Puisi
Kegalauan Guru Besar Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior
Kompas |
KOMPAS, 15 Mei 2021
Dalam suasana Idul Fitri,
cuitan Twitter Prof Dr Emil Salim menarik perhatian. Dari akun @emilsalim2010,
mantan menteri Orde Baru itu mencuit: ”Selagi masyarakat ramai mendiskusikan
’keganjilan ujian kebangsaan bagi calon aparatur sipil negara di lingkungan
KPK’, sangat menarik bahwa tokoh pemerintah dan partai politik membungkam
diri, seakan-akan membenarkan ungkapan: berdiam diri berarti bersepakat?” Cuitan itu ramai. Pesan
Emil Salim menarik, mengapa semua diam melihat langkah pemimpin KPK Komisaris
Jenderal Firli Bahuri membebastugaskan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi
syarat sebagai aparatur sipil negara. Dalam bahasa awam, status 75 pegawai
itu digantung. Mereka tidak diberi pekerjaan. Mungkin harapannya, mereka
tidak kerasan dan memilih mundur dari KPK. Sebanyak 75 pegawai
dinyatakan tidak lulus tes kebangsaan. ”Tes wawasan kebangsaan bermasalah,”
kata anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, atas nama pribadi. Publik
tidak tahu utuh bagaimana tes dibuat karena memang tak ada penjelasan. Yang
tidak lolos pun dari berbagai latar belakang. Ada yang beragama Islam,
Kristen, ataupun Buddha. Namun, di antaranya, para kepala satuan tugas yang
sedang menangani kasus korupsi. Elite pemerintah terkesan
membiarkan kontroversi di KPK menjadi urusan internal KPK. Hanya tenaga ahli
utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin yang mau bersuara dan
”membela” kebijakan pemimpin KPK Firli Bahuri. DPR sebagai wakil rakyat pun,
sami mawon, diam. Sinyalemen Emil bahwa berdiam diri berarti bersepakat
mungkin benar adanya. Perang opini terjadi.
Beberapa pegawai yang tidak lolos dengan Komjen Firli Bahuri ditambah Juru
Bicara KPK Ali Fikri. Empat wakil pimpinan KPK lain, Alexander Marwata,
Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, tak muncul.
Padahal, pimpinan KPK adalah kolektif kolegial, bukan kepemimpinan tunggal. Begitu juga dengan Dewan
Pengawas KPK pilihan Presiden Joko Widodo yang diketuai Tumpak Hatorangan
Panggabean, Harjono, Albertina Hoo, Syamsuddin Haris, dan Indriyanto Seno
Adji yang masuk menggantikan Artidjo Alkostar. Hanya Syamsuddin dan
Indriyanto yang berbicara. Di luar, sejumlah ahli
hukum masih punya energi membela KPK. Seperti Zainal Arifin Mochtar, Feri
Amsari, aktivis ICW, dan belakangan Alissa Wahid dan Anita Wahid. Situasi ini
berbeda ketika Cicak-Buaya, sejumlah aktivis antikorupsi langsung berkumpul
di KPK saat KPK akan dilumpuhkan. Boleh jadi sebagian dari mereka sudah lelah
dengan keadaan atau sudah berada dalam posisi nyaman yang meninabobokan. Apakah betul kesunyian ini
merupakan jalan mengantarkan KPK menuju kematian di bulan reformasi Mei 2021,
biarlah sejarah mencatat. Sudah menjadi sejarah bangsa, kehadiran lembaga
antikorupsi mengganggu kenyamanan. Kenyamanan koruptor yang mau
memperdagangkan pengaruh dan memperjualbelikan jabatan. Sejak Orde Lama, Orde
Baru, dan Reformasi, lembaga antikorupsi mati. KPK bisa bertahan 18 tahun
sejak didirikan tahun 2003. Pada era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, beberapa kali KPK dikriminalisasi. Presiden Yudhoyono
turun tangan membentuk tim independen untuk melindungi KPK. Presiden
Yudhoyono berani mengambil langkah membebaskan komisioner Bibit Samad Rianto,
Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad yang sempat berurusan
dengan Polri sehingga KPK masih bisa eksis. Kini, pemandulan KPK
diduga dilakukan dengan kerja sama kepentingan pemerintah dan DPR. UU KPK
direvisi, gugatan uji formil ditolak Mahkamah Konstitusi, dan kemudian
langkah ”penggusuran” pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan
kebangsaan. Sejak awal, KPK tak
dikehendaki elite bangsa ini. Ia lahir karena tekanan massa pada Mei 1998.
Hampir semua cabang kekuasaan ada perwakilannya di penjara korupsi. Hampir
semua partai politik punya wakil di penjara KPK. Saat ini, masih ada kasus
dana bansos yang dikorup dan masih diselidiki, korupsi di kementerian
kelautan, ada wakil ketua DPR yang diduga cawe-cawe mengatur penyidikan KPK. Dari teori kepentingan,
wajar kalau ada keinginan terbuka atau tertutup untuk mengendalikan atau
mematikan KPK. Suasana kebatinan bangsa ini seperti tercekam ketakutan.
Republic of Fear. Yang menjalankan kekuasaan khawatir dengan kelangsungan
kekuasaannya. Yang berada di luar kekuasaan khawatir tidak kebagian kue
kekuasaan. Politik ketakutan tidak sejalan dengan politik kebangsaan yang
antikorupsi. Dewan Pengawas KPK punya
kewenangan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK. Presiden sebagai kepala negara
punya kekuasaan menyelamatkan KPK dan pegawainya. Membentuk tim independen
untuk mengaudit masalah yang menimbulkan krisis di KPK adalah salah satu
jalan. Tim independen akan menambah bobot kredibilitas keputusan. Trust dan
krisis otoritas sedang terjadi di KPK. Jika ada kemauan politik
untuk menyelamatkan KPK, tentu masih ada jalan. Tapi jika ada.... ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar