wakaf
uang itu tidak akan menerima bagi hasil seperti dalam tabungan atau deposito
syariah karena dana bagi hasil itulah yang akan dikelola nazir untuk
diserahkan kepada mauquf’alaih. Setelah semua proses
pengisian AIW selesai, AIW akan diserahkan oleh LKS PWU ke wakif beserta
sertifikat wakaf uang (SWU). SWU dan AIW itulah yang menjadi bukti bahwa
seseorang telah menyerahkan uangnya melalui LKS PWU untuk diserahkan dan
dikelola nazir guna menjalankan kegiatan atau program untuk mauquf’alaih yang
telah ditetapkan sebelumnya. ”SWU dan AIW harus
dikeluarkan oleh LKS PWU. Jika tidak, ada ancaman pidana atas dokumen
perwakafan berupa pidana penipuan atau pemalsuan dokumen,” ujar Roy. Dengan wakaf uang melalui
perbankan syariah itu membuat proses wakaf bisa dilakukan dengan sangat
mudah, bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Bahkan, tambah Roy,
kini juga tersedia aplikasi untuk bisa berwakaf secara daring melalui
Pasifamal.id. Namun, berbagai kemudahan
itu tetap tidak akan menghasilkan terkumpulnya dana wakaf uang yang sangat
besar sepanjang literasi masyarakat tentang wakaf dan ekonomi syariah tidak
terdongkrak. Karena itu, sosialisasi dan kampanye Gerakan Nasional Wakaf Uang
itu perlu terus dilakukan lebih masif hingga umat Islam sadar akan pentingnya
wakaf bagi kualitas keimanan pribadi maupun bagi kemaslahatan seluruh umat
Islam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar