Basis Moral Revisi UU KPK
Boni
Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS, 02 Juli 2015
Belum
lama ini kami terlibat diskusi soal dilema etika dengan Profesor Gabriel
Telleria dari Amerika Serikat. Ia membagi pengalaman singkat lewat surat
elektronik (17/6/2015).
Seusai
mengajar di satu universitas di Tiongkok, Telleria diundang oleh seorang
mahasiswa untuk menemui ayahnya yang pebisnis ternama di negeri itu.
Telleria
terjebak dalam dilema etika. Kalau undangan diterima, serentak ia menabrak
garis relasi profesional antara profesor dan mahasiswa. Kalau tidak diterima,
ia menabrak kesadaran standar moral pribadi yang "mengharuskan"
tiap orang menghargai kebaikan orang lain. Telleria belum memberitahukan
pilihan final yang diambilnya. Yang jelas, dalam studi etika politik,
pengalaman Telleria adalah model sederhana dari konflik etika dalam beragam
situasi.
Dalam
kondisi politik yang rumit, bertabur kepentingan terselubung, dilema etika
adalah tantangan berat dalam membuat
keputusan. Haruskah UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
direvisi dalam situasi adanya kekuatan ingin melumpuhkan komisi
tersebut? Kepada siapa mereka yang
mendesak revisi harus bertanggung jawab secara etis: masyarakat atau
kelompok?
Dilema
etika adalah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara
tujuan baik yang didasarkan pada kesadaran moral pribadi/kelompok atau tujuan
baik yang berdasarkan pada kode etik yang lebih luas. Keduanya sama-sama
bertujuan baik.
DPR
berdalih, revisi UU KPK dalam rangka menguatkan peran lembaga tersebut.
Setidaknya ada lima hal: (1) kewenangan penyadapan; (2) kewenangan
penuntutan; (3) keberadaan dan kewenangan Komite Kerja Pengawas; (4)
penguatan aturan kolektif-kolegial; dan (5) penataan kembali struktur
internal. Intensinya baik. Namun, politik sering kali tidak linear. Sebagian
pengamat menuduh ada siasat sistematis
melemahkan KPK dibalik upaya revisi kewenangan penyadapan.
Prinsip
etis
Betul
bahwa tahun 2011 Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan tata cara penyadapan
dalam Pasal 31 Ayat (4) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Namun, sebagai lex specialis, UU KPK tidak bisa dikebiri oleh
aturan hukum lain di luarnya. Apalagi penyadapan adalah roh utama KPK dalam
melakukan pemberantasan korupsi.
Karena
itu, keputusan Presiden Joko Widodo menolak revisi UU KPK sudah tepat secara
etis. Artinya, pemerintah mengambil jalan yang benar secara moral sebagai
wujud dari apa yang disebut sebagai "tanggung jawab etis" (Cooper,
2012; Dryburgh, 2009).
Tentu
tidak ada yang salah dengan manuver politik di Senayan. Begitulah hakikat
dari politik sebagai praktik kekuasaan di tangan manusia yang kodratnya, kata
Aristoteles, "binatang politik" (zoon politikon). Namun, prinsip etika jabatan mengharuskan
wakil rakyat membuat keputusan yang berdasar secara etis (O'Leary, 2014).
Artinya,
prinsip etis adalah roh dasar dari keseluruhan proses pengambilan keputusan.
Salah satu prinsip etis yang umum adalah kepentingan umum merupakan tujuan
teleologis dari seluruh kerja wakil rakyat, termasuk pejabat publik umumnya.
Masalah
kita adalah penghayatan yang berlebihan dan keliru tentang politik sebagai
"seni kemungkinan" (Otto von Bismarck, 1867). Padahal, logika
pragmatis tak serta-merta menghalalkan politik yang mengabaikan-bahkan
membunuh-prinsip etis. Untuk itu, DPR tak hanya bekerja untuk partai atau
faksi terbatas, di mana mereka membangun kepentingan parsial, tetapi terutama
harus mengedepankan kepentingan rakyat dan negara.
Dalam
konteks revisi UU KPK, perdebatan sudah selesai persis ketika pemerintah
menolak agenda tersebut. Tidak ada esensi dan urgensi di balik revisi
tersebut, kecuali kepentingan parsial yang ingin melemahkan KPK. Basis moral
dari agenda revisi yang dipertahankan sebagian anggota DPR itu sudah pada
dirinya rapuh.
Menilai
sebuah keputusan mengandung dasar moral atau tidak, ukurannya sederhana.
Pertama, keputusan harus paralel
dengan kepentingan umum. Kedua,
keputusan dibuat dengan basis
etik dan kesadaran moral. Ketiga,
keputusan yang diambil adalah proyeksi dari partisipasi dan kerja sama
semua bagian di dalam institusi. Keempat, keputusan itu melibatkan deliberasi
publik (Cooper, 2012:165-192).
Kalau
diperhatikan dengan jernih, banyak energi politik terkuras untuk hal yang tak
signifikan. Itu terjadi karena: (1) kegagalan dalam membuat keputusan yang
berbasis etika (ethical decision-making), di mana ada prinsip tertinggi yang
tertentu yang menjadi pusaran transendensi dari keseluruhan pertarungan nilai
dan kepentingan dalam medan politik yang pragmatis; (2) pragmatisasi politik
berbasis hukum positif semata mengabaikan prinsip etis yang mengandaikan
adanya refleksi moral dalam berpolitik.
Segala sesuatu diukur dari pasal-pasal dalam
UU. Begitu UU tumpang tindih, kerumitan menjadi berkepanjangan. Kadar moral dalam politik pun menjadi
kering. Prinsip etis tidak menuntut semua politisi menjadi malaikat. Tuntutan
mendasarnya sederhana bahwa tiap politisi mesti bertindak dengan dasar moral
dan untuk tujuan yang baik bagi banyak orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar