Pemulihan
Ekonomi Berlanjut Umar Juoro ; Senior Fellow the
Habibie Center |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Pemulihan ekonomi di
tingkat global dipelopori oleh dua negara dengan perekonomian terbesar, yaitu
AS dan China. Pertumbuhan AS 7,4 persen
dan China 18,3 persen pada triwulan I-2021. Keduanya sangat agresif dalam
kebijakan fiskal dan moneter untuk menstimulasi ekonomi. Namun dengan harga
komoditas yang tinggi dan likuiditas yang melimpah dengan pemulihan ekonomi
yang kuat, menyebabkan inflasi mengalami peningkatan. Inflasi di AS di April
mencapai 4,2 persen, jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan banyak pihak.
Sekalipun demikian bank sentral AS, The Fed, berpendapat inflasi ini bersifat
sementara (transitory) dan akan turun lagi, sehingga tidak perlu menaikkan
suku bunga. Namun, banyak investor
berpendapat berbeda bahwa inflasi akan tetap tinggi dan permanen, sehingga
The Fed akan mulai mengurangi pembelian obligasi (tapering) dan menaikkan
suku bunga lebih awal dari perkiraan semula. Sementara, China harus
berusaha keras mengatasi permasalahan kemungkinan gagal bayar (default)
perusahaan-perusahaan besarnya. Inflasi juga menunjukkan kecenderungan
peningkatan. Dua negara ini juga berhasil
mengatasi pandemi dengan baik, dan ini memberikan kepercayaan tinggi pada
konsumen dan produsen. China sebagai tempat awal pandemi Covid-19 melakukan
langkah agresif dalam pembatasan sosial pada awalnya. AS sekalipun sempat
mengalami pandemi terburuk, namun dengan vaksinasi yang agresif dapat
mengendalikan pandemi. Seberapa
kuat pemulihan? Perkembangan dua ekonomi
terbesar itu besar pengaruhnya pada negara lain termasuk Indonesia. Pemulihan
ekonomi terjadi secara tidak merata di banyak negara. Ekonomi Indonesia
sendiri pada triwulan I masih mengalami kontraksi dengan pertumbuhan minus
0,74 persen dan diharapkan tumbuh positif cukup tinggi di triwulan II,
apalagi pada triwulan kedua tahun lalu kontraksi ekonominya terdalam.
Perkiraan pada umumnya tahun ini pertumbuhan sekitar 4 persen, sekalipun
pemerintah masih berharap sekitar 5 persen. Tanda-tanda pemulihan
ekonomi cukup kuat. Indeks kepercayaan konsumen sudah 101, PMI sebagai ukuran
aktivitas Industri manufaktur sudah tinggi 56,3. Konsumsi listrik pada akhir
April juga sudah meningkat lebih tinggi daripada di 2020 dan 2019. Hanya sayangnya
pertumbuhan kredit masih terkontraksi sebesar minus 3,7 persen secara tahunan
pada April, walaupun positif secara bulanan. Kredit bank sangat menentukan pertumbuhan
ekonomi. Harapannya mulai Mei pertumbuhan kredit mulai positif, kemudian
dapat tumbuh cukup tinggi untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Namun, bank masih harus
menghadapi restrukturisasi kredit yang cukup serius. Beberapa bank, khususnya
di Buku III, mulai membukukan kredit macet cukup tinggi di atas 4 persen. Dengan neraca keuangan
debitor yang masih lemah maka bank masih akan ekstra hati-hati untuk
menyalurkan kredit lebih besar. Ini merupakan penghambat utama dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa pemulihan, Dengan kata lain
keterkaitan (entanglement) antara kreditor dan debitor belum cukup kuat untuk
mendorong pertumbuhan yang tinggi. Konsumsi
sebagai pendorong Sekalipun pertumbuhan
konsumsi masih terkontraksi pada triwulan I, kecenderungannya membaik.
Insentif pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBm) untuk penjualan
mobil mendorong permintaan yang tinggi. Langkah pembebasan PPnBM sampai
Agustus, masih belum kuat terasa pengaruhnya pada penjualan rumah. Sementara, konsumen
berharap pembebasan PPnBM dapat berlanjut, dan semakin mendorong pembelian
rumah. Pembebasan PPnBM ini juga membantu perbaikan aliran kas perusahaan
debitor bank. Namun, dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) untuk menutupi kekurangan penerimaan negara menjadi
perhatian yang cukup serius bagi pemulihan konsumsi masyarakat. Menaikkan
pajak atau utang Di satu sisi, upaya untuk
menaikkan penerimaan pajak harus dilakukan untuk menutupi defisit anggaran,
namun di sisi lain stimulasi untuk meningkatkan konsumsi melalui pengurangan
atau pembebasan PPN masih diharapkan konsumen dan juga produsen yang dapat
memperbaiki keadaan keuangannya dengan meningkatknya penjualan. Ini berpulang pada
bagaimana pemerintah harus membiayai defisitnya yang lebih dari 5 persen PDB.
Apalagi pemerintah berencana untuk menurunkan defisit kembali pada tingkatan
di bawah 3 persen pada 2023. Sebenarnya dengan pemulihan ekonomi yang
kelihatannya tak sekuat seperti diperkirakan, stimulus masih dibutuhkan lebih
lama dengan defisit anggaran di sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto. Permasalahannya tentunya
adalah utang yang semakin besar untuk menutupi defisit. Dengan rasio utang
sekitar 41 persen terhadap PDB, sebenarnya masih terkendali. Begitu pula
minat terhadap obligasi dan imbal hasil (yield) masih terjaga. Hanya
manajemen utang yang harus lebih baik untuk membuat harga obligasi terjaga
dan pembayaran cicilan serta pokok utang terjaga baik. BI semestinya juga tak
lagi diminta “mencetak uang” untuk membiayai defisit untuk menjaga
kredibilitasnya. Kemungkinan The Fed akan
melakukan pengurangan pembelian obligasi (tapering) dan menaikkan suku bunga
lebih awal, akan berimplikasi serius terhadap ekonomi Indonesia. Dengan kecenderungan
inflasi domestik yang juga meningkat maka BI kemungkinan akan menyesuaikan
suku bunga kebijakan. Implikasinya tentu cukup serius, pada saat debitor
harus membayar bunga dan cicilan pinjaman lebih tinggi, sedangkan pemulihan
ekonomi belum cukup kuat terjadi. Bagi BI pilihannya adalah
mengantisipsi inflasi dengan menaikkan suku bunga lebih awal, yang berarti
menahan laju pemulihan ekonomi, atau menaikkan suku bunga setelah inflasi
naik secara signifikan dengan risiko lebih sulit untuk mengatasinya. Investasi
sebagai tumpuan Sekalipun pertumbuhan
investasi tahunan masih negatif di triwulan I, kecenderungannya membaik.
Pelaksanaan UU Cipta Kerja juga memfasilitasi peningkatan investasi ini,
sekalipun tantangan di pelaksanaan cukup berat. Misalnya, penolakan terhadap masuknya
Tenaga Kerja Asing (TKA). Penolakan dari beberapa pihak terjadi terhadap
masuknya TKA China, sekalipun mereka yang paling semangat berinvestasi. Perusahaan asing juga
masih kesulitan dalam mendatangkan tenaga ahli mereka pada saat pembatasan
TKA pada masa pandemi ini. Serikat pekerja menolak keras UU Cipta Kerja ini,
khususnya untuk bagian ketenagakerjaan. Daerah juga kelihatan
enggan mengimplementasikan UU Cipta Kerja lebih lanjut karena indikasi
resentralisasi. Sementara rencana investasi mengharapkan insentif pajak yang
lebih baik, isu kenaikan pajak dan agresivitas aparat pajak, jadi
pertimbangan serius bagi peningkatan investasi. Optimalisasi
vaksinasi Indonesia sejak semula
tidak mau melakulan penutupan (lockdown) untuk mengatasi pandemi. Pembatasan
sosial dilakukan secara terbatas dengan berusaha melakukan vaksinasi secara
luas. Namun karena sulitnya mendapatkan pasokan vaksin, program vaksinasi
sekalipun berjalan cukup baik, kemungkinan tidak dapat menjangkau target 70
persen penduduk tahun ini. Hal ini tentu berpengaruh pada seberapa kuat
pemulihan ekonomi terjadi. Pemulihan ekonomi yang
kuat mempersyaratkan keberhasilan dalam mengatasi penyebaran Covid-19. Dengan
keterbatasan pasokan vaksin dan disiplin pembatasan sosial yang masih belum
cukup kuat, kemungkinan pandemi bergelombang masih mungkin terjadi. Tentu
saja ini berpengaruh pada seberapa kuat pemulihan ekonomi terjadi. Pemulihan ekonomi sedang
terjadi. Pertanyaannya, seberapa kuat. Di tingkat makro kecenderungan
pemulihan terlihat cukup kuat. Namun di tingkat mikro perusahaan dan konsumen
lah yang lebih menentukan seberapa kuat pemulihan terjadi. Konsumen, terutama
yang berpendapatan tinggi dan menengah, siap membelanjakan tabungannya.
Konsumen golongan bawah dapat bantuan tunai yang berarti dari pemerintah
untuk menjaga konsumsi mereka. Bagi perusahaan, secara
formal masih menghadapi lemahnya neraca keuangan yang menyulitkan mendapatkan
kredit perbankan. Peningkatan permintaan akan sangat membantu perbaikan arus
kas perusahaan yang memperbesar akses pada kredit perbankan. Perbankan, sekalipun masih
harus menghadapi restrukturisasi kredit akibat pandemi ini, dengan likuiditas
yang besar, sebenarnya siap menyalurkan kredit dalam jumlah besar selama
debitor memperlihatkan perbaikan dalam neraca keuangan mereka. Inilah
dinamika ekonomi dan bisnis yang lebih menentukan seberapa kuat pemulihan
ekonomi terjadi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar