Selasa, 07 Juli 2015

"Jer Basuki Mawa Bea"

"Jer Basuki Mawa Bea"

    Siswono Yudo Husodo  ;   Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila
KOMPAS, 07 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintahan Presiden Joko Widodo baru berjalan sembilan bulan, dengan situasi ekonomi yang kurang menggembirakan. Dipengaruhi ekonomi global, rupiah tertekan hingga Rp 13.312 per dollar AS pada Kamis (4/6/2015).

Semua mata uang Asia mengalaminya, tetapi rupiah memimpin pelemahan nilai tukar mata uang di kawasan Asia. Angka itu terendah dalam 17 tahun terakhir sejak krisis finansial 1998. Sebagian analis yang disurvei Bloomberg mengatakan, rupiah dapat melemah lebih parah ke kisaran Rp 13.500 per dollar AS akhir 2015.

Meskipun saat ini berbagai indikator fundamental ekonomi sangat berbeda dengan kondisi 1998, banyak pihak mulai khawatir. Antara lain karena pelemahan rupiah tidak diikuti oleh kenaikan ekspor. Pelemahan mata uang Malaysia dan Singapura diikuti dengan kenaikan ekspor. Pelemahan mata uang Yen di Jepang  diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kuartal pertama 2015. Sementara di Indonesia pertumbuhan ekonomi justru menurun dibanding rata-rata kuartal pertama 10 tahun terakhir.

Penerimaan pajak kurang dari target, padahal pajak adalah unsur penting untuk  membangun kemandirian bangsa. Sejak 1998, di APBN, penerimaan pajak dan PNBP sudah lebih kecil dari pengeluaran rutin dan pembangunan sehingga untuk membiayai jalannya negara, menyelenggarakan pembangunan  dan membayar cicilan pokok dan bunga utang lama, kita harus membuat utang baru yang lebih besar dari cicilan utang lama.

Harga pangan yang meningkat menjelang Idul Fitri juga menjadi kekhawatiran masyarakat luas.

Prakiraan positif

Di tengah situasi yang cenderung suram, muncul analisis lembaga riset internasional mengenai masa depan ekonomi Indonesia yang  menjanjikan. Dikutip dari CNBC akhir April 2015, Kepala Ekonom Asia Pasifik IHS (lembaga think tank ternama yang berdiri sejak 1959, berpusat di Colorado, dengan 4.400 tenaga ahli di lebih dari 30 negara) Rajiv Biswas mengatakan, ekonomi Indonesia berkapasitas tumbuh 5,4 persen pada 2016-2020, cukup tinggi untuk ukuran dunia.

Buahnya, tahun 2017 ukuran ekonomi Indonesia akan mencapai 1,14 triliun dollar AS, meningkat dari 870 miliar dollar AS saat ini. Diramalkan tahun 2023 PDB Indonesia mencapai 2,1 triliun dollar AS, masuk 10 besar dunia,  melebihi Australia, Rusia, dan Spanyol.  Dengan kondisi itu, pengaruh Indonesia akan meningkat di panggung  dan lembaga  internasional, seperti G-20, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan PBB.

Bukti-bukti empirik menunjukkan, tingkat PDB 1 triliun dollar AS akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kita harus bersiap memanfaatkan  kondisi tersebut.

Analisis lembaga riset The Boston Consulting Group  menyebutkan, jumlah konsumen kelas menengah  Indonesia tahun 2020 akan mencapai 141 juta orang, dua kali lipat tahun 2012 yang 74 juta jiwa.

Besaran ekonomi 1 triliun dollar AS dan jumlah kelas menengah sebanyak penduduk Jerman adalah modal pertumbuhan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain di Asia Tenggara.

Pada 21 Mei 2015 Standard & Poor's (S&P) mengumumkan perbaikan peringkat utang Indonesia dari stabil ke positif.  S&P mengafirmasi dalam 12 bulan mendatang peringkat utang Indonesia pada BB+. Hal ini akan meningkatkan investasi portofolio dan investasi langsung.

Sinyal baik juga muncul dari defisit transaksi  berjalan  triwulan II-2015 yang menurun ke 2,5% PDB, sesuatu yang kita harapkan ke depan menjadi surplus. Pada triwulan yang sama tahun 2014 defisit 8,7 miliar dollar AS (4,06% PDB) dan tahun 2013 8,6 miliar dollar AS (3,89% PDB).

Juga catatan positif terobosan mengendalikan harga pangan melalui pendirian lembaga Badan Pangan Nasional (BPN) yang berwenang mengusulkan kepada Presiden untuk menugasi BUMN bidang pangan melaksanakan produksi, penyimpanan, dan distribusi pangan.

Perlu konsolidasi kekuatan negara menghadapi mafia pangan yang mendikte pasar. Langkah ini perlu diikuti dengan reformasi agraria, agar petani produsen pangan lebih sejahtera. Ekonomi nasional akan lebih bergairah dan semakin kuat.

Sepanjang 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, kebijakan populis berupa subsidi sangat besar untuk BBM, listrik, pupuk, raskin, BOS, dan lain-lain pernah mencapai hampir Rp 400 triliun per tahun atau 30% APBN. Hal ini menumbuhkan kelas menengah yang sangat besar yang membuahkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada konsumsi. Suatu kebijakan yang tepat untuk waktu itu.

Setelah kelas menengah Indonesia  meningkat, lebih tepat jika subsidi yang begitu besar dialihkan  untuk sektor-sektor produktif terutama infrastruktur untuk menciptakan daya saing nasional yang lebih tinggi, meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pangan, diversifikasi sumber energi  ke energi terbarukan (hidro dan geotermal), pendidikan dan kesehatan masyarakat guna meningkatkan kualitas  pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Akibat besarnya alokasi subsidi pada masa lalu, tak banyak infrastruktur baru yang bisa dibangun. Dengan kondisi itu, devisa masuk melalui investasi terbatas pada sektor keuangan dan jasa; kurang pada industri manufaktur karena mahalnya proses produksi dan distribusi.

Pengalihan subsidi energi untuk membangun infrastruktur secara besar-besaran adalah keputusan  politik ekonomi yang sangat tepat yang akan mendorong pertumbuhan dan investasi.

Pengembangan infrastruktur

Buah dari pemerintahan terdahulu dan kebijakan pembangunan Presiden Jokowi, Tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,75 kilometer sudah dibuka, proyek jalan tol trans-Jawa dipercepat dan jalan tol trans-Sumatera mulai dikerjakan. Tol laut satu demi satu juga mulai beroperasi. Bendungan Jatigede sebentar lagi diresmikan. Di banyak tempat lain, proyek pelabuhan laut dan bandara juga sedang dikerjakan.

Menariknya, pembangunan infrastruktur dilakukan dengan pendekatan baru. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa sebagian dana hasil pengalihan subsidi BBM pada APBN   untuk  tambahan  modal BUMN Rp 70 triliun guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan disuntik modal Rp 10 triliun, PT Pelindo (Persero), plus pinjaman dari perbankan Rp 40 triliun, dapat berinvestasi membangun infrastruktur pelabuhan sampai Rp 50 triliun. Jika langsung dari APBN, hanya akan menciptakan investasi Rp 10 triliun. Dengan pola serupa, BUMN PT Hutama Karya disuntik modal untuk membangun tol Palembang-Bandar Lampung. Pola ini akan diterapkan pada beberapa BUMN. Dengan kebijakan itu, harapannya pertumbuhan ekonomi tahun 2016 bisa di atas 7 persen.

Kebijakan pemanfaatan dana pengurangan subsidi BBM untuk menambah modal BUMN meningkatkan pertumbuhan ekonomi  sangat tepat. Yang perlu dijaga adalah efektivitas dan efisiensi pemanfaatan penambahan modal tersebut. Bukti empirik menunjukkan negara-negara yang kuat menghadapi gejolak dunia yang makin sering akibat dari peningkatan interdependensi adalah yang memiliki cadangan devisa besar, seperti Jepang, Tiongkok, Taiwan, Jerman, dan Rusia.

Cadangan devisa RI harus meningkat melalui peningkatan ekspor. Setiap WNI sesuai kapasitasnya juga bisa ikut  meringankan beban negara, antara lain melalui penghematan penggunaan devisa. Saya teringat ucapan Presiden Amerika Serikat  JF Kennedy, "Don't ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country!"

Sebaiknya masyarakat  membatasi bepergian ke luar negeri hanya jika perlu. Tahun 2014, wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 9 juta orang (mendatangkan devisa 10,27 miliar dollar AS) dan menurut Bank Dunia, wisatawan Indonesia ke luar negeri 7,97 juta orang (memerlukan devisa 7,62 miliar dollar AS).

Berhaji atau umrah cukup satu kali bagi yang mampu sesuai yang diwajibkan. Nanti setelah cadangan devisa kuat, silakan lebih sering. Tak perlu ada dana aspirasi anggota DPR dan kunjungan anggota DPR ke luar negeri dilakukan dengan sangat selektif. Hidup hemat adalah hal yang dilakukan masyarakat Jepang seusai Perang Dunia II. Sebagai negara yang kalah perang, selain harus memulihkan infrastruktur yang hancur, ia harus membayar pampasan perang. Dengan berhemat, Jepang mencapai kemajuan mengagumkan dan tradisi hidup hemat dilanjutkan sampai sekarang meski sudah makmur.

Perlu pula diberi insentif produksi dalam negeri  untuk substitusi impor dan barang-barang ekspor. Tiongkok memberikan insentif besar pada produk-produk ekspornya. Di sini, dari kaki lima sampai mal dipenuhi barang Tiongkok murah.

Peningkatan porsi energi geotermal dan tenaga air  untuk PLN juga akan menghemat banyak devisa. Sekarang ini kurang dari 5% tenaga listrik menggunakan geotermal, padahal  50% potensi geotermal dunia ada di Indonesia.

Agenda divestasi perusahaan asing yang bidang usahanya sudah dikuasai pelaku usaha lokal dan hilirisasi industri pertambangan perlu didorong. Kita tak mau seperti beberapa negara yang mayoritas perusahaan besarnya adalah perusahaan asing.

Di awal pemerintahan Presiden Jokowi memang masyarakat mengalami kepahitan dengan nilai rupiah anjlok, harga BBM dan harga produk pangan yang naik, tetapi perlu disadari bahwa yang sedang diperbaiki adalah kualitas pertumbuhan ekonomi yang manfaatnya baru kita rasakan 3-5 tahun mendatang. Rakyat perlu sabar karena yang sedang dilakukan akan menciptakan masyarakat sejahtera yang mandiri dan berkelanjutan.

Kelak rakyat Indonesia menikmati pelayanan negara dengan asuransi kesehatan, sekolah gratis sampai sekolah lanjutan atas bahkan universitas, jaminan hari tua, pengangguran dan orang yang tidak produktif ditanggung negara, serta sistem transportasi yang murah dan efisien. Kesemuanya itu sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakat yang telah semakin produktif dan makmur.

Kata pepatah Jawa, jer basuki mawa bea. Untuk sejahtera perlu pengorbanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar