Membentengi
Keselamatan Jurnalis Herlambang P Wiratraman ; Anggota Akademi
Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Pengajar FH UNAIR, dan Penulis buku Press
Freedom, Law and Politics in Indonesia (2014) |
KOMPAS, 3 Mei 2021
”Berharap,
apa yang saya alami ini kekerasan terakhir terhadap jurnalis!” (Nurhadi,
jurnalis, 2021) Publik dikejutkan dengan penganiayaan
terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi, yang diduga dilakukan sejumlah pengawal
Angin Prayitno Aji, tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap
pajak, akhir Maret 2021, di Surabaya. Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis
terjadi saat ia menjalankan tugas jurnalistiknya. Kekerasan, diikuti dengan
merampas alat kerja dan merusaknya (Kompas 29/3/2021). Kini, kasus tersebut bergulir dan ditangani
Polda Jatim. Sejumlah tersangka telah ditetapkan dan penegakan hukum memasuki
proses penyidikan. Tentunya, komunitas jurnalis dan pendukung kebebasan pers
berharap kasus ini berlanjut ke proses peradilan dan meneguhkan
pertanggungjawaban hukum melalui penghukuman bagi siapa pun pelaku kekerasan. Mengapa keselamatan jurnalis begitu rentan
mendapat kekerasan? Apakah impunitas yang terjadi terkait sistem hukum pers
yang lemah ataukah penegakan hukumnya yang tidak berfungsi baik? Tulisan ini
menakar sejauh mana harapan jurnalis Nurhadi sebagaimana dikutip di sini
menjadi lebih relevan. Inisiatif
Austria Saat memenuhi undangan Geneva Academy of
International Humanitarian Law and Human Rights, University of Geneva Law
School, 2019, sempat berdiskusi panjang dengan wakil Misi Permanen Austria
untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Austria, sebagai wakil negara yang berada
di Dewan HAM PBB, berupaya meyakinkan memerangi impunitas dan mencegah
serangan terhadap jurnalis. Atas inisiatif Austria, perwakilan negara,
pemangku kepentingan dari organisasi internasional dan masyarakat sipil serta
ahli independen, mendukung dan bahkan mendorong pertemuan ahli tingkat tinggi
tentang ”Keselamatan Jurnalis: Menuju Kerangka Perlindungan Internasional
yang Lebih Efektif” (23/11/2012). Pada sesi ke-20 Dewan HAM PBB, Juni 2012,
Deklarasi tentang ”Keselamatan Jurnalis” diadopsi dan mendapat dukungan resmi
dari 56 negara. Puncaknya, sesi ke-21 Dewan HAM PBB, terbit resolusi tentang
Keselamatan Jurnalis. Resolusi ini mendapatkan tidak hanya
sponsor utama dari Brasil, Maroko, Swiss, dan Tunisia, tetapi juga mendapat
dukungan dari 67 negara sebagai sponsor bersama (co-sponsors). Perkembangan
terakhir, Dewan HAM PBB telah mengeluarkan Resolusi Keselamatan Jurnalis
(A/HRC/RES/39/6, 27/10/2018) dan diikuti oleh Majelis Umum PBB yang pula
mengeluarkan Resolusi Keselamatan Jurnalis dan Isu Impunitas (A/RES/74/157,
18/12/2019). Hal mendasar dari resolusi ini adalah
mengutuk keras semua jenis serangan terhadap jurnalis, menyerukan
penyelidikan independen dan mengadili pelaku, serta untuk implementasi
tindakan pencegahan, seperti program perlindungan bagi jurnalis. Inisiatif
Austria hingga diadopsinya resolusi melengkapi UNESCO yang saat ini
mengimplementasikan Rencana Aksi untuk Melindungi Jurnalis dari Kekerasan dan
Intimidasi. Tren
kekerasan Inisiatif maju di Geneva bertolak belakang
dengan realitas serangan terhadap jurnalis. Catatan Federasi Internasional
Jurnalis (IFJ, 2021) menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, lebih dari 600
jurnalis terbunuh. Sembilan dari sepuluh kasus tetap tidak diproses hukum.
Akibatnya, iklim impunitas menguat. Di sisi lain, ratusan jurnalis dipenjara
dan setiap hari jurnalis diserang, dipukuli, ditahan, dilecehkan, dan
diintimidasi. Bahkan, kini, terjadi peningkatan ancaman terhadap keamanan
digital, peretasan, pelecehan online, terutama terhadap jurnalis perempuan,
yang semuanya melahirkan krisis keselamatan bagi jurnalis. Dalam hitungan Lembaga Pers Internasional
(IPI, 2020), tercatat lebih dari 1.700 jurnalis telah terbunuh akibat
aktivitas profesional mereka sejak tahun 2000 (per 28 Oktober 2020). Pada
2020, terdapat 39 jurnalis terbunuh di seluruh dunia, setelah tahun
sebelumnya 79 jurnalis terbunuh. Dari data itu, kasus yang diproses hukum
sangat rendah, sekitar 94 persen dari kasus yang dilaporkan. Terakhir,
diberitakan dua wartawan Spanyol, David Beriain dan Roberto Fraile, tewas
terbunuh di Burkina Faso karena liputan dokumenter (Kompas, 28/4/2021, hal
4). Jumlah korban sebenarnya berkali-kali lebih
tinggi karena penyerangan terhadap jurnalis online ataupun offline terus
meningkat. Meningkatnya serangan terhadap jurnalis dan media kritis
sesungguhnya terkait dengan tren menurunnya kualitas demokrasi di sejumlah
negara. Bagaimana
Indonesia? Dalam konteks Indonesia, serangan terhadap
jurnalis berpusat pada dua isu, pengungkapan kasus korupsi dan kasus
eksploitasi sumber daya alam secara eksesif, termasuk saat meliput penolakan
revisi UU KPK 2019 dan UU Cipta Kerja 2020. Pengungkapan kasus dan penegakan
hukumnya lebih banyak memperlihatkan fakta impunitas. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI,
2020) memperlihatkan, setidaknya 84 kasus serangan atau kekerasan menyasar
jurnalis di sejumlah daerah sepanjang 2020 dan mayoritas tidak pernah diusut
oleh penegak hukum. Jurnalis rentan mendapat kekerasan karena
tiga faktor dominan. Pertama, impunitas yang terus menguat. Penegak hukum
konvensional kerap menghadirkan bukti kekerasan. Akibatnya, jarang diproses
hukum. Apabila diproses, lemah argumentasi hukumnya. Persidangan kasus Ghinan
(Radar Madura, Bangkalan) yang dianiaya belasan orang saat liputan berakhir
dengan dibebaskannya pelaku kekerasan. Kedua, dominasi politisasi kasus. Kekerasan
terhadap jurnalis kerap melibatkan orang kuat, jaringan kekuasan partai,
politisi atau pemodal, yang mengintervensi penegakan hukum. Kepercayaan
publik yang rendah terhadap penegakan hukum seakan menggampangkan kekerasan
di ruang publik. Kasus pembunuhan jurnalis Prabangsa
memperlihatkan betapa upaya penegakan hukumnya berliku-liku terkait
politisasi kekuasaan sehingga perlu ”lampu hijau” dari petinggi partai untuk
memproses hukumnya (Wiratraman, 2014). Ketiga, dukungan perlindungan jurnalis di
internal perusahaan pers juga terbatas, atau bahkan tidak ada. Sering kali
kekerasan terhadap jurnalis dipaksakan penyelesaian secara damai. Pemilik
media justru ikut menekan jurnalis, termasuk dengan alasan merugikan ekonomi
perusahaan pers. Sayangnya, penegakan hukum pers melalui
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, terutama Pasal 18 Ayat (1) terkait
”menghambat dan menghalangi” kegiatan jurnalistik tidak digunakan secara
optimal oleh penegak hukum. Untuk menjaga dan membentengi keselamatan
jurnalis, diperlukan komitmen politik kuat mendorong kewajiban negara
melindungi jurnalis serta memastikan kondisi kerja yang aman. Keselamatan jurnalis mendasar untuk
mewujudkan hak universal atas informasi, kebebasan berekspresi dan media,
sekaligus menjaga prinsip demokrasi. Dukungan keselamatan jurnalis tidak akan
kuat bentengnya jika tidak ada upaya bersama organisasi media, perwakilan
masyarakat sipil, organisasi internasional, serta jurnalis dan pekerja media
itu sendiri, menjaga dan mengembangkan iklim kebebasan pers. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar