Rabu, 08 Juli 2015

Menjawab Islam Nusantara

Menjawab Islam Nusantara

   Muhammad Sulton Fatoni  ;  Wakil Sekretaris Jenderal PBNU;
Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta
KORAN SINDO, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Membaca artikel opini Faisal Ismail, Menyoal Islam Nusantara, di koran ini edisi Rabu, 1 Juli 2015, mendorong saya untuk menulis opini balik. Saya sengaja memberi judul Menjawab Islam Nusantara agar tulisan ini fokus memberikan catatan atas beberapa persoalan yang dikemukakan Faisal Ismail. Beberapa saja yang perlu saya beri catatan di sini mengingat keterbatasan kesempatan.

Pertama , saya ingin memulai dari tema ”Islam: the Straight Path” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ”Islam: Jalan Lurus”, atau ”Islam: Shirat al-Mustaqim.” Memaknai Islam: the straght path dengan Islam: jalan lurus tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namun menjadi persoalan besar jika menyamakan makna Islam: the straight path (Islam: jalan lurus) dengan Islam: shirath al-mustaqim. Rangkaian kata shirath almustaqim terdapat dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang lengkapnya, ihdina al-shirath al-mustaqim. Maksud kata shirath dalam nash tersebut adalah agama Islam. Sedangkan maksud mustaqim dalam ayat tersebut adalah kemapanan tanpa distorsi (Ahmad as-Showy, 1813).

Sehingga, jika dirangkai dalam satu kalimat, Islam: shiratal-mustaqim menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai kata. Padahal Rasulullah SAW menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya Allah, kerasulan Muhammad SAW, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875).

Begitu juga merangkai ”Islam” dengan kalimat rahmatan li al-alamin. Kalimat ini terdapat dalam Surat Al-Anbiya: 107, wama arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin (Aku tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa subyek dari misi ”mengasihi alam semesta” adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan objeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari: 919).

Maka rangkaian kata ”Islam rahmatan li al-Alamin” pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan merangkai kata. Fakta di atas tentu problem besar mengingat kedua kalimat tersebut (shirat al-mustaqim dan rahmatan li al-alamin) adalah bagian dari teks Alquran. Padahal, telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai Alquran.

Lalu bagaimana dengan terma ”Islam Nusantara”? Dua kata ini sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. Islam dan Nusantara adalah dua kata yang masingmasing mempunyai makna dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka jadilah rangkaian Islam Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.

Dalam ilmu bahasa Indonesia, jenis penggabungan kata ini disebut aneksi. Karena masuk dalam kategori aneksi, maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara. Maka pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atas terma Islam Nusantara itu cukup logis dan ilmiah dengan pertimbangan tidak menyalahi pakem ilmu bahasa Indonesia; dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara.

Maka, mengkritik terma Islam Nusantara dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori nisbat tentu mengadaada. Sekali lagi, kata Nusantara dalam rangkaian Islam Nusantara– dalam berbagai tulisan para pemikir NU–itu bukan untuk kategorisasi. Nusantara dalam konteks linguistik hanya menerangkan teritori di mana penghuninya memeluk agama Islam. Begitu juga mengkritik Islam Nusantara dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat.

Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa distorsi (shirath al-mustaqim).

Hanya saja terma Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir, 2015). Spirit Islam Nusantara adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal.

Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan pasti terjadi mengingat Islam itu ajaran yang universal. Dan Islam Nusantara adalah wujud Islam yang universal mengingat ia telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk hukum dan khazanah keislaman lain.

Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma Islam Nusantara, atau bahkan nanti menyusul muncul terma Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Australia, Islam Afrika, dan lainnya.

Terlepas dari kajian sisi linguistiknya yang masih diperdebatkan, terma Islam Nusantara dan Islam rahmatan li alalamin mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, Islam Nusantara lebih selamat mengingat tidak menimbulkan kekacauan arti.

Pada kesempatan ini saya justru mengkritik Faisal Ismail tentang konversi kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Betulkah konversi itu terjadi? Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu itu bukan wujud konversi dari kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Sesungguhnya di sana telah terjadi dialektika antara nash syariah dan budaya setempat sehingga tak terjadi pertentangan antara Islam dan budaya setempat.

Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di pesisir pantai, salah besar jika kedatangan Islam hanya sekadar melakukan konversi. Catatan terakhir, saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa di mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian.

Hanya, saya tidak sepakat jika Faisal berpendapat bahwa kekerasan dan peperangan di suatu negara muslim tertentu hanya harus dilihat dari konstelasi politiknya. Pengalaman PBNU mendamaikan beberapa suku di Afghanistan yang terlibat aksi kekerasan hingga kini tidak murni karena persoalan politik. Antarsuku masih mempunyai problem ideologis dan teologis dalam memandang negara perspektif Islam. Mereka juga masih mempersoalkan hubungan Islam dan nasionalisme.

Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada 1960-an dengan meletusnya pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beureuh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Meski awalnya sebagian sejarah menganalisis sebagai persoalan politik, namun dalam perkembangannya mereka mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam.

Aksi kekerasan di Indonesia adalah sejarah yang tak perlu diingkari. Namun, sejarah kekerasan yang singkat tersebut bukan berarti meruntuhkan terma Islam Nusantara yang mempromosikan kedamaian Indonesia yang telah berlangsung dalam skala yang lebih luas dan rentang waktu yang sudah ratusan tahun.

Menilik ajaran Islam yang berkembang di Indonesia, masyarakat muslim Indonesia bukan lahan subur bagi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama (Azyumardi Azra, 2015). Di antara buktinya, pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1927 Nahdlatul Ulama menyerukan ”perang kebudayaan” melawan penetrasi budaya Barat yang dibawa Belanda. Di susul pada tahun 1928 di mana NU memutuskan untuk memberikan perlindungan dan memperjuangkan keadilan secara kolektif dan masif bagi masyarakat Nusantara yang merasa terancam (dokumen PBNU, 1928).

Karena itulah Wahabisme tidak laku di Indonesia, meski telah dipasarkan sejak awal 1920-an. Memang benar kelompok Wahabi bukan teroris tapi satu digit lagi berpotensi jadi teroris karena mereka dilengkapi referensi, tinggal berani atau tidak (Said Aqil Siradj, 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar