Prospek
Niaga Digital di Tengah Ekonomi Global Haris Zaky Mubarak ; Direktur Jaringan Studi Indonesia |
KOMPAS, 24 Mei 2021
Sejak pandemi Covid-19
mendatangi kehidupan umat secara global, hampir seluruh tatanan sosial dan
ekonomi, termasuk industri di Indonesia mengalami perubahan. Ada yang mampu bertahan,
ada pula yang mengalami krisis keuangan besar. Menyikapi permasalahan ini,
harapan lahirnya kebangkitan ekonomi nasional mulai tumbuh seiring
dijalankannya program vaksinasi Covid-19 secara massal. Tujuan utamanya hanya
satu, yakni membawa Indonesia kembali pulih dan bangkit dari krisis
multidimensi yang ditimbulkan selama pandemi Covid-19. Menilik kondisi yang
berjalan selama ini, kondisi pelaku usaha dan industri masih berada dalam
tekanan hebat. Hantaman krisis yang terjadi lebih dari setahun membuat
industri tak mampu membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi secara jauh. Apalagi,
berbagai risiko dan ketidakpastian masih membayangi pelaku usaha. Maka tak heran, jika
pemerintah terus berupaya memberikan penguatan kepada industri, terutama
sektor usaha yang menyerap banyak tenaga kerja. Langkah taktis pemerintah
menggelontorkan berbagai jenis insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, untuk
industri, layak dipresiasi. Misalnya, insentif fiskal yang memberi perluasan
relaksasi Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM) di sektor otomotif, yang
berlaku sejak 1 April 2021. Selain kebijakan fiskal,
pemerintah juga mereformasi perizinan secara digital guna mendorong
efisiensi, kemudahan usaha, dan transparansi. Semua jenis perizinan akan
dilakukan terintegrasi secara elektronik dalam satu sistem online single
submission mulai Juni 2021. Memperlebar
ketimpangan Dalam data Kementerian Perdagangan
Indonesia, sebanyak 63,39 persen pelaku niaga digital (e-dagang/e-commerce)
merupakan masyarakat di kelompok 20 persen terkaya. Dengan kata lain,
pertumbuhan niaga digital di Indonesia berpotensi memperlebar ketimpangan
sosial ekonomi karena dikuasai oleh masyarakat kelas atas yang memiliki akses
terhadap keran barang impor. Hal ini juga membuktikan
jika pertumbuhan niaga digital belum inklusif bagi kelas menengah atau Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ataupun bagi kelompok masyarakat rentan.
Pengusaha lokal kelas menengah ke bawah yang bergulat di sektor
makanan-minuman, sepatu, tekstil, furniture, dan mainan anak, faktanya
merupakan kelompok yang paling terdampak oleh masifnya serbuan produk impor
yang dijual lewat niaga digital. Euforia niaga yang sarat
produk murah faktanya telah menghambat pertumbuhan industrialisasi ekonomi
nasional secara berkeadilan bagi semua kelompok pelaku usaha. Padahal, dalam sisi
regulasi, pemerintah sebenarnya telah memiliki kebijakan, yakni Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag) No 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan
Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan
melalui Sistem Elektronik, yang menekankan pada pengutamaan produk dalam
negeri. Aturan ini mewajibkan
semua pelaku usaha niaga digital Indonesia untuk mengutamakan perdagangan
lokal, demi meningkatkan daya saing barang dan jasa hasil produksi dalam
negeri. Hubungan
global Melonjaknya nilai impor
barang konsumsi sejak kemunculan budaya e-commerce (niaga digital) pada tahun
2015, faktanya sudah membawa perubahan drastis bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Berdasarkan catatan Badan
Pusat Statistik (BPS), nilai impor barang konsumsi sepanjang 2015 mengalami
kenaikan sebesar 10,87 miliar dollar AS, kemudian memuncak hingga menyentuh
17,18 miliar dollar AS pada 2018. Kini, angka pertumbuhan
impor barang konsumsi itu semakin berjalan masif. Sepanjang 2020, impor
barang konsumsi Indonesia sudah menembus angka 14,65 miliar dollar AS.
Melihat potensi ini, Indonesia sesungguhnya dapat memanfaatkan momentum
kebijakan non tarif untuk dapat mengerem laju impor barang konsumsi, guna
memberikan kesempatan yang lebih bagi para pelaku UMKM agar dapat bersaing
dan menyuplai produk-produk lokal. Dalam data terbaru
Organisasi Perdagangan Dunia (WT0) terungkap data ekonomi yang menarik, yakni
bahwa Indonesia memiliki kebijakan non tarif yang berlaku untuk 325 produk.
Jumlah ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan India yang memiliki
kebijakan non tarif untuk 839 produk, China 2.903 produk, dan Amerika 6.195
produk. Dalam Rapat Kerja Nasional
Kementerian Perdagangan 2021, terkait kebijakan non tarif global, Menteri
Perdagangan Muhammad Lutfi telah berkomitmen untuk menyusun aturan kesetaraan
berbisnis niaga digital global, demi mencegah terjadinya harga predator yang
sengaja dimainkan dalam pasar Internasional. Peluang mewujudkan kondisi
kesetaraan bisnis global, tentu saja sangat dimungkinkan, karena Indonesia
memiliki prospek yang cerah sebagai negara pengembang pasar ekonomi digital
terbesar di Asia Tenggara. Hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas ekonomi
berbasis internet (gross merchandise value/GMV) yang mampu tumbuh 5 persen
atau setara 105 miliar dollar AS selama pandemi 2020. Adapun nilainya
diprediksi mencapai 309 miliar dollar AS pada 2025. Di Indonesia, pertumbuhan
ekonomi digital telah mencapai dua digit, di atas negara-negara ASEAN,
seperti Malaysia dan Singapura. Indonesia hanya kalah dengan Vietnam yang
pertumbuhannya 16 persen. Karena itu, wajar jika tata niaga digital perlu
terus ditumbuhkan melalui kerja sama investasi. Selain itu, pembinaan
ekosistem yang mumpuni diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi digital yang
diperkirakan akan terus berkembang setelah pandemi. Rasionalitas
kerja sama Tahun 2021, pemerintah dan
DPR berhasil mengesahkan Rancangan Undang–Undang (RUU) tentang Persetujuan
Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership
Agreement/CEPA) antara Indonesia dan negara-negara European Free Trade
Association (EFTA), pada Rapat Paripurna DPR 9 April 2021. EFTA merupakan organisasi
antar-pemerintahan yang didirikan dalam upaya mendorong perdagangan bebas dan
integrasi ekonomi untuk kepentingan negara-negara anggotanya yaitu Islandia,
Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss. Perjanjian Kemitraan
Ekonomi Komprehensif CEPA Indonesia-EFTA mencakup perdagangan barang dan
jasa, investasi, dan peningkatan kapasitas. Melalui perjanjian ini, aneka
produk Indonesia mendapatkan akses pasar berupa konsesi penghapusan dan
pengurangan tarif, sehingga akan lebih kompetitif di pasar EFTA. Indonesia akan mendapatkan
penghapusan 7.042 pos tarif Swiss dan Liechtenstein, 6.338 pos tarif Norwegia
dan 8.100 pos tarif Islandia. Namun, dalam mendukung
arah kebijakan ini, pemerintah harus membuat beberapa program strategis, di
antaranya peraturan pendukung seperti peraturan Menteri Keuangan terkait tata
cara pengenaan dan penetapan tarif bea masuk, dan peraturan Menteri
Perdagangan terkait ketentuan Surat Keterangan Asal (SKA) barang. Aturan ini diharapkan
dapat diimplementasikan pada awal semester II-2021. Sebagai data acuan, sejak
April 2021 Kementerian Perdagangan telah memprediksi terjadinya kenaikan
ekspor Indonesia ke kawasan EFTA dengan nilai ekspor mencapai 2,4 miliar
dollar AS atau meningkat 195,72 persen dibandingkan 2019 yang hanya sebesar
829,4 juta dollar AS. (Kemendag RI, 2021). Merujuk butir perjanjian
Indonesia-EFTA CEPA (IE-CEPA), yaitu penghapusan tarif bea masuk di
masing-masing negara EFTA dengan penghapusan sejumlah pos tarif impor negara-negara
EFTA, maka hal itu akan menyebabkan harga produk menjadi murah dan semakin
beragam. Sementara, sebaliknya,
produk barang negara-negara EFTA yang memenuhi kriteria juga akan diberikan
penghapusan tarif oleh Indonesia di pasar Indonesia. Dengan penurunan tarif
dalam kerangka kerja sama IE-CEPA ini, maka Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia diprediksi akan meningkat dan para pelaku usaha Indonesia juga
diuntungkan dengan pengurangan tarif bea masuk untuk impor barang modal,
bahan baku dan produksi. Pembenahan
tata niaga digital Dalam konteks ini, ada dua
pendekatan penting yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, Kementerian
Perdagangan perlu memberikan relaksasi terkait Penerimaan Negara Bukan pajak
(PNBP) yang berasal dari penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang. Kebijakan ini diharapkan
bisa mengurangi beban eksportir di tengah pandemi Covid-19. Dalam kebijakan
sistematis, pemerintah perlu tetap memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 137/PMK.02/2020 tentang Penetapan Tarif Nol Rupiah Atas Jasa
Penerbitan Surat Keterangan Asal yang Berlaku. Kedua, pemerintah perlu
membenahi tata niaga digital, terutama penentuan harga produk yang dipasarkan
secara global. Dalam mengantisipasi terjadinya lonjakan impor melalui tata
niaga digital, pemerintah harus dapat serius memberikan perlindungan yang
besar bagi pengembangan ekosistem perniagaan digital, demi mendukung
eksistensi para pelaku UMKM dalam negeri yang ingin mendapatkan hak dan
kesempatan ekonomi yang sama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar