Rezim
Pendidikan dan Penelitian Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 3 Mei 2021
Pendidikan itu bukan hanya memupuk
kemampuan mengetahui (knowledge) dan membuat (skill), namun yang lebih
mendasar keistimewaan dalam berbuat (virtues). Fungsi pendidikan dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus didasari pendidikan nilai dan karakter
sebagai modal sosial dan modal moral dalam rangka melahirkan manusia berbudi
luhur sebagai bekal menjadi warga negara dan warga dunia yang baik.
Aristoteles mengingatkan, “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah
pendidikan sama sekali.” Ditambahkan CS Lewis, “Pendidikan tanpa
nilai, seberapa pun manfaatnya, tampaknya hanya akan melahirkan iblis yang
pintar.” Kecuali jika pengetahuan bisa ditransformasikan menjadi
kebijaksanaan dan kebijaksanaan diekspresikan dalam karakter, pendidikan
merupakan usaha kemubaziran yang destruktif. Dengan demikian, pendidikan harus dimulai
dari usaha humanisasi melalui penanaman nilai luhur akhlak-karakter.
Kebajikan akhlak-karakter merupakan buah pembudayaan kebijaksanaan praktis
(phronesis). Peserta didik dilatih secara fokus mengasah kemampuan bertindak,
memilih dan merancang tujuan moral hidupnya secara baik dan benar, di bawah
arahan pendidik kapabel. Dalam usaha tersebut, keteladanan lebih
efektif daripada berbusa omongan kosong, apalagi bohong. Bagaimana mungkin
peserta didik bisa melatih kebijaksanaan praktis bila pendidiknya tak
menunjukkan suri tauladan, dan pengampu kebijakan pendidikannya sering
melakukan klarifikasi berbagai kekeliruan elementer yang merefleksikan
kekurangan integritas dalam kesungguhan dan ketelitian berbuat. Lebih dari itu, bagaimana mungkin komunitas
kependidikan bisa yakin sektor pendidikan dan penelitian merupakan fokus
pembangunan, bila terkuak aneka inkonsistensi antara yang disuarakan (voices)
dengan pilihan kebijakan dan orang (choices). Peta
jalan pendidikan Berbagai inkonsistensi itu tercermin dalam
Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Dalam konsideran tentang perubahan
teknologi, sosiokultural, dan lingkungan, bisa kita temukan berbagai
defisiensi. Dalam mengargumentasikan tantangan disrupsi
teknologi, penglihatannya lebih tertuju pada dampak perubahan teknologis
terhadap bidang kehidupan pekerjaan dan keteknikan, sehingga jawaban terhadap
tantangan ini lebih menekankan kecakapan teknis (literasi teknologis) peserta
didik. Dalam mengargumentasikan perubahan
sosio-kultural, pusat perhatiannya lebih tertuju pada kelas menengah,
urbanisasi dan mobilitas tenaga kerja. Konsekuensinya, masyarakat pedesaan,
terpinggir dan terbelakang seakan di luar imajinasi tantangan pendidikan. Dilupakan bahwa selain harus merespons
tantangan disrupsi teknologi, kita juga harus terus memperjuangkan emansipasi
dengan memerhatikan tingkat peradaban industrial Indonesia secara
keseluruhan. Saat kita terobsesi membincangkan kehadiran era industri 4.0,
kita lupa masih ada lapisan masyarakat Indonesia yang bahkan belum memasuki
tahap industri 1.0. Dengan kata lain, perhatian tak boleh hanya
tertuju pada kalangan menengah atas yang memiliki akses terhadap teknologi
baru, tapi juga harus secara serius meningkatkan taraf teknologis kelompok
tertinggal. Hal ini penting karena dalam iringan kereta berkuda, kecepatan
lari kereta berkuda tak ditentukan oleh kuda yang larinya paling kencang,
tetapi oleh kuda yang larinya paling lambat. Dilupakan juga, setiap perkembangan
teknologi memiliki dampak positif dan negatifnya bagi kehidupan sosial.
Membicarakan dampak perubahan teknologi seharusnya tak cukup memerhatikan
pengaruhnya pada bidang pekerjaan-keteknikan secara terpukau dengan
“janji-janji” kemajuannya. Harus juga dilihat konsekuensi etis dan
mentalitasnya. Pada masa ketika disrupsi jadi normalitas,
segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi justru menjadi kian penting.
Dengan artificial intelligence, big data dan connectivity, hal-hal yang
bersifat teknis-taktikal bisa dikerjakan mesin. Pendidikan harus bisa melihat kelebihan
manusia atas mesin, yakni kemampuan melihat hutan secara keseluruhan,
ketimbang melihat satuan-satuan pohon. Peserta didik tak cukup dibekali
kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan berpikir strategis dan
analitis-sintesis dengan wawasan mental lebih holistik. Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam film
Change, pendidikan di era disrupsi teknologis harus lebih memberikan
perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin. Kreativitas, imajinasi,
intuisi, emosi, etika jadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam
simulasi, namun tidak dalam proses "menjadi". Teknologi
merepresentasikan "bagaimana" berubah, tapi tidak soal
"mengapa". Pendidikan harus memberikan kapabilitas
agar manusia bisa melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan
wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara
kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi
mesin. Dengan teknologi, mereka harus bisa menemukan “rumah” (home), bukan
menjerumuskan mereka ke “tempat pengasingan” (exile). Praktik terbaik visi pendidikan yang
berwawasan nilai-budaya malah tercermin pada repelita China, yang taraf
penguasaan teknologinya umumnya di atas Indonesia. Menurut Richard Black, perwakilan Schiller
Institute di PBB, program repelita China mencanangkan pemberantasan
kemiskinan ekstrem, melalui model pembangunan khas China, yang lebih
menekankan kualitas ketimbang kuantitas seperti PDB. Caranya dengan memadukan
kreativitas-inovasi dengan penguatan nilai budaya. Sekitar 10 persen PDB
dialokasikan untuk inovasi berbasis budaya, melalui penguatan
sarana-prasarana dan pendidikan seni-budaya. Dalam mengargumentasikan perubahan
lingkungan, Peta Jalan Pendidikan lebih tertuju pada perubahan lingkungan
fisik, seperti energi dan air. Dilupakan dampak globalisasi terhadap
lingkungan sosial-budaya seperti perembesan berbagai ideologi trans-nasional
yang mengarah pada pluralisasi dan konflik nilai. Dilupakan juga perubahan lingkungan
geo-stragis yang menempatkan Indonesia sebagai medan pertempuran dari konflik
global di masa depan. Dengan melupakan hal-hal di luar lingkungan fisik, Peta
Jalan Pendidikan kurang mampu menemukan basis argumen mengapa pendidikan
Pancasila, kewargaan, multikulturalisme, keagamaan inklusif, perdamaian dan
kemandirian kian penting dimasukkan ke kurikulum pendidikan. Mempersoalkan
rezim penelitian Tatkala rezim pendidikan masih limbung
dalam mendefinisikan substansi, orientasi dan strategi pendidikan, beban baru
bertubi-tubi ditimpakan. Belum selesai urusan penggabungan kelembagaan
pendidikan tinggi, tiba-tiba ditambah beban baru dengan penggabungan rezim
riset dan teknologi (ristek). Segera terbayang keluasan rentang kendali dan
kerumitan tata kelola. Pertama, kebijakan politik Presiden tak
memberikan pijakan kuat bagi prioritas pembangunan di bidang riset dan
inovasi. Bambang Brodjonegoro diangkat jadi Menristek sekaligus Kepala BRIN
di awal pemerintahan Jokowi periode kedua. Selama 1,5 tahun ia persiapkan segala
bentuk kajian dan desain tata kelola kelembagaan, dengan mencari keseimbangan
antara visi baru dan pertimbangan realistis mengingat kondisi kelembagaan
riset yang ada, setelah menerima masukan berbagai pihak. Tinggal menunggu dukungan politik Presiden
untuk mendapatkan legitimasi, responsnya malah pembubaran. Entah berapa
banyak sumber daya pikiran, tenaga, waktu, dan material terbuang sia-sia.
Yang lebih mengkhawatirkan, setelah BRIN berdiri sebagai lembaga tersendiri
yang terpisah dari ristek, desain kelembagaan baru dengan tendensi padat politisasi
tidak memberi landasan yang sehat bagi pemajuan dunia riset, bahkan bisa
membuatnya kian kusut. Saat rezim kebijakan ristek diintegrasikan
ke dalam kelembagaan Kemendikbud-Dikti, suara publik meragukan kemampuan tata
kelola bagi suatu kementerian dalam cakupan rentang kendali yang sebegitu
luas. Penggabungan ini juga bisa mengarah pada politik kebijakan riset yang
reduksionistik. Segera setelah dilantik kembali sebagai
menteri, Nadiem memberikan pernyataan pada media. Bahwa urusan riset dan
teknologi sesuatu hal yang dekat dengan hatinya, dan mendaku sebagai sesuatu
yang ia tekuni sebelum menjadi menteri. Ia juga menyatakan, penggabungan itu akan
mendorong pengembangan riset di berbagai perguruan tinggi. Di sini, publik
bisa segera mencium aroma reduksionistik itu. Pertama, yang ia klaim sebagai
sesuatu yang ia tekuni itu sejauh bisa diobservasi lebih terbatas pada bidang
pengembangan teknologi digital, seperti diterapkan di platform Gojek. Padahal, dimensi dan cakupan teknologi
begitu luas, mulai dari teknologi bahan, proses, produk, dan pemasaran; mulai
dari bidang pertanian hingga angkasa luar. Lingkup riset juga luas, mulai
riset dasar, pengembangan dan penerapan. Dengan demikian mestinya sudah
jelas, di lembaga apa sebaiknya titik tekannya pada riset dasar, pada lembaga
mana titik tekan lebih tepat melakukan riset pengembangan dan penerapan. Pengertian teknologi juga begitu luas,
lebih dari sekadar alat (tools). Seperti dikatakan Johan Galtung, naif
memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software. Komponen ini memang penting, tetapi hanya
sekadar tampilan permukaan, seperti penampakan puncak gunung es. Teknologi
juga menyangkut struktur terkait, bahkan struktur terdalam, kerangka mental,
kosmologi sosial, yang berperan sebagai ladang subur di mana benih-benih
pengetahuan tertentu bisa tertanam, tumbuh dan membangkitkan pengetahuan
baru. Dan agar suatu alat bisa dioperasikan
secara baik, struktur perilaku tertentu dibutuhkan. Alat-alat tidaklah
beroperasi di ruang vakum; mereka man-made dan man-used yang perlu
pengelolaan sosial tertentu agar bisa dioperasikan. Edward Wenk Jr menambahkan teknologi
merupakan sistem sosial yang didorong spesialisasi pengetahuan dan melibatkan
seluruh institusi sosial berikut jalinan komunikasinya. “Sebagai proses
sosial, teknologi berhubungan dengan masyarakat, nilai, pilihan politik dan
keterkaitan di antara ketiga unsur tersebut.“ Kedua, kelembagaan ristek sebagai rezim
kebijakan riset dan inovasi tak sepatutnya hanya memusatkan perhatian pada
aktivitas riset di perguruan tinggi. Juga tak cukup hanya memerhatian
kebijakan riset bagi lembaga-lembaga riset negara. Rezim ristek dituntut
mengambil kebijakan yang bisa menumbuhkan riset dalam lingkungan pasar dan
komunitas. Hambatan utama pemacuan riset dan inovasi
di Indonesia karena terlalu memusat dan bergantung inisiatif serta dorongan
negara. Kurang ada terobosan untuk memasyarakatkan hasil riset atau
menggairahkan kegiatan riset di jantung pasar dan komunitas. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan
aktivitas riset di negeri ini mewarisi tradisi para apostel pencerahan Eropa
yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial. Di bawah tradisi seperti
itu, ilmuwan/peneliti profesional memperoleh legitimasi melalui negara.
Pemerintah yang menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula
yang menjadi konsumen utama dari hasil penelitian. Akibatnya, berapa pun anggaran riset, badan
apapun yang mengoordinasikan lembaga-lembaga riset, dan dari mana rektor
didatangkan, tak akan efektif mendorong aktivitas inovasi-teknologi dalam
kerangka kemakmuran bangsa. Bagaimana pun juga, riset inovatif itu
harus sampai ke jantung pasar dan komunitas. Tak cukup mengandalkan dorongan
negara (push factor), tetapi juga harus mengikuti kebutuhan dan tarikan (pull
factor) dari pasar dan komunitas. Oleh karena itu, selain harus mendekatkan
hubungan antara lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi dengan
kebutuhan pasar, juga harus menjadikan aktivitas riset dan inovasi sebagai
bagian organik dari dunia usaha. Untuk itu, rezim politik kebijakan iptek
harus bisa meluaskan imajinasinya. Momentum
Hari Pendidikan Memperingati Hari Pendidikan mestinya kita
bisa menggali api semangat Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan, dengan
segala perubahan yang terjadi, hakikat pendidikan tidaklah berubah. Ia
mendefinisikan pendidikan sebagai “proses belajar menjadi manusia seutuhnya
dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikro-kosmos dan
makro-kosmos) sepanjang hayat.” Dengan demikian, pendidikan yang
dikehendaki adalah pendidikan berkebudayaan, yang mengupayakan bersatunya
pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan yang bisa
melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. Pendidikan juga diharapkan jadi wahana
pemupukan basis kapabilitas (tacit knowledge dan explisit knowledge) bagi
transformasi peradaban bangsa. Bagi Ki Hadjar, pendidikan itu wahana
pembangunan bangsa demi meraih kehidupan yang setara, sejahtera, maju
(bermartabat), bersatu, berkepribadian, dan terlibat dalam pergaulan
(perdamaian) dunia dengan merdeka lahir-batin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar