Rabu, 08 Juli 2015

Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara

Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara

   Biyanto  ;  Dosen UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akhir-akhir ini umat dihadapkan pada dua narasi besar tentang Islam Indonesia. Dua narasi besar itu adalah Islam berkemajuan dan Islam Nusantara. Narasi Islam berkemajuan sangat lekat dengan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah telah menjadikan kata ”berkemajuan” sebagai tagline tema Muktamar Ke- 47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Tema yang diusung Muhammadiyah dalam muktamar kali ini adalah Dakwah Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan. Melalui tema ini Muhammadiyah ingin mewujudkan Islam masa depan yang modern, universal, dan mendunia.

Muhammadiyah sejak awal memang telah mengenalkan diri sebagai gerakan Islam berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah, KH AhmadDahlan, mengatakan bahwa Islam merupakan agama berkemajuan. Ungkapan Islam berkemajuan juga pernah dikemukakan Presiden Pertama RI, Soekarno. Senada dengan Kiai Dahlan, Soekarno juga menentang kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pandangan Sukarno ini merupakan buah dari interaksinya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama Kiai Dahlan dan KH Mas Mansur. Saat masih tinggal di Surabaya, Sukarno tergolong rajin mengikuti pengajian Kiai Dahlan.

Dalam amatan Kiai Dahlan, umat saat itu sudah jauh tertinggal dan enggan mengejar ketertinggalan karena maraknya budaya takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya, umat sulit membedakan antara praktik budaya yang menghambat kemajuan dengan ajaran agama yang sebenarnya. Kiai Dahlan menyadari betul bahwa mewujudkan Islam berkemajuan merupakan suatu keniscayaan. Spirit membumikan Islam berkemajuan pun terus digelorakan Kiai Dahlan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi awal.

Di tengah masyarakat yang belum memiliki kesadaran membayar zakat, Muhammadiyah membentuk panitia zakat (amil). Di tengah masyarakat yang masih mengandalkan dukun untuk menyembuhkan penyakit, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Di tengah masyarakat yang masih mengabaikan nasib anak yatim, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan. Di tengah masyarakat yang fanatik berpedoman pada kalender urfi warisan Sultan Agung, Muhammadiyah menawarkan ilmu hisab astronomi.

Saat banyak kalangan muslim memperdebatkan apakah sekolah modern kafir atau tidak, Muhammadiyah terus membangun sekolah-sekolah modern. Bahkan sebelum Muhammadiyah lahir, Kiai Dahlan telah mendirikan madrasah diniyah sebagai cikal bakal sekolah modern. Modernisasi pendidikan yang diprakarsai Kiai Dahlan merupakan terobosan penting pada masanya. Bagi Muhammadiyah, pendidikan modern merupakan metode yang jitu untuk memajukan umat.

Saat pendidikan masih diberikan secara terbatas pada elite priyayi, Muhammadiyah membuka kesempatan kepada anakanak dari masyarakat luas untuk belajar. Kiai Dahlan juga merumuskan tujuan pendidikan yang begitu ideal, yakni melahirkan individu yang tampil sebagai ulama-intelek atau intelek- ulama. Profil lulusan pendidikan ala Kiai Dahlan menunjukkan semangat mewujudkan Islam berkemajuan. Lulusan pendidikan diharapkan memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas serta kuat jasmani dan rohani. Pembaruan Muhammadiyah di segala bidang itu menunjukkan dengan jelas visi Islam berkemajuan.

Sementara itu, wacana Islam Nusantara sangat popular di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Diskursus Islam Nusantara juga dibicarakan dalam berbagai forum ilmiah. Bahkan dalam banyak kegiatan pengajian tidak jarang kiai-kiai NU menekankan pentingnya Islam yang berwajah Nusantara. Wacana Islam Nusantara menemukan momentum yang tepat, yakni jelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Muktamar NU juga mengusung tema Meneguhkan Islam Nusantara, Merawat Indonesia untuk Membangun Peradaban Dunia. Melalui tema ini NU ingin menjadi gerakan Islam yang ramah terhadap berbagai budaya di Nusantara.

Pendiri dan ideolog NU, KH Hasyim Asyari, dikenal luas sebagai ulama yang sangat akomodatif terhadap berbagai budaya agama populer (popular religion).
Hal itu dilakukan Kiai Hasyim untuk menjaga kekhasan Islam di Nusantara. Sementara ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, meniscayakan Islam Indonesia harus mencerminkan perilaku sosial budaya yang moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh). Menurut Kiai Said, tiga prinsip ini sekaligus menjadi solusi warga nahdliyin dalam menghadapi tantangan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, serta radikalisme bernuansa agama yang kian marak.

Konsepsi Islam Nusantara seakan menjadi narasi besar NU untuk membumikan ajaran Islam di Indonesia dan negara tetangga. Wacana Islam Nusantara kian populer setelah Presiden Jokowi turut memberikan dukungan. Saat hadir di tengah-tengah warga nahdliyin, Jokowi mengatakan bahwa Islam kita adalah Islam Nusantara, yakni Islam yang ramah dan moderat. Pernyataan Presiden dikemukakan untuk membandingkan wajah Islam Indonesia dengan nasib Islam di Suriah, Irak, dan Libya, yang hingga kini terus membara akibat konflik berkepanjangan.

Pertanyaannya, bagaimana menyandingkan narasi agung Islam berkemajuan dan Islam Nusantara? Idealnya dua narasi Islam Indonesia ini tidak dipahami secara binaris sehingga terkesan berhadap-hadapan. Keduanya harus dipahami secara utuh sehingga bisa saling melengkapi. Membumikan ajaran Islam di Nusantara dengan tetap mengakomodasi budaya sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) terasa sangat penting. Tetapi harus tetap dibedakan ajaran agama yang sebenarnya dan budaya agama. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Islam, budaya agama termasuk dalam kategori boleh (ibahah). Jika budaya agama itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus dikoreksi.

Narasi Islam Nusantara juga harus dimodernisasi agar sesuai dengan konteks kekinian. Islam Nusantara tidak boleh berwajah sinkretis, berpandangan romantis, dan antiperubahan. Islam Nusantara harus menampilkan wajah yang modern, mendunia, dan berpandangan futuristik. Pada konteks inilah Muhammadiyah dan NU harus bersinergi untuk mendakwahkan Islam di Nusantara yang berkemajuan dengan penuh optimistik. Dengan meminjam kata-kata bijak di dunia pesantren, dua ormas terbesar di Tanah Air itu harus mengamalkan ajaran al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik).

Dengan cara tersebut rasanya proses membumikan Islam dalam bingkai budaya Nusantara yang maju dan modern akan menjadi kenyataan. Jika kondisi ini terjadi, maka wajah Islam di Nusantara akan menjadi laboratorium dunia. Islam Indonesia juga akan menjadi lokomotif kebangkitan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar