Menjadi
Saudara dalam Kemanusiaan Steph Tupeng Witin SVD ; Penulis, Rohaniwan
Katolik |
KOMPAS, 13 Mei 2021
Hari ini umat Islam
merayakan Idul Fitri dan umat Kristiani merayakan Kenaikan Yesus Kristus atau
Isa Almasih ke Surga. Perayaan hari besar keagamaan dalam waktu bersamaan
amat jarang terjadi. Maka momen perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih
menghadirkan refleksi makna yang memperkaya khazanah peradaban bangsa di tengah
pandemi Covid-19 dan bencana alam yang menelan ribuan nyawa, juga
memorakporandakan bangunan kehidupan berbangsa. Lebaran sesungguhnya momen
kemenangan batin setelah berpuasa sebulan penuh saat Ramadhan. Kemenangan
nurani ini merupakan proses pemurnian spiritualis personal yang akan
menggerakkan umat Islam semakin menjadi manusia beriman yang Rahmatan lil
Alamin. Rahmat artinya kelembutan atau kasih sayang. Diutusnya Nabi Muhammad
SAW adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia dan alam semesta
termasuk hewan dan tumbuhan. Islam datang ke tengah dunia membawa ketenangan,
kedamaian, keamanan dan perlindungan bagi umat manusia. Kemenangan batin umat
Islam juga terungkap dalam perayaan tahun ini yang berlangsung sederhana,
tidak ada silaturahim tatap muka secara langsung, pelarangan mudik, juga
takbir keliling yang selalu mewarnai Idul Fitri. Kesederhanaan perayaan
Idul Fitri sekaligus menjadi kemenangan solidaritas kemanusiaan umat Islam
terhadap kondisi bangsa yang masih diliputi wabah pandemi Covid-19 dan
bencana alam di berbagai daerah khususnya di Nusa Tenggara Timur yang
dihantam badai siklon tropis seroja awal April 2021. Kenaikan Yesus Kristus ke
Surga juga peristiwa sederhana, yang terjadi 40 hari setelah kebangkitan.
Yesus membutuhkan waktu 40 hari untuk membuka kesadaran para rasul memahami
rahasia kasih Allah melalui kehadiran, penderitaan, wafat dan
kebangkitan-Nya. Kenaikan Yesus adalah
tanda kemenangan Kristus atas kuasa maut dan dosa. Para rasul menyaksikan
peristiwa itu dengan penuh sukacita. Mereka kembali ke Yerusalem dengan pesan
menjadi saksi kasih Allah yang mengasihi manusia melalui Yesus. Kenaikan Yesus menyadarkan
manusia agar memiliki iman dan semangat militan untuk mengasihi dan mencintai
Yesus melalui tugas perutusan. Kita perlu memiliki semangat Kristus yang
hidup dalam kebenaran dan kasih secara konsekuen. Berani dan tidak perlu ragu
tetapi konsisten mengekspresikan iman mulai dengan tindakan paling sederhana. Kita diajak berani keluar
dari diri sendiri, dari zona nyaman untuk menjadi misionaris-misionaris zaman
ini ke tengah dunia. Kita melanjutkan karya-karya kemanusiaanNya dengan
membangun Kerajaan Allah agar semua orang, terlebih kaum miskin dan tertindas
dapat mengalami keselamatan. Tanggung jawab ini tidak
mudah. Kita diutus bagaikan domba ke tengah serigala. Penuh tantangan,
kesulitan, penolakan, penderitaan. Jaminan kita satu-satunya adalah Kristus
sendiri. Ia menyertai kita senantiasa sampai akhir zaman sebagaimana yang Ia
janjikan kepada para rasul. Solider
dengan sesama Narasi makna dua hari
besar keagamaan ini menegaskan bahwa Allah yang kita imani solider dengan
manusia. Ia tidak pernah tinggal diam dalam zona nyaman kuasaNya. Melalui
utusanNya, Ia turun ke dunia, berproses dalam sejarah, menyampaikan ajaran,
membebaskan manusia dari kuasa kegelapan dan serentak menyucikan dunia agar
menjadi komunitas hidup yang bermartabat. Solidaritas inilah yang
menjadi energi rohani bagi segenap manusia agar melanjutkan kerja kemanusiaan
ini menuju hadirnya sejarah hidup baru yang lebih manusiawi. Idealisme ini menuntut
dialog kemanusiaan lintas batas. Tembok-tembok primordial atas nama agama,
suku, ras dan antargolongan mesti diruntuhkan. Rasa curiga, cemburu dan
prasangka mesti dihentikan. Agama mesti membuat setiap pengikutnya menjadi
beriman agar mengantar manusia untuk bertemu, berbicara, berdiskusi dan
saling berbagi tanpa pamrih. Orang yang beriman akan
melihat sesamanya sebagai saudara yang mesti dirawat dan dikasihi.
Persaudaraan yang melampaui sekat primordial sarat kecurigaan inilah yang
membuka ruang dialog untuk belajar mendewasakan diri, mematangkan
intelektualisme dan menyemai harapan masa depan. Agama
kemanusiaan Fakta persaudaraan inilah
yang telah dirajut Soekarno saat diasingkan Belanda di Ende, Flores, NTT dari
14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938. Ia bergaul sangat akrab dengan para
misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD), membaca buku-buku
dan majalah di perpustakaan biara St Yosef, berdiskusi dengan para pastor SVD
asal Belanda di antaranya Pater Johanes Bouma SVD, Pater Gerardus Hujitink
SVD, yang sesungguhnya menjadi “musuh” politiknya. Ide brilian dasar negara
Pancasila justru tersemai dari dialog kemanusiaan di Ende ini. Persahabatan
dan dialog kemanusiaan Bung Karno dengan para misionaris asal Belanda ini
membuatnya mendirikan “Klub Tonil Kelimutu” dimana anak-anak muda Ende
dilatih mementaskan toneel (sandiwara). Bung Karno menjadikan
toneel sebagai medium untuk mengadvokasi kesadaran rakyat dan membangkitkan
semangat perjuangan kemerdekaan dan gerakan melawan kolonialisme. Soekarno
merasa sangat nyaman dalam ruang persahabatan dengan para misionaris tanpa
kecurigaan dari pihak penjajah yang membuangnya (Mukese:2013). Semangat dialog
kemanusiaan itu terekam dalam keseharian hidup rakyat Flores khususnya Ende
dimana umat Islam dan Katolik hidup rukun penuh persaudaraan selama
berabad-abad. Kaum muslim menghuni pesisir pantai, merawat laut, menyorong
sampan dan perahu ke laut, menarik pukat dan membuang ikan-ikan ke atas pasir
pantai. Orang-orang Katolik
menghuni wilayah pegunungan dan pedalaman yang subur, menanam jagung, padi,
sayur dan buah. Keduanya bertemu dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan
di pasar tradisional. Perempuan dari pantai menukar hasi laut dengan jagung,
ubi, sayur dan buah-buahan yang dibawa perempuan pedalaman. Proses barter disertai
canda, cerita, tawa dan saling menanyakan kabar sederhana. Hidup terasa indah
dan persaudaraan begitu memesona nurani. Namun suasana persaudaraan sederhana
ini semakin tersingkir oleh kehadiran pusat perbelanjaan yang menarasikan
penetrasi kekuatan kapital ke jantung perekonomian rakyat jelata. Pasar tradisional yang
menjadi ruang perjumpaan dalam suasana persaudaraan dan dialog kemanusiaan
selama berabad-abad kini mulai terancam oleh kehadiran kekuatan ekonomi
global yang berdaya mematikan denyut kehidupan ekonomi lokal. Benih persaudaraan lintas
batas itu juga terbaca dalam solidaritas kemanusiaan ketika rakyat Adonara,
Kabupaten Flores Timur dan Ile Ape Kabupaten Lembata menerima sentuhan kasih
dari Presiden Joko Widodo dan sekian banyak relawan kemanusiaan yang hadir
memberi bantuan. Mereka mengusung agama
kemanusiaan yang membangkitkan harapan ketika hidup yang dirajut
bertahun-tahun hendak dihentikan oleh keganasan bencana banjir bandang dan
tanah longsor yang dahsyat. Ratusan nyawa melayang, jalani perawatan dan
puluhan korban belum ditemukan hingga hari ini. Warga yang selamat
mengungsi mandiri ke pondok-pondok di tengah ladang. Mereka kekurangan air
minum bersih, makanan, pakaian, obat-obatan, sanitasi kesehatan dan
sebagainya. Solidaritas kemanusiaan kepada korban bencana alam di Adonara dan
Lembata, NTT mengalir dari seluruh dunia benar-benar membuktikan bahwa kita
semua bersaudara atas nama kemanusiaan. Di tengah pandemi
Covid-19, solidaritas kemanusiaan lebih dashyat membandang. Semua orang dari
pelbagai lapisan dan golongan menghidupkan semangat persaudaraan karena “kita
semua bersaudara” kata Paus Fransiskus dalam ensiklik "Fratelli Tutti" (2020). Memenangkan
persaudaraan Di tengah gempuran wabah
Covid-19 dan bencana alam, kemanusiaan dan persaudaraan tidak pernah boleh
mati. Perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih mesti mendorong kita
memenangkan persaudaraan. Ketakutan akan wabah Covid-19 tidak boleh mengubur
substansi eksistensial kemanusiaan. Hakikat kemanusiaan harus
menjadi satu-satunya “kompas” setiap tindakan politis dan kemasyarakatan.
Ketika suatu bangsa meretas langkah dengan bertumpu pada kemanusiaan maka ia
membawa biduk bangsa menuju ke arah yang benar. Menurut Paus Fransiskus,
kebenaran itu terungkap dalam perjumpaan manusia yang otentik. Pada Hari
Komunikasi Sosial Sedunia Mei 2021, Ia mengajak kita semua, tidak hanya
pekerja media, untuk “menghabiskan sol sepatu” dengan turun ke tengah
realitas, keluar dari zona nyaman rasa puas diri yang dangkal, berjumpa
secara pribadi, mendengarkan kisah yang bisa mengejutkan, karena “kita tidak
hanya berkomunikasi dengan kata-kata tapi dengan mata, dengan nada suara dan
dengan gerakan.” Khusus bagi jurnalis,
inilah metode mengenal realitas yang sangat sederhana dan verifikasi paling
jujur untuk mengangkat peristiwa ke atas panggung reportase dalam sosoknya
yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata, bersenyum
dan berpengharapan (Sindhunata, 1997). Perjumpaan kemanusiaan ini
membuat kita bisa hidup bersama dan bertenggang rasa dengan semua orang yang
berbeda. Kita menjadi manusia terbuka yang menghayati misi lintas tapal batas
keberagaman dan setia membangun persaudaraan dalam semangat dialog
kemanusiaan. Selamat Idul Fitri dan Kenaikan Isa
Almasih! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar