Indeks
Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Dedi Haryadi ; Staf Ahli pada
Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Lanskap ekonomi, sosial-budaya, dan politik
Indonesia saat ini lebih digital ketimbang satu dekade yang lalu. Perkembangan Indeks Sistem Pemerintahan
Berbasis Elektronik (SPBE) atau Electronic Government Development Index
(EGDI) saat ini menunjukkan kecenderungan demikian. Dalam periode (2010-2020)
SPBE meningkat dari 0,4026 menjadi 0,6824 (skala 0-1). Makin besar skor
indeksnya, berarti makin digital sistem pemerintahan negara tersebut. Dari 193 negara yang disurvei, peringkat
kita membaik dari ke-107 pada 2018 menjadi ke-88 pada 2020. Ranking sepuluh
teratas ialah Denmark, Korea Selatan, Estonia, Finlandia, Australia, Swedia,
Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Belanda, Singapura, Eslandia,
Norwegia, dan Jepang. Negara-negara itu juga punya skor dan peringkat yang
baik dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks yang dikembangkan PBB ini disusun
dari tiga komponen: 1) indeks layanan daring, 2) infrastruktur
telekomunikasi, dan 3) indeks sumber daya manusia. PBB merasa perlu
mengembangkan indeks ini karena digitalisasi sistem pemerintahan dianggap
bisa menjembatani tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dari ketiga komponen itu, infrastruktur
telekomunikasi skor Indonesia masih di bawah rata-rata kawasan Asia dan
subkawasan Asia Tenggara. Ini artinya, kalau mau memperbaiki skor dan
peringkat Indeks SPBE, memperbaiki kondisi infrastruktur telekomunikasi
niscaya dan perlu diberi prioritas tinggi. Semasa pandemi Covid-19 ini, kekurangan
infrastruktur telekomunikasi itu terasa manakala ada ribuan siswa sekolah
dasar dan menengah tidak bisa mengakses layanan belajar daring. Kekurangan daya beli bisa diatasi dengan
subsidi, tetapi kekurangan infrastruktur telekomunikasi tidak serta-merta
bisa dipenuhi. Digitalisasi juga membuka kedok adanya ketimpangan akses,
relasi dan kuasa digital dalam masyarakat. Keniscayaan
digitalisasi Digitalisasi berbagai aspek kehidupan itu
sebuah keniscayaan. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95
Tahun 2018 tentang SPBE yang jadi beleid digitalisasi semua aspek kehidupan. Dengan beleid itu, saat ini pemerintah
sedang mendigitalisasi tata kelola pemerintahan seperti layanan perizinan
(online single submission), proses perencanaan dan penganggaran, pengadaan
barang dan jasa, manajemen aparatur sipil negara, sistem penanganan perkara
pidana terpadu berbasis teknologi informasi (SPPT-TI), mekanisme penanganan
pengaduan masyarakat, dan lain-lain. Diyakini digitalisasi ini akan menciptakan
sistem dan tata kelola pemerintah yang lebih efisien, efektif, dan
berkelanjutan. Selain itu, risiko korupsi juga akan lebih terkendali. Itulah
sebabnya, negara-negara yang skor dan peringkat Indeks SPBE-nya baik juga
punya skor dan peringkat IPK yang baik. Bagaimana sebenarnya praksis digitalisasi
partisipasi publik? Sekurangnya ada tiga dimensi digitalisasi partisipasi
publik, yaitu 1) aksesibilitas pengguna layanan publik pada layanan publik
yang disediakan secara digital, 2) keikutsertaan publik secara digital dalam
proses politik dan kebijakan, dan 3) aktivitas warga aktif, aktivis,
akademisi dalam advokasi kebijakan secara digital. Pandemi Covid-19 mempercepat proses
transformasi modalitas partisipasi warga/publik dari yang tadinya manual,
fisikal, ke digital. Jadi, serba digitalisasi sekarang ini jangan dilihat
sebagai kesementaraan, apalagi darurat, tetapi harus dimaknai sebagai tujuan
yang memang harus dicapai. Sebenarnya ketiga praksis partisipasi
digital tersebut sudah ada dan berlangsung dalam masyarakat jauh sebelum
wabah Covid-19. Dimensi pertama dan cukup sederhana dari praksis itu adalah
aksesibilitas pengguna layanan publik secara digital. Contohnya banyak,
antara lain pelayanan paspor, penerimaan peserta didik baru tingkat SMP dan
SMA di sejumlah daerah, dan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan beberapa
kementerian/lembaga/pemda. Dulu, Pemerintah Kota Bandung, dengan wali
kotanya Ridwan Kamil, secara ekstensif melakukan digitalisasi pelayanan
publik dengan mengembangkan berbagai aplikasi. Kredonya, satu isu publik,
satu aplikasi. Bahkan ada aplikasi untuk mengintip siswa bolos sekolah. Selama
lima tahun menjabat, ada 400-an aplikasi yang dihasilkan. Namun, karena
kurang hati-hati dalam pengembangannya, sebagian besar aplikasi tersebut kini
mangkrak. Platform
partisipasi publik KawalPemilu.org merupakan contoh klasik dan
paling baik dari dimensi kedua praksis partisipasi digital. Apresiasi tinggi
harus diberikan kepada Ainun Najib dan kawan-kawan yang mengembangkan
inisiatif platform KawalPemilu.org ini. Dalam platform ini ratusan sukarelawan
berpartisipasi secara digital dalam proses pemilihan presiden, khususnya
dalam tabulasi dan rekapitulasi data scan dan formulir C1. Hasil tabulasi dan
rekapitulasi KawalPemilu.org menjadi pembanding hasil penghitungan suara
pilpres versi Komisi Pemilihan Umum. Sudah dua kali pemilu—Pemilu 2014 dan 2019—KawalPemilu.org
jadi bagian penting dari pesta dan dinamika demokrasi di Tanah Air.
Kelihatannya keberadaan KawalPemilu.org akan terus berlanjut di pemilu-pemilu
berikutnya. Dengan adanya KawalPemilu.org, demokrasi menjadi berkualitas. Dengan platform ini juga warga aktif
menciptakan jalur sendiri memengaruhi dan menjadi bagian integral pemilu.
KawalPemilu.org sudah ”buy in” dalam sistem pemilu kita. Dengan biaya yang
sangat murah, publik terlibat dalam proses ini. Dalam istilah advokasi,
kebijakan inisiatif KawalPemilu.org ini memenuhi kriteria low cost high
impact. Ke depan kita ditantang mengembangkan berbagai gagasan semacam ini. Platform digital lain yang cukup fenomenal
dalam advokasi kebijakan di Tanah Air dalam satu dekade terakhir adalah Change.org.
Dengan adanya platform ini, warga atau siapa pun bisa menggagas dan mengajak
publik untuk menyampaikan petisi tertentu bukan hanya kepada pejabat
negara/publik, melainkan juga kepada institusi bisnis (BUMN/swasta) penyedia
layanan publik. Selama 2018-2019, pengguna platform ini
yang menyampaikan petisi meningkat dari 6,5 juta menjadi 13,3 juta orang,
dengan rasio kemenangan 1:4. Artinya, dari empat petisi, satu menang. Tahun
sebelumnya rasio itu 1:3. Beberapa petisi yang menang, antara lain, Amnesti
untuk Baik Nuril, Tolak RUU Permusikan, dan Batalkan Proyek PLTA Tampur.
Petisi yang kalah di antaranya Tolak Revisi UU KPK. Contoh tiga praksis tersebut menunjukkan
relasi kuasa negara versus warga menjadi lebih digital sekarang ini. Dalam
relasi baru ini siapa menguasai ”ruang digital”, ”kuasa digital”, tidak hanya
menguasai, tetapi juga bisa menaklukkan dan menghegemoni pihak lain. Dalam kasus pelemahan KPK, misalnya, negara
begitu dominan menguasai ”ruang digital” dan ”kuasa digital” sehingga leluasa—hampir
tanpa perlawanan yang berarti—mendekonstruksi dan merekonstruksi KPK seperti
yang diinginkan. Indeks
partisipasi digital Survei tentang Indeks SPBE tersebut juga
mengungkap informasi tentang Indeks Partisipasi Digital (E-Participation).
Peringkat E-Partisipasi kita selama periode 2018-2020 meningkat dari urutan
ke-92 menjadi ke-57 dengan skor 0,75. Cukup sukses sebenarnya melakukan
transformasi digital meski masih kalah dari negara tetangga Singapura,
Malaysia, dan Thailand yang berurut-turut ada di urutan ke-6, ke-29, dan
ke-51. Menimbang kemajuan digitalisasi sistem
pemerintahan dan partisipasi digital, seperti yang dicerminkan oleh Indeks
SPBE dan Indeks Partisipasi Digital, sebenarnya kita sudah ada di jalan yang
benar. Namun, capaian itu kurang optimal dan
lamban. Ini sangat terasa, misalnya, dalam membangun sistem SPPT-TI.
Pelaksanaan aksi SPPT-TI yang telah memasuki tahun kelima—dua tahun lebih
awal dari terbitnya Perpres No 95 Tahun 2018 tentang SPBE—sudah menghabiskan
anggaran ratusan miliar rupiah. Jangankan berdampak, di level keluarannya
(output) saja masih bermasalah. Demikian juga aksi integrasi sistem
perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik. Persistennya konflik kepentingan, ego
sektoral, dan rendahnya dukungan dan komitmen pemimpin di
kementerian/lembaga/pemda diduga menjadi penyebabnya. Jadi, sebenarnya masih
ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kalau kita mau meraih skor
dan peringkat Indeks SPBE, Indeks Partisipasi Digital, dan tingkat kematangan
(maturity level) penerapan SPBE yang lebih baik. Dalam dua tahun terakhir (2019-2020)
tingkat kematangan penerapan SPBE—seperti yang dicerminkan oleh Indeks SPBE
versi nasional—baru berkisar 1,98-2,19 dari skala 0-5. Sekurangnya ada empat pekerjaan rumah yang
harus dikerjakan dengan baik dan cepat untuk memperbaiki Indeks SPBE dan
mengakselerasi digitalisasi partisipasi publik. Pertama, mengembangkan
chemistry dan orkestrasi yang baik antarpemimpin—pada level menteri—sehingga
bisa mengatasi konflik kepentingan, ego sektoral, dan kurangnya komitmen
elite birokrasi (khususnya pejabat eselon I dan II). Penyusunan regulasi tentang bagan akun
standar (BAS), misalnya, atau pengembangan hub dan aplikasi sistem informasi
pemerintah daerah (SIPD) sangat mungkin akan berjalan dengan lancar dan
sukses kalau ada chemistry dan orkestrasi yang baik antara Kementerian
Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Kedua, pemerintah
(kementerian/lembaga/pemda) harus berupaya mengembangkan infrastruktur
telekomunikasi yang bisa menjangkau kelompok masyarakat terpencil dan atau
termarginalkan sehingga tak ada seorang pun yang tertinggal. Ke depan, di
antaranya tidak ada lagi cerita tentang siswa yang tidak bisa mengakses
layanan belajar daring, atau pengusaha menengah dan kecil yang tidak bisa
mengakses marketplace. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi
ini bagian penting dan tak terpisahkan dari penguatan dan percepatan
pelaksanaan SPBE. Selain itu, kementerian/lembaga/pemda perlu segera membuat
arsitektur SPBE dan peta rencana SPBE yang merujuk pada Arsitektur SPBE
Nasional. Ketiga, replikasi dan pengembangan praktik
baik (best practices) digitalisasi partisipasi publik. Kalau platform
KawalPemilu.org, Change.org, atau platform lain memenuhi kriteria praktik
baik, bisa dan perlu direplikasi dan dijadikan contoh dalam mengembangkan
digitalisasi partisipasi publik. Masih banyak isu strategis lain yang perlu
partisipasi dan dikawal publik dengan platform digital. Beberapa di antaranya
tata kelola pelabuhan, impor bahan pangan strategis, dan pengadaan alat utama
sistem persenjataan (alutsista). Keempat, seserius dan sesistematis mungkin
mengembangkan literasi digital bagi warga/publik. Editorial Kompas bertajuk
”Percepat Literasi Digital Warga” (22/3/2021) mengartikulasikan pesan yang
sama tentang pentingnya literasi digital warga. Kalau sudah melek digital, warga tidak
hanya bisa mengakses dan berpartisipasi dalam pelayanan publik serta proses
politik dan kebijakan, tetapi juga mampu mendefinisikan dan mengontrol peran
negara dalam mengelola sumber daya publik secara digital. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar