Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan Minus Kolaborasi Firdaus Cahyadi ; Executive Director
OneWorld-Indonesia |
KOMPAS, 19 Mei 2021
Jika tidak ada aral
melintang pada Juli tahun ini, untuk ketiga kalinya pemerintah Indonesia akan
menyampaikan Voluntary National Review pada High Level Political Forum
Sustainable Development Goals di
kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Upaya pemerintah yang
secara rutin menyampaikan Voluntary National Review (VNR) di level
internasional pantas diapresiasi. Meskipun begitu perlu pula menjadi refleksi
kita semua, apakah berbagai capaian yang telah disusun dan dilaporkan itu
dihasilkan dari sebuah kerja kolaborasi antar pihak atau kerja
sendiri-sendiri? Berbeda dari pendahulunya
Millenium Development Goals (MDGs), Sustainable Development Goals (SDGs) atau
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dirancang dengan melibatkan seluruh aktor
pembangunan, baik itu pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor
swasta, akademisi, dan sebagainya. Tidak Meninggalkan Satu Orang pun
merupakan prinsip utama SDGs. Dengan kata lain, SDGs
bukan sekadar bagaimana mencapai tujuan pembangunan, namun juga dengan cara
apa tujuan itu dicapai? Apakah dengan kolaborasi antar pihak atau
sendiri-sendiri? Lantas, bagaimana
persoalan kolaborasi dalam SDGs ini di Indonesia? Di Indonesia, pemerintah
telah memiliki kerangka regulasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun
2017, kerangka kelembagaan multi pihak yaitu tim pelaksana dan tim koordinasi
nasional melalui Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)
Nomor 127/2018, serta 27 peraturan gubernur untuk Rencana Aksi Daerah per
September 2020. Indonesia juga sudah memiliki 19 SDGs Center di berbagai
universitas baik negeri maupun swasta, yang turut berupaya mendorong
pelaksanaan SDGs baik dalam riset atau pun menyebarluaskan semangat
pencapaian SDGs. Di satu sisi tentu saja
keberadaan regulasi tentang SDGs dan juga berdirinya SDGs center di berbagai
perguruan tinggi adalah sebuah perkembangan menggembirakan. Perkembangan itu
bisa menjadi pijakan bagi munculnya kolaborasi multi pihak terkait dengan
SDGs. Pertanyaan berikutnya
adalah dengan adanya payung hukum terkait SDGs dan berdirinya SDGs center di
perguruan tinggi apakah serta merta mendorong terjadinya kolaborasi di
Indonesia? Jawabnya ternyata tidak. Setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan kolaborasi dalam pencapaian SDGs belum terjadi di Indonesia. Pertama, adanya gap dalam
memahami SDGs antara pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Pemerintah
masih memahami SDGs secara sektoral. Masyarakat sipil melihatnya sebagai satu
kesatuan. Pemerintah mengungkapkan bahwa mencapai tujuan terkait pengurangan
kemiskinan dalam SDGs adalah yang paling penting. Terkait dengan itulah
pemerintah dalam pembangunan memprioritaskan pembangunan ekonomi. Cara pandang pemerintah
seperti itu mendapat kritik dari kelompok masyarakat sipil. Menurut mereka,
dalam SDGs sektor ekonomi, sosial dan lingkungan hidup itu menyatu dalam satu
matriks tidak bisa dipisah-pisah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
akan berkolaborasi jika masih ada perbedaan mendasar dalam memahami SDGs? Kedua, adanya gap dalam
melihat capaian SDGs. Aktor di dalam pemerintah sendiri berbeda dalam melihat
capaian SDGs. Beberapa waktu yang lalu misalnya, di sebuah media massa
nasional, Menteri Luar Negeri mengklaim bahwa target SDGs yang berhasil
dicapai itu adalah akses air bersih, dengan akses air bersih mencapai 76,44
persen. Namun, klaim itu justru
ditolak Bappenas. Bappenas, mengungkapkan bahwa angka capaian akses air
bersih masih di bawah target SDGs. Bukan hanya perbedaan pendapat, data yang
dipakai pun berbeda. Data BPS mengungkapkan bahwa capaian akses bersih baru
mencapai 72,55 persen. Pertanyaannya, bagaimana akan berkolaborasi bila
posisi terkait capaian SDGs bahkan data kuantitatif atas capaiannya pun
berbeda? Ketiga, dimanfaatkannya
SDGs untuk jargon kepentingan bisnis. Dalam berbagai pemberitaan di media
massa terungkap bahwa kelompok bisnis begitu antusias dalam menyambut SDGs.
Berbagai CSR dan penghargaan terkait SDGs pun digelar. Namun dalam
pemberitaan di media massa menyebutkan bahwa survei Navigator Research, 91
persen perusahaan mendukung pembangunan berkelanjutan. Tapi, hanya 27 persen
yang mampu mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan produk buatannya . Bahkan korporasi sawit dan
pemerintah justru menjadikan SDGs ini untuk membangun reputasi hijau yang
selama ini mendapat sorotan para penggiat lingkungan hidup, baik di dalam
maupun luar negeri. Jusuf Kalla, saat menjadi Wakil Presiden Indonesia pada
2018 misalnya, mengungkapkan bahwa jika sawit dilarang maka target SDGs tak
tercapai. Semua jajaran menteri
hingga pengusaha sawit di Indonesia seperti satu suara dalam menggunakan SGDs
ini untuk diplomasi bisnis sawit. Ini tentu mendapat perlawanan dari
organisasi lingkungan hidup di dalam maupun luar negeri. Pertanyaannya,
bagaimana akan berkolaborasi bila salah satu pihak merasa bahwa SDGs sudah
’dibajak’ pihak lain untuk kepentingan sempitnya? Apa pun isi laporan VNR
Indonesia di tingkat internasional, SDGs di Indonesia sesungguhnya masih
harus menempuh jalan panjang dan terjal. Persoalan kolaborasi yang masih
berada di tataran wacana harus segera diwujudkan dalam implementasi.
Mengimplementasikan kolaborasi dalam kerja-kerja nyata tidak mudah
membalikkan telapak tangan, apalagi bila masih ada agenda-agenda kepentingan
sempit yang disembunyikan. Indonesia harus berpacu
dengan waktu dalam mengimplementasikan kolaborasi SDGs ini. Tanpa ada
kolaborasi, SDGs akan terjebak pada persoalan matriks dan kolom, tanpa
membawa perubahan yang berarti bagi model pembangunan di Indonesia. Jika itu
terjadi maka prinsip Leave No One Behind dalam SDGs hanya akan menjadi jargon
semata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar