Bahaya
Kelewat Optimistis dan Percaya Diri Agus Herta Sumarto ; Ekonom Indef dan
Dosen FEB Universitas Mercu Buana |
KOMPAS, 7 Mei 2021
Dalam ilmu Behavioral Economics kita
mengenal dua istilah penting yang sangat familiar, yaitu overoptimistic
(terlalu optimistis) dan overconfidence (terlalu percaya diri). Kedua istilah itu merupakan lawan kata dari
sifat rasionalitas yang selama ini selalu menjadi asumsi umum dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan, baik dalam lingkup
perusahaan maupun lembaga publik. Menurut mazhab ekonomi klasik, para
pengambil kebijakan selalu berpikir rasional sehingga keputusan-keputusan
yang diambil adalah keputusan rasional yang selalu didasarkan pada fakta dan
kondisi riil yang sedang terjadi. Namun, di sisi lain, menurut para penganut
mazhab Behavioral Economics, asumsi rasionalitas dalam model-model klasik
ilmu ekonomi (termasuk manajemen keuangan publik) sudah tidak relevan. Premis
dasar ilmu Behavioral Economics ini adalah manusia itu tidak rasional, dan
sering kali memasukkan elemen emosi dalam setiap keputusannya. Pendapat ini didukung oleh banyak fenomena
empiris yang membuktikan bahwa sebagian manajer perusahaan dan pejabat publik
mengambil keputusan tidak atas dasar unsur rasionalitas. Pandemi Covid-19 yang saat ini melanda
hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menambah deretan
fenomena empiris tersebut. Dalam merespons pandemi ini, semua negara mencoba
menata kembali seluruh anggaran pendapatan dan belanjanya, tidak terkecuali
Indonesia. Berbagai kebijakan penganggaran keuangan
negara, seperti refocussing dan realokasi, dilakukan guna meredam dampak
negatif pandemi Covid-19. Tujuan dan target capaian pembangunan ekonomi yang
telah ditetapkan sejak jauh-jauh hari disusun kembali dan disesuaikan dengan
kondisi terbaru setelah adanya pandemi. Di
masa pandemi Sebagaimana dilakukan oleh hampir semua
negara, Pemerintah Indonesia juga menyusun berbagai program penanganan dan
penanggulangan pandemi Covid-19. Bahkan, pemerintah telah menyusun dan
menetapkan satu paket program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai
langkah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi yang diterjang badai
pandemi. Melalui program PEN tersebut, pemerintah
yakin pada akhir 2021 perekonomian Indonesia akan kembali normal pada tingkat
optimalnya. Melalui program PEN, pemerintah menargetkan
pertumbuhan ekonomi pada 2021 bisa mencapai 5,0 persen sebagaimana
pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum pandemi. Capaian itu diperoleh melalui
peningkatan kinerja investasi, ekspor, dan konsumsi rumah tangga. Melalui
peningkatan kinerja di tiga sektor itu, pemerintah yakin bisa menggerakkan
roda perekonomian Indonesia secara optimal. Sikap optimisme ini dipandang realistis
mengingat Indonesia sepanjang masa pandemi Covid-19 termasuk ke dalam
kelompok negara yang kontraksi pertumbuhan ekonominya tidak begitu parah.
Bahkan, Indonesia masuk ke dalam empat besar negara dengan pertumbuhan
ekonomi terbaik selama pandemi, di bawah Vietnam, China, dan Korea Selatan. Walaupun mengalami kontraksi, pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada masa pandemi jauh lebih baik dibandingkan Filipina
(minus 9,5 persen), Italia (minus 8,8 persen), Perancis (minus 8,4 persen),
dan Meksiko (minus 8,3 persen). Namun, keyakinan Indonesia ini sepertinya
tidak seirama dengan perkiraan World Economic Outlook yang dikeluarkan Dana
Moneter Internasional (IMF) pada awal April 2021. Lembaga pemberi pinjaman tersebut
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 hanya akan mencapai 4,3
persen, di bawah rata-rata lima negara besar ASEAN yang mencapai 4,9 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan
hanya akan berada di atas Thailand (2,6 persen), dan di bawah Filipina (6,9
persen), Malaysia (6,5 persen), dan Vietnam (6,5 persen). Rendahnya keyakinan IMF terhadap proyeksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia ini seolah-olah terkonfirmasi oleh pengumuman
Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari yang lalu. Menurut catatan BPS,
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2021 mengalami kontraksi
sebesar 0,74 persen (yoy). Sementara jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2020 (qtq), pertumbuhan ekonomi
Indonesia mengalami kontraksi sebesar 0,96 persen. Program bantuan pemerintah yang diharapkan
mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga sepertinya belum sepenuhnya berjalan
efektif. Konsumsi rumah tangga yang diharapkan dapat tumbuh positif ternyata
malah terkontraksi 2,23 persen. Bahkan, aliran investasi yang pada akhir
tahun 2020 sempat mengalir deras ikut mengalami kontraksi sebesar 0,23
persen. Kondisi ini menjadikan Indonesia tetap berada pada zona resesi
ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I yang
di luar harapan, tantangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 5,0
persen pada akhir tahun 2021 tampaknya akan semakin besar. Terjadinya tsunami pandemi Covid-19
gelombang kedua di India membuat tingkat ketidakpastian ekonomi semakin
tinggi. Pandemi gelombang kedua India ini membuat tidak ada pihak yang berani
menjamin sampai kapan gelombang pandemi Covid-19 ini akan selesai dan sedalam
apa dampak negatif yang ditimbulkan. Di sisi lain, program vaksinasi yang
dilakukan pemerintah belum secepat yang diharapkan sehingga sampai saat ini
belum ada tanda-tanda yang signifikan bahwa sektor industri, perdagangan, dan
pariwisata akan kembali pulih. Kondisi ini diperberat dengan kenyataan bahwa
keterkaitan Indonesia dengan rantai pasok global juga sangat kecil. Indonesia bukan pemain utama dalam
perdagangan dunia sehingga pemulihan ekonomi global tidak serta-merta
berpengaruh dan mendorong roda perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus sangat
hati-hati dan tidak boleh terjebak dengan sifat overoptimistic dan
overconfidence dalam usaha mencapai target pemulihan ekonomi pascapandemi
Covid-19. Dua komponen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kinerja
yang kurang diharapkan. Padahal, kontribusi kedua komponen tersebut
terhadap perekonomian Indonesia sangat besar. Kontribusi investasi terhadap
produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di kisaran angka 30 persen. Adapun kontribusi konsumsi rumah tangga
lebih dari 56 persen. Bahkan, tiga tahun terakhir, kontribusi konsumsi rumah
tangga terhadap PDB cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2018-2020,
kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia berturut-turut adalah
55,76 persen, 56,63 persen, dan 57,66 persen. Kepercayaan
publik Merunut teori Behavioral Economics
sebagaimana disinggung di atas, sikap overoptimistic merupakan suatu
keyakinan yang berlebihan terhadap kemungkinan keberhasilan capaian target
yang telah ditentukan. Para pembuat keputusan yang memiliki sifat
overoptimistic selalu yakin akan memperoleh keuntungan tertentu walaupun
banyak tantangan dan risiko yang dihadapi. Mereka cenderung untuk menganggap
enteng dan menganggap remeh semua risiko yang dihadapi. Sementara sifat overconfidence berkaitan
dengan keyakinan yang berlebih terhadap besaran nilai yang akan diperoleh
dari suatu investasi. Jika pembuat kebijakan yang overoptimistic memiliki
keyakinan terhadap kemungkinan keberhasilan suatu proyek investasi, pembuat
keputusan yang overconfidence memiliki keyakinan yang berlebih terhadap
besaran hasil yang akan diperoleh. Pembuat kebijakan jenis ini akan menilai
semua program yang dibuat layak dikerjakan sehingga penilaiannya menjadi
sangat tidak obyektif. Jika melihat pada berbagai risiko yang
dihadapi serta target capaian kinerja dan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan
pemerintah untuk akhir 2021 ini, sepertinya apa yang telah disusun dan
ditetapkan pemerintah sudah berada di atas tingkat optimistis. Dikhawatirkan
pemerintah akan terjebak pada keyakinan yang berlebihan, baik dari sisi
overoptimistic, overconfidence, maupun perpaduan keduanya. Kebijakan yang dibuat berdasarkan pada
kondisi yang overoptimistic dan atau overconfidence akan jauh dari realitas
yang ada. Hasil yang akan diperoleh nanti akan jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan
publik terhadap pemerintah. Kepercayaan publik kepada pemerintah akan
cenderung terus menurun dan dalam waktu bersamaan publik akan menilai
pemerintah tak memiliki kompetensi dalam mengatur negara. Jika hal ini
terjadi, semua kebijakan yang dibuat pemerintah tidak akan efektif dan akan
semakin sulit bagi pemerintah untuk menetapkan program-program pembangunan
berikutnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar